Your mind can destroy you. Pasti ada yang menganggap kalimat tadi adalah
sebuah pernyataan yang konyol, namun
tidak sedikit pula yang percaya pada mind
power. Yap, pikiran merupakan pusat kontrol yang menjadi salah satu bagian
paling penting dari tubuh manusia, namun ketika ia berada pada kondisi yang
sangat lemah, terganggu, tidak fokus, pikiran justru dapat membawa bencana
besar kepada anda. Magic Magic,
interesting, hypnotizing, an unpredictable standard psychological thriller.
Alicia (Juno Temple), tiba di Chile,
atas undangan dari sepupunya Sarah (Emily
Browning), yang menjadi bagian dari pertukaran pelajar, untuk berlibur
bersama teman-temannya, Brink (Michael
Cera), Barbara (Catalina Sandino
Moreno), dan Agustín (Agustín Silva).
Sayangnya Sarah mendadak harus pergi karena urusan akademis, sesuatu yang
mengecewakan bagi Alicia karena menjadikan ia masuk kedalam kondisi dimana
harus melanjutkan perjalanan bersama orang-orang yang tidak begitu ia kenal.
Bersama dengan orang-orang yang baru saja anda kenal tidak
selamanya sulit, selama tidak tercipta suasana canggung satu sama lain. Itu
yang tidak dialami oleh Alicia. Menuju sebuah pulau yang bahkan sulit terjangkau
sinyal network, Alicia merasa terasingkan, berawal dari satu-satunya sosok yang
tidak bisa bahasa Spanyol, berlanjut
ke kondisi sulit untuk tidur, rasa cemas Alicia semakin buruk karena ia terus
menaruh rasa curiga bahwa ada sesuatu yang tidak beres disekitarnya.
Menjadi satu dari dua film miliknya yang berlaga di Sundance Film Festival bulan Januari lalu, Magic Magic tampak seperti menjadi
sebuah arena bermain dari sebuah ide dengan hasrat yang begitu tinggi dari
seorang Sebastián Silva. Tidak ada
warna baru yang ditawarkan oleh film ini, menggunakan pola dasar dari sebuah
film thriller yang sudah begitu umum.
Apa yang menjadikan film ini tampak menyenangkan justru terletak pada materi
utama yang ingin ia tampilkan, sebuah penggambaran menarik pada akibat yang
ditimbulkan dari gangguan kejiwaan yang mempengaruhi fungsi otak manusia, dan
berdampak pada emosional hingga tingkah laku.
Silva cermat dalam mempertahankan kekuatan utama dari kasus
yang ia bawa, bagaimana anda pada akhirnya terus fokus pada sebuah kemasan yang
secara implisit terasa manipulatif, mencoba untuk menakuti-nakuti lewat ancaman
dari pikiran yang terganggu. Tanpa sebuah informasi yang benar-benar kuat dan
jelas, karakter yang tidak dikembangkan begitu dalam, eksplorasi yang fokus
menjadikan Magic Magic sebagai sebuah
permainan halusinasi yang menyenangkan, bertumpu pada ambiguitas antara mimpi
dan kenyataan, dibalut dengan permainan visual yang menarik dan efektif dari Christopher Doyle dan Glenn Kaplan.
Yap, Magic Magic
sangat berhasil dalam menciptakan sebuah film thriller, suasana yang mencekam. Kondisi gelap bersatu dengan baik
bersama misteri utama, dengan pertanyaan yang terus membuat penontonnya merasa
bingung pada modus utama film ini. Bermain-main dengan pemandangan Chile, menggunakan simbol seperti burung
kakak tua, aksi loncat dari tebing, hingga boneka domba didalam kamar, secara
bertahap Silva mampu untuk terus membangun rasa gelisah dan cemas untuk
menemani rasa bingung yang telah hadir terlebih dahulu. Celakanya pada bagian
ini ia terasa terlalu berlebihan, dan menjadi titik balik yang menyedihkan.
Mungkin ini terasa sedikit implisit, namun terus menumpuk narasi bersama dengan
pertanyaan-pertanyaan, menjadikan penontonnya untuk terus menunggu dan waspada
akan kemunculan sesuatu yang menakutkan, tanpa Silva sadari memberikan dampak
destruktif pada tensi dan daya tarik cerita. Yak, ia terlalu lama terlena dalam
bermain-main dengan rasa penasaran penonton, tidak memberikan clue-clue baru
yang dapat semakin menjadikan kasus ini semakin menarik. Berputar-putar di
ruang yang sama justru menjadikan materi yang ia berikan perlahan mulai tidak
lagi mengejutkan, apalagi ketika ia mulai memecah kembali warna cerita yang
semakin menjadikan anda merasa bingung, mencampur thriller, horror, dan comedy
dengan intensitas yang sama besar.
Yang menyelamatkan film ini adalah kinerja dari para aktor
yang ia miliki. Juno Temple mungkin
berhasil mendapatkan dua hal yang inginkan dari film ini. Pertama, posisi utama
yang memberikan ruang bermain baginya untuk menunjukkan kualitas akting yang ia
miliki, menjadikan Alicia sebagai karakter yang mengganggu berbalut dengan rasa
kasihan. Kedua, sebuah kewajiban yang harus ia lakukan di setiap film yang ia
miliki belakangan ini, menunjukkan payudaranya walau untuk sesaat. Michael Cera berhasil menjadi sosok yang
menjengkelkan dan penuh misteri, namun juga menjadi sumber rasa bingung akibat
komedi komikal yang ia tampilkan. Sedangkan Emily
Browning, Catalina Sandino Moreno, dan Agustín
Silva tidak punya porsi yang cukup untuk menjadikan karakter mereka sejajar
dengan Temple dan Cera.
Overall, Magic Magic
adalah film yang cukup memuaskan. Konsep dari tema utama yang ingin disampaikan
oleh Sebastián Silva terasa kuat,
bahkan hingga akhir. Namun sedikit mengingkari warna cerita, dan terlalu asyik
membuat penontonnya merasa bingung dengan misteri yang ia bangun menjadikan
potensi yang ia tampilkan di bagian awal tidak berhasil dicapai. Punya beberapa
chilling moment skala kecil, namun
sulit pula untuk menampik beberapa orang mungkin akan menganggap film ini sebagai
sebuah nonsense.
0 komentar :
Post a Comment