Salah satu pertanyaan
yang punya tingkat kesulitan cukup tinggi adalah “apakah anda setuju dengan
hubungan sesama jenis?” Jika anda setuju, berarti anda menentang kodrat alam
yang “katanya” telah tercipta sejak ribuan tahun yang lalu, namun jika jawabnya
adalah tidak, maka dilain sisi anda tidak menaruh respect pada kreasi Tuhan
lainnya, cinta. Film ini mencoba mengajak penontonnya untuk mencoba mengerti
bahwa cinta adalah hubungan dua arah, dari dua insan, to know when to give up, and when to keep the lights on.
Tahun 1998, Erik (Thure Lindhardt), pria
perfeksionis yang bekerja sebagai sutradara, sedang mengerjakan sebuah film
dokumenter yang telah menguras banyak waktu. Yap, biaya menjadi kendala,
padahal Erik dapat menutup hal tersebut dengan meminta bantuan dana kepada
orang tuanya, seperti yang disarankan oleh kakaknya Karen (Paprika Steen). Tapi sayangnya sikap tidak ketergantungan
yang ia tunjukkan tersebut tidak terjadi pada kehidupan asmara Erik. Adalah Paulus (Zachary Booth), seorang pengacara,
bertemu lewat phone sex hotline, seorang pria yang menjadikan Erik tak bisa
hidup tanpanya.
Saling suka satu sama
lain, mendapatkan dukungan dari teman mereka, termasuk Claire (Julianne Nicholson) yang sebenarnya mengharapkan sesuatu
dari Erik, mereka memutuskan untuk tinggal bersama, yang juga menjadi awal
kemunculan dinamika asmara dalam hubungan yang berlangsung lama ini. Kecanduan
Paulus terhadap narkoba semakin parah, yang celakanya berjalan searah dengan
ketergantungan Erik kepada Paulus. Suka cita mulai bercampur dengan rasa putus
asa, menciptakan hubungan yang pasang surut dalam investasi cinta yang terus
ditemani rasa ragu dan frustasi.
Cerita yang ditulis
oleh Ira Sachs dan Mauricio Zacharias, mengambil pondasi
dari kisah nyata yang pernah dialami oleh Sachs sendiri, punya kemampuan yang
menarik dalam menciptakan situasi dari apa yang sebenarnya ingin mereka
sampaikan di film ini. Keep the Lights On
adalah arena bermain bagi hitam dan putih untuk saling mengalahkan, ada cinta
sesama jenis yang masih sulit untuk diterima banyak orang, dijalankan bersama
tekanan dan siksaan pada karakter, menciptakan sebuah objek menarik bagaimana
hubungan yang berantakan antara dua pribadi yang sejak awal telah rusak.
Apa yang menjadikan Keep the Lights On menarik adalah
keputusan Ira Sachs untuk terus
menyelimuti cerita dengan rasa ragu. Hubungan yang diwarnai dengan up and down,
dengan gelora cinta yang datang dan hilang, ini adalah sebuah penggambaran
bernuansa buram tentang bagaimana sebenarnya posisi cinta diantara dua insan,
dengan dampak yang dihasilkan lewat satu karakter yang seperti tersesat dalam
sebuah labirin berisikan rasa bingung sembari terus menahan diri.
Menariknya, terlepas
dari tema gay yang ia terapkan film ini sebenarnya mengusung pesan yang jauh
lebih universal dan mampu menjangkau penonton umum ketimbang terjebak dalam
romantisme sesama jenis. Namun film ini masih kalah jika harus dibandingkan
dengan film LGBT tahun lalu, Weekend, yang dikemas menarik dalam
menggambarkan suka dan duka, namun tetap mampu menjadikan penontonnya merasakan
kenikmatan berjalan dalam cerita karena karakter yang hidup, tidak seperti Keep the Lights On yang di beberapa
bagian kerap kali gagal menjadi seperti judul yang ia miliki, mati.
Kejenuhan utama berasal
dari pengulangan yang ia lakukan. Sejak awal ia memang sudah menuntut penonton
untuk terlibat secara kuat dengan karakter, namun celakanya apa yang ia minta
tersebut ternyata jauh lebih dalam dari yang saya perkirakan. Pergerakan cerita
monoton di beberapa titik, menjadikan penontonnya menunggu dengan karakter yang
mulai tampak jenuh. Yap, ini sedikit membosankan, dan apa yang menjadikan anda
terus menemani ia berjalan lebih kepada rasa penasaran terhadap karakter, yang
meskipun punya chemistry mumpuni dari Lindhardt dan Booth,
namun kerap kali menghadirkan sebuah kerentanan yang kurang hidup, menciptakan
kesulitan bagi penonton untuk menaruh simpati pada mereka.
Dampaknya cukup
siginifikan, karena disaat anda tidak bisa klop dengan karakter, maka romansa
yang mereka hadirkan menjadi kurang menarik, terlebih ini semua tentang Erik,
dengan Paul yang lebih tampak seperti pion pembantu. Kita hanya diberikan ruang
pada diri Erik untuk menaruh sudut pandang pada cerita yang sebenarnya cukup
banyak berisikan kegiatan observasi pada pertumbuhan dinamika cinta yang
sesungguhnya sangat menarik. Anda terus dituntut untuk fokus sejak awal,
disajikan beberapa bagian yang monoton, dan mungkin akan berakhir menyedihkan
ketika rasa sabar itu habis dan menganggap bagian akhir yang sudah mulai
melemah itu sebagai penutup dari sebuah kisah nonsense.
Overall, Keep the Lights On adalah film yang
cukup memuaskan. Mengejutkan karena materi yang ia berikan ternyata lebih
universal ketimbang tema LGBT yang ia
usung. Secara inti Ira Sachs sangat sukses
menghadirkan kisah tragis dari cinta dalam warna kabur antara dua karakter
sesama jenis yang juga sama-sama rusak. Namun dibeberapa bagian ia monoton,
kekurangan power, dan sedikit membosankan. Sebuah segmented movie yang menarik, bagaimana masalah adalah anugerah
untuk menjaga sebuah hubungan tetap hidup.
ahaha, ihhh penulis kayaknya maho juga bhahaha
ReplyDelete