"Eternal life will only come to those prepared to die."
I write of what I cannot speak, the truth. Kalimat singkat
itu cukup untuk menjadi bukti bahwa kejujuran akan sulit untuk menjadi pahlawan
ketika sesuatu harus dikaitkan dengan variabel lain yang sangat personal dan
jauh lebih penting, keluarga. Byzantium,
punya potensi besar dibalik intinya yang sederhana, dikemas dalam perpaduan
konflik yang terpisahkan dalam hitungan abad, wrapped like an interview with a vampire.
Clara (Gemma Arterton), wanita dewasa
yang tahu memanfaatkan kelebihan fisik yang ia miliki untuk memperoleh uang,
hidup bersama Eleanor (Saoirse Ronan),
seorang perempuan berusia 16 tahun, tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh
Clara, namun ternyata terus memendam sebuah konflik internal yang
mengganggunya. Eleanor ingin sekali membuka semua fakta yang selama ini
“mereka” simpan, namun tidak punya kekuatan yang cukup untuk melakukan itu,
menuliskannya di kertas yang kemudian ia sobek dan buang, terus rela menjalani
kehidupan yang tidak pasti dengan siap untuk berpindah tempat kapanpun diminta
oleh Clara.
Namun sesuatu
yang aneh menjadikan niat yang ia pendam itu semakin besar, dimana pada kota
baru yang mereka datangi Eleanor melihat visi dari dirinya sendiri. Merasa
yakin akan tinggal lebih lama di kota yang baru karena Clara yang membuka “hotel” bernama Byzantium, Eleanor
mencoba untuk semakin terbuka, mulai bergaul dengan manusia, dan mengikuti acara
tukar pendapat. Tapi ia melakukan satu blunder, terperangkap terlalu dalam
ketika menyelesaikan tugas yang diberikan pengajar, menuliskan semua kisah
detail tentang kisah masa lalunya 200 tahun silam, yang kemudian membawa
masalah yang selama ini terus mengejar semakin dekat kepada mereka.
Hal utama yang
menjadikan Byzantium menarik adalah
keputusan yang diambil Neil Jordan
untuk memberikan identitas pada film ini. Jika anda mengharapkan sebuah kisah
vampire dengan warna yang popular belakangan ini maka anda mungkin akan sedikit
kecewa. Tidak ada romantisme serta nafsu yang dibentuk secara berlebihan, tanpa
taring dan bahkan darah yang imo terasa minim, namun petualangan sempit, gelap,
dan dingin dari dua wanita yang bahkan tidak secara gamblang menyebut diri
mereka vampire, berjalan dalam formula yang tidak begitu segar, namun terbantu
berkat sebuah penggambaran yang mampu menangkap penontonnya. Yap, Neil Jordan sukses dalam menciptakan
tampilan visual yang indah dan haunting, menjadi arena bermain bagi unsur
horror, fantasi, misteri, hingga sedikit drama.
Ini akan
terlihat menarik bagi beberapa orang, dua buah kisah yang terpisah 200 tahun
lamanya mampu dijalankan berdampingan dan dengan baik membentuk kombinasi yang
saling membantu. Keunggulan tersebut akan semakin bertambah jika anda suka
dengan keputusan Neil Jordan terus
menutup rapat pintu keluar bagi anda dari ruang bermain yang sudah dipenuhi
dengan pertanyaan bersumber dari misteri yang tidak dapat dipungkiri juga
dibangun sama baiknya. Yap, Byzantium
punya daya hipnotis yang sangat tinggi, menjadikan penontonnya sulit untuk
lepas, terjerat dan fokus pada cerita, yang celakanya juga menjadikan mereka
lupa bahwa sesungguhnya film ini hanyalah berputar-putar pada sebuah kisah yang
dangkal.
Memang tidak
ekstrim, namun cara film ini menyampaikan cerita yang ia miliki terasa cukup
mengganggu. Dua buah kisah yang sejak awal sudah dibangun agar tampak kompleks
itu pada akhirnya terasa kurang berharga jika menilik apa inti yang ingin
mereka sampaikan, sebuah arti penting dari ikatan keluarga. Byzantium kerap kali terlihat tersesat,
bingung sendiri ditengah upaya menjadikan penonton bingung dengan misteri yang
ia hadirkan, mondar-mandir dipenuhi rasa cemas. Benar, konsentrasi Neil Jordan seperti terpecah dua, pada
bagaimana cara ia membangun cerita, dan bagaimana cara untuk menjaga agar
misteri itu terus tersembunyi hingga paruh akhir, hingga akhirnya memilih untuk
tidak menghadirkan clue-clue yang bersih dan matang.
Terus merasa
penasaran adalah sebuah hal yang nikmat dalam menyaksikan film, namun akan
mengecewakan jika tidak ditemani dengan sebuah progress cerita yang menjadikan
penantian anda tidak sia-sia. Hal itu yang tidak dimiliki Byzantium, mereka mencoba menjadikan konflik utama tampak begitu serius
namun disisi lain mereka sendiri tampak sangat takut untuk membuka jalan masuk
yang lebih jauh bagi penonton agar dapat masuk kedalam cerita. Kisah A
berkaitan dengan B, B dengan C, C juga punya hubungan dengan A, maju mundur
dengan kerap melakukan pengulangan yang sama, anda seperti menyaksikan seorang
pendongeng yang mirip dengan Clara, memakai topeng dengan senyum manis yang
licik, tanpa kejujuran yang total.
Performa dari
kedua aktris utama layak mendapatkan atensi lebih. Gemma Arterton mampu menjadikan masalahnya tampak rumit, menarik
simpati namun terus ditemani rasa cemas. Sedangkan Saoirse Ronan lebih kepada kemampuan ia untuk membangun serta
menjaga misteri yang dibawa Eleanor, serta menampilkan keraguan pada dua
pilihan dalam penjara kesepian yang melandanya. Namun kisah yang ditulis oleh Moira Buffini tidak memberikan
kesempatan yang lebih besar pada Arterton dan Ronan, hasilnya dua karakter itu
menarik ketika berjalan sendiri namun hambar tanpa chemistry ketika bersatu,
kurang bernyawa, kurang digali lebih dalam padahal punya potensi untuk
menghadirkan permainan emosional yang lebih menarik.
Byzantium punya potensi, namun dirusak sendiri
oleh Neil Jordan yang sibuk membangun materi yang ia punya. Ya, memang tidak
punya banyak plot, namun Jordan tampak memaksa agar tiap elemen tampak panjang
yang justru menjadi boomerang baginya karena kesulitan dalam menyatukan dan
merangkai mereka menjadi komposisi yang kompak. Bersumber dari tujuan utama
yang kurang kokoh, Byzantium perlahan mulai tampak seperti tumpukan plot yang
sesak dan lesu, usaha pelacuran yang menghadirkan Noel (Daniel Mays), romansa jiwa muda antara Eleanor dengan Frank (Caleb Landry Jones), serta kisah
dua abad yang lampau dan mengundang Jonny
Lee Miller dan Sam Riley kedalam
cerita.
Overall, Byzantium adalah film yang cukup
memuaskan. Hal yang paling memikat adalah tampilan visual yang ia miliki,
menarik, sama menariknya dengan premis dan naskah yang punya potensi untuk
menjadi besar. Namun Neil Jordan
kurang mampu mengontrol materi yang ia miliki dan justru menjadikan mereka
seperti beban, pengulangan yang membosankan dan mematikan tensi serta momentum
untuk bergerak lebih tinggi. Jika tujuan utama Neil Jordan untuk memberikan kembali nafas segar pada sosok vampire, maka ia berhasil. Namun bukan itu
tujuan utama saya menyaksikan film ini, dan tentu saja cukup dangkal untuk
dijadikan harapan utama dibalik potensi besar yang ia punya.
0 komentar :
Post a Comment