"What they did to me, what I am, can't be undone."
Mungkin popularitasnya
belakangan ini mulai terusik oleh beberapa superhero yang mampu tampil memikat,
namun jika berbicara karakter superhero yang punya karakterisitik yang kuat,
serta leadership paling mumpuni dan
memikat, jawabnya adalah Wolverine.
Bukan tindakan yang salah memberikan kesempatan kedua pada Wolverine, namun
yang menjadi pertanyaan adalah apa misi yang diusung oleh Marvel pada The Wolverine,
padahal mereka tahu bahwa empat tahun lalu aksi solo Logan tanpa bantuan
rekan-rekannya secara penuh tidak berakhir manis.
Setelah X-Men: The Last Stand, Logan (Hugh Jackman) memutuskan untuk
menghindar dari segala hiruk pikuk dunia, memilih tinggal disebuah pegunungan
dan menjadi pertapa sembari terus dihantui bayangan masa lalu kelamnya dalam
bentuk mimpi dengan kehadiran wanita yang ia cintai Jean Grey (Famke Janssen). Namun suatu ketika ia bertemu dengan Yukio (Rila Fukushima), wanita Jepang
berambut merah yang mengemban tugas untuk membawa Logan ke Tokyo atas permintaan Yashida
(Hal Yamanouchi), pria tua yang pernah Logan selamatkan saat Perang Dunia II, untuk sekedar
mengucapkan salam perpisahan.
Celakanya Logan harus
masuk kedalam konflik yang tidak sesederhana yang ia bayangkan, dimana Yashida
ternyata menginginkan sesuatu yang ia miliki, dengan imbalan hal yang selama
ini Logan inginkan. Logan juga harus masuk kedalam pertarungan memperebutkan
tahta yang melibatkan Yakuza serta Samurai, diminta untuk melindungi cucu
perempuan kesayangan Yashida, Mariko
Yashida (Tao Okamoto), yang merupakan calon pewaris tahta Shingen, sembari terus berupaya untuk
lepas dari tekanan batin yang masih menghantuinya.
Sejak bagian pembuka The Wolverine telah melakukan satu
kesuksesan, ia mampu menjadikan penontonnya untuk sejenak melupakan memori
kelam dari kekacauan yang pernah ia tampilkan empat tahun lalu. Ditengah
gempuran film superhero dengan
pattern yang sama, The Wolverine
justru mampu menghadirkan sebuah presentasi yang dapat dikatakan cukup segar. James Mangold berhasil menjalankan
misinya untuk menjadikan film ini terasa lebih dalam, dimana ia mampu
menghadirkan sebuah keseimbangan pada sosok Wolverine,
karakter yang tangguh serta sosok yang sedang berada dalam penderitaan batin
berhasil menarik atensi sama baiknya.
Tampil sederhana dan
terkesan bermain aman, mungkin tampak kurang ambisius, namun keputusan untuk
menahan segala kemewahan yang dimiliki sosok seorang superhero dan lebih memilih bermain dengan materi bernafaskan
personal yang justru menjadikan The
Wolverine tampak menarik, pada awalnya. Konflik emosional yang menjadi
nafas utama dikemas dengan efektif, tidak dibentuk menjadi rumit yang
menjadikan cerita serta karakter mengalami sebuah perkembangan yang harus
diakui bergerak kearah positif. Namun memasukkan sebuah cerita sempit kedalam
ruang bermain yang sangat luas jelas sebuah keputusan yang penuh resiko, dan
film ini menerima dampaknya.
The
Wolverine punya cerita yang sederhana, dan berhasil Christopher McQuarrie, Mark Bomback, dan
Scott Frank transfer kedalam script sederhana yang terasa rapi dan
solid dibagian awal. Sayangnya, semakin jauh ia berjalan kekuatan tersebut
perlahan sirna dimana ia mulai tampak bingung, stuck. Cerita terasa seperti
dikebut dengan aksi mondar-mandir tanpa sebuah tujuan yang menarik, seperti
sebuah upaya yang dipaksakan agar dapat tampil lebih kompleks tapi celakanya
tidak disertai dengan kehadiran materi baru yang mumpuni. Mengecewakan, tanpa
kehadiran shocking moment segala
kenikmatan diawal mulai menghilang, dan pada akhirnya harus berakhir dengan
omong kosong yang konyol tanpa klimaks yang menarik.
Permasalahan utama dari
The Wolverine yang begitu mengganggu
adalah sebuah rasa bingung yang ia miliki pada apa identitas utama yang ingin
ia tampilkan. Ada dua buah warna cerita pada film ini, sebuah studi karakter
yang mencoba menggali jauh lebih dalam sosok seorang Logan dengan berlandaskan
materi penyesalan yang ia alami akibat membunuh wanita yang ia cintai bersama
kutukan yang ia miliki, namun dilain sisi ia seperti mengemban sebuah tekanan
besar agar tidak melupakan statusnya sebagai sebuah film blockbuster, yang berdampak pada banyak sekali kehadiran
materi-materi dangkal dan merusak yang seperti disengaja untuk menghadirkan
sisi teknis yang harus di akui tampil baik.
Nilai minus lainnya
adalah The Wolverine terlalu terlena
pada apa yang telah ia hadirkan tanpa mencoba membawa nafas baru kedalam
cerita, sehingga harus menjadikan banyak ruang di durasi 126 menit yang ia
miliki terasa sia-sia. Hanya adegan diatas kereta peluru yang memikat, dan
materi lain diluar itu sulit untuk membekas lama di memori. Camera works yang
menghadirkan beberapa gambar menarik justru tampak seperti sebuah upaya untuk
menjadikan penontonnya terkesan dengan sedikit nuansa hipnotis berkedok
pengalihan dari cerita yang mulai melemah, ketimbang menjadi bagian untuk
memperdalam cerita yang ia tampilkan. Yap, bahkan kualitas 3D yang ia miliki
terasa miskin, tidak memberikan kenikmatan yang menjadikan ia berbeda dengan
versi regular.
Dari jajaran aktor,
yang paling berhasil memberikan kejutan adalah Tao Okamoto, dimana ia tampil memikat sebagai pion yang menuntun
karakter Logan untuk bertumbuh bersama konfliknya. Hugh Jackman jelas tidak
perlu diragukan lagi, ia mampu mengeksekusi dengan baik dua konflik yang ia
miliki secara seimbang. Rika Fukushima
berhasil memberikan warna ceria meskipun bahasa inggris yang ia tampilkan
sedikit mengganggu, sedangkan Famke
Janssen memberikan dampak seperti yang dilakukan Tao Okamoto, namun dalam
volume yang lebih kecil. Masalah yang dimiliki The Wolverine adalah ia tidak punya villain yang mumpuni. Hiroyuki Sanada seperti kesulitan
membangun karakternya, sedangkan Svetlana
Khodchenkova (Viper) dibentuk
secara berlebihan padahal tidak diberikan tugas yang mumpuni.
Overall, The Wolverine adalah film yang cukup
memuaskan. Walaupun menghadirkan sebuah kemasan yang bergerak positif dari apa
yang dihasilkan pendahulunya, film ini terasa kurang matang yang tampak lewat
rasa bimbang pada identitas utama yang ingin ia tampilkan. Terkadang intens,
terkadang datar, The Wolverine punya
momen fun dan boredom yang sama besarnya. Ketimbang dilabeli sebagai film superhero yang berdiri mandiri, The Wolverine lebih layak disebut
sebagai upaya lain dari Marvel untuk
memperkuat sosok kunci yang mereka miliki sebagai persiapan film X-Men berikutnya, tahun depan.
0 komentar :
Post a Comment