Having a child is not as easy as you think about, itu mengapa
tidak sedikit pasangan suami istri yang memilih tidak ingin terburu-buru untuk
memiliki anak. Mereka akan membawa sebuah perubahan, menjadi anugerah terindah
yang memberi warna dan semangat baru, namun di lain sisi juga menjadi sebuah
tanggung jawab yang sangat besar. What
Maisie Knew, diadaptasi dari novel abad 19, sebuah perpaduan brilliant
antara pertanyaan “Apa itu orangtua yang baik?”, bersama sindiran “Don't be a parents if you still have a lot
of asshole attitude!”
Susanna (Julianne Moore), a female
rocker with a high temper, moody dan berjiwa bebas, sepertinya telah melakukan
sebuah kesalahan besar menikah dengan Beale
(Steve Coogan), pria Inggris bergaya elegan yang bekerja sebagai art dealer. Apartement mereka di daerah Manhattan setiap harinya selalu diisi
dengan pertengkaran penuh emosi bernada tinggi, berupaya saling menyalahkan dan
saling menjatuhkan, sebuah pemandangan yang familiar bagi nanny mereka Margo (Joanna Vanderham), dan celakanya
juga bagi anak perempuan mereka yang masih berusia enam tahun, Maisie (Onata Aprile).
Keluarga
disfungsional ini tidak menunjukkan perubahan kearah positif, dan keduanya
memutuskan untuk bercerai (tidak perlu spoiler, tidak begitu penting), dengan
Maisie yang diasuh secara bergantian. Tapi celakanya upaya saling menghancurkan
itu ternyata belum usai, yang kemudian menghadirkan Lincoln (Alexander Skarsgård), seorang bartender, kedalam kehidupan
Susanna. Menggunakan Maisie sebagai pion untuk menunjukkan rasa benci, mereka
tidak sadar bahwa dibalik ketenangan yang Maisie tunjukkan bersama upaya untuk
mendamaikan kedua orang tuanya, gadis kecil itu telah kecewa bersama
penderitaan yang terlalu dini untuk ia hadapi.
What Maisie Knew adalah film yang indah, cerdas,
efektif, dan predictable. Diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Henry James, tim penulis Nancy Doyne dan Carroll Cartwright sepertinya punya satu visi yang sama dengan dua
sutradara, Scott McGehee dan David Siegel, pada cara untuk
menggambarkan kisah heartbreaking ini. Tema utama bernafaskan permasalahan kaum
dewasa dimana anak akan selalu menjadi korban utama dari perceraian orang tua
mereka berhasil dikemas secara solid dengan penggunaan sudut pandang menarik
yang mampu menghadirkan unsur terpenting yang harus dimiliki tipe drama seperti
ini, konflik emosional.
Kesuksesan utama
film adalah kemampuan ia dalam menggambarkan bagaimana perasaan sakit Maisie
yang harus menjadi korban dari kegagalan dua orang tuanya, yang celakanya
dibalut bersama kondisi diam dan senyum pahit yang terus ia tunjukkan. Cinta
yang begitu besar ketika pertengkaran itu bermula dengan cermat mulai digerus
melalui penggambaran implisit, dan meninggalkan sebuah rasa empati yang tumbuh
semakin besar pada karakter Maisie yang mulai tampak seperti sebuah boneka
kurang berharga, terlebih dengan bantuan kebahagiaan yang ditampilkan lewat
lingkungan sekitarnya yang secara frontal langsung menjadi pembanding antara good parents dan bad parents, dan berhasil menjadi bukti bahwa money can’t buy you a happiness.
Film ini memang
memiliki beberapa bagian yang terkesan seperti sebuah upaya trik hipnotis,
memanfaatkan sosok polos yang bahkan belum tahu mana yang salah dan mana yang
benar, sebagai pion utama untuk menjadikan penontonnya terlena merasakan
permainan melodrama yang emosional dari sebuah kisah yang sempit, dan tidak
bergerak dalam tempo yang dinamis. Namun jebakan itu bukan upaya dari mereka
untuk menutupi nilai minus yang mereka miliki, tapi sebuah usaha untuk
menjadikan penontonnya semakin larut dalam permainan emosional yang sederhana
bersama Maisie. Dan, setting itu berhasil, menjadikan penonton sebagai observer
yang mulai merasakan sakit yang Maisie rasakan, sedih ketika ia tersiksa, dan
ingin mencoba membantunya ketika harapan itu ada.
What Maisie Knew punya konflik emosional yang
dalam, sanggup menjaga inti utama dari kehadirannya, namun tetap mampu menjadi
penggambaran yang kokoh tanpa mencoba mengeksplorasi setiap elemen krusialnya
secara berlebihan. Scott McGehee dan David Siegel berhasil membangun simpati
hingga rasa sakit dan jengkel anda kepada orangtua Maisie lewat materi-materi
yang berwarna, powerfull namun
lembut. Hal menarik lainnya adalah cara mereka membentuk karakter Maisie yang
tidak terlalu overdo, diberikan
batasan yang menjadikan ia tetap seorang anak yang polos, dari mengintip
pertengkaran orangtua, bermain ayunan, hingga naik sepeda roda tiga.
Memang, What Maisie Knew punya cerita yang
terlalu mudah untuk ditebak (yang bahkan tidak memberikan sebuah konklusi),
namun dapat dengan mudah dimaafkan, karena menjadi sebuah tontonan yang
kompleks dari segi cerita bukan menjadi tujuan utama mereka. What Maisie Knew lebih mengutamakan agar
para penontonnya dapat ikut bertumbuh bersama konflik yang ia usung dari sisi
emosional, rasa sakit dan penderitaan karena kebutaan akibat egoisme yang
begitu tinggi. Hal tersebut yang akan membagi penontonnya kedalam dua kategori,
dengan keberhasilan yang tergantung pada kecocokkan perspektif penonton tersebut dengan maksud yang ingin mereka
sampaikan.
Bintang utama
film ini, Onata Aprile. Aprile sangat
berhasil mengolah materi yang ia miliki, terutama pada cara ia menggambarkan
penderitaan yang Maisie alami dalam bentuk upaya menahan rasa sakit dalam diam,
yang justru memberikan rasa sakit yang lebih besar kepada penontonnya. Empat
pemeran lainnya berdiri sejajar. Moore berhasil menjadi pusat dari egoisme yang
menghancurkan, sedangkan Coogan mampu menjadi sosok yang paling menjengkelkan.
Skarsgård sukses menjadikan karakter sebagai penggambaran paling tepat dari
sebuah ketulusan, sedangkan Vanderham menjadi sosok kebalikan dari Susanna,
lewat kepedulian yang ia miliki.
Overall, What Maisie Knew adalah film yang
memuaskan. Ini adalah film sederhana yang sangat efektif, dapat menjadi sebuah
wake up alarm buat para orangtua, dan mungkin bahkan calon orangtua, bahwa arti
dari sebuah pernikahan bukan hanya sebatas ikatan administratif, get a lot of
money, and give your child a lot of toy to make them happy, karena mereka
justru merasa lebih bahagia hanya dengan hal sederhana. They may just an innocent child who you think can easily brainwashed
with just a “love” word, but they are far clever than that, they need your
attention and thoughtfulness too, they need your respect.
Menarik sepertinya, nonton di DVD kah?
ReplyDelete@Rima Nurastuti: Unduh. :)
ReplyDelete