Sebuah film dengan
cerita yang berlapis merupakan sebuah paket yang tidak mudah, baik dari si
pencipta dan juga bagi penonton. Namun ketika ia berhasil membangun kerumitan
dan kemudian mengurainya dengan cemerlang, hanya penilaian impresif yang layak
diberikan, sesuatu yang dimiliki Inception.
Danny Boyle mencoba menerapkan hal
tersebut, masih dengan cara yang ia miliki namun dengan sebuah kejutan yang
tidak terduga, nearly to be a good hypnotize movie, but now
with a powerful nonsense.
Simon
(James McAvoy) ternyata bukanlah seorang pria yang
cemerlang dan cerdas seperti tampilan yang ia punya, dimana ia ternyata
memiliki sebuah kisah kelam yang mempertemukannya dengan sebuah masalah akibat
kegemarannya berjudi. Tuntutan tersebut memaksanya untuk bekerja sebagai
seorang juru lelang seni rupa, yang disaat ia sedang bertugas sedang melakukan
pelelangan sebuah lukisan Goya
senilai £ 25juta. Celakanya seorang pria bernama Franck (Vincent Cassel) bersama kawanannya sedang berupaya mencuri
lukisan tersebut.
Simon memang selamat
dari kejadian itu, namun lukisan yang ia jaga menghilang, sama seperti
ingatannya akibat sebuah pukulan telak di kepala. Memori yang telah lenyap
memaksa Franck, yang menculik Simon karena menduga ia tahu lokasi lukisan tersebut,
mengirim Simon ke seorang hipnoterapis bernama Elizabeth (Rosario Dawson), menggunakan metode hipnotis sebagai
upaya untuk mengembalikan kembali ingatan Simon, serta mendapatkan informasi
lokasi dari lukisan tadi.
Trance
adalah film yang rumit, namun anehnya tidak sulit. Bermain dengan tema realita
vs memori, menghadirkan berbagai konflik dalam bentuk mimpi berlapis, cerita
yang ditulis oleh Joe Ahearne dan John Hodge tampil sangat impresif di
bagian pembuka. Hal utama yang menjadi titik kunci film berhasil ditampilkan
dengan baik oleh Danny Boyle, menebar
dengan tegas sebuah misteri yang menjadikan anda sebagai penonton ikut
melakukan analisa serta interpretasi pada cerita, bermain dengan pertanyaan
yang pada akhirnya menciptakan sebuah keraguan pada karakter, siapa hitam dan
siapa putih.
Film yang merupakan
remake dari film TV Inggris tahun 2001 ini juga sanggup menyuguhkan komposisi
yang baik di bagian teknis. Membantu anda untuk masuk kedalam ruang hipnotis
dengan tingkat kesulitan membedakan reality dan mimpi yang mumpuni. Naskahnya
terkesan keren namun sesungguhnya sangat biasa, dibungkus oleh Boyle dengan
tampilan visual penuh warna yang menghipnotis, bergerak cepat bersama musik
dari Rick Smith menjadikan teka-teki
yang terus dibangun kompleksitasnya ini seperti terus menjerat dengan kuat
secara perlahan.
Sayangnya, Trance berada di level medium, posisi
dimana ia tidak menjadikan anda merasa bosan, namun di lain sisi tidak berhasil
membentuk konflik utama yang ia miliki menjadi tontonan yang tetap menarik. Hal
tersebut bermula ketika Trance mulai sibuk membangun plot demi plot, dimana
Boyle mulai tampak kehilangan kendali sehingga alur yang ia rajut dengan cukup
rapi harus berjalan dengan daya tarik yang minim. Yap, teka-teki yang kompleks
itu seperti mulai kehilangan arah, bingung dan tersesat, yang celakanya dibalut
dalam upaya mereka yang sangat tampak ingin menjadikan film ini tampil megah.
Ambisi yang besar
memiliki resiko yang besar pula, dan Trance mengalami hal tersebut. Bukannya
bersatu menjadi sebuah kesatuan yang padat, beberapa plot baru mulai
menciptakan lubang yang mengganggu. Cara mereka dibentuk yang menjadi penyebab
utama, terlalu sibuk dan asyik dalam menciptakan intrik dan misteri untuk
menghadirkan serta menyusun twist demi twist dalam cerita. Hasilnya tiga
karakter utama seperti boneka tanpa nyawa, digerakkan liar dan sesuka hati
hanya sebatas untuk menggerakkan cerita. Ya, selepas bagian pembuka mereka
tampak bingung ingin membentuk Trance menjadi film seperti apa.
Film ini menarik disaat
ia sedang menciptakan konflik utama dibagian awal, namun tidak demikian ketika
kerumitan mulai ditingkatkan dan para karakter dalam cerita mulai menjalankan
tugasnya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tumpukan plot yang Boyle bangun
memang tidak terasa kusut, namun tidak pula tampil menarik. Tidak hadir sebuah
kepedulian dari kaitan antara A dan B, B dan C, yang ada hanya pertanyaan utama
lokasi dari lukisan itu berada. Alur cerita terasa mengganggu, dan beberapa
plot seperti dipaksakan kehadirannya (dimana polisi?; rental car company didn't check the car who's been used?) hanya untuk menutupi lubang yang dapat
menjadikan mereka tampak lebih konyol.
Namun dia Boyle, sosok
yang sejauh ini mampu menjaga film yang ia miliki agar tidak jatuh ke titik
terendah (hanya Trainspotting, film
Boyle ditahun 199X yang saya tonton). Tapi jika harus membandingkan Trance
dengan filmnya terdahulu di era millennium, Trance berada di bawah standar dari
seorang Danny Boyle, dengan faktor
utama terletak pada kurang berhasilnya ia membentuk karakter utama menjadi
menarik, hal yang dimiliki filmnya terdahulu, seperti 127 Hours dan Slumdog
Millionaire. Ini menjadikan penampilan James
McAvoy dan Vincent Cassel terasa
standar, hanya Rosario Dawson yang
sedikit mencuri perhatian. Ya, Trance “beruntung” punya Danny Boyle.
Overall, Trance adalah film yang cukup memuaskan.
Tidak membosankan, namun juga tidak begitu menarik. Danny Boyle mampu menciptakan kunci utama dalam bentuk keraguan
pada konflik utama dibagian awal, namun tidak berhasil membangun tumpukan plot
yang kemudian hadir agar tampil memikat. Trance punya daya hipnotis yang sangat
kuat, dapat mengalihkan perhatian anda dari cerita yang mayoritas dipenuhi
dengan omong kosong jika anda tidak mampu terjaga diakhir cerita.
0 komentar :
Post a Comment