Love and doubt have never been on speaking terms
(Kahlil Gibran).
Yap, cinta adalah kecocokan jiwa, dan jika itu tidak pernah ada, cinta tak akan
pernah tercipta. Itu mengapa banyak orang mengatakan koleksi, kemudian seleksi,
dan berakhir di resepsi. Anda harus memilih, memilih yang terbaik dari yang
terbaik bagi anda, sosok yang anda yakini sepenuh hati akan menemani anda
hingga anda mati. Drinking Buddies,
simple, segmented, surprisingly nice, a comedy about knowing when to say when.
Kate (Olivia Wilde) dan Lukas (Jake Johnson), rekan kerja di
sebuah pabrik pembuatan bir, memiliki hubungan persahabatan yang sangat sangat
dekat, dari minum bir bersama, hingga saling menggoda tanpa merasa canggung
sama sekali. Karakter yang identik, jiwa bebas yang humoris, menjadikan
siapapun yang melihat Kate dan Lukas pasti akan beranggapan bahwa mereka adalah
dua individu yang sangat cocok menjadi pasangan kekasih. Sayangnya, mereka
telah memiliki hal tersebut, terpisah.
Kate menjalin
hubungan dengan Chris (Ron Livingston),
seorang produser musik, dan Lukas telah menjalin hubungan selama enam tahun
bersama Jill (Anna Kendrick), yang
bahkan telah membahas masalah pernikahan. Sayangnya dua kekasih mereka itu
adalah tipikal seorang yang serius, dan menghadirkan rasa ragu pada Kate dan
Lukas, apakah mereka pilihan yang tepat untuk menjadi pendamping hidup mereka,
terlebih dengan batas pertemanan antara mereka yang pelahan mulai terasa
semakin tipis.
Daya tarik utama
film ini sebenarnya bukan terletak pada beberapa nama besar yang ia miliki di
divisi akting, melainkan Joe Swanberg,
salah satu insan di perfilman Indie USA yang terkenal dengan prinsip “out of the
box” miliknya, punya lebih dari selusin film hanya dalam kurun waktu delapan
tahun, tahun lalu sempat membuat sebuah kehebohan lewat debat yang ia lakukan
di ring tinju dengan salah satu kritikus yang tidak ia suka. Tidak cukup sampai
disitu, pernyataan yang Swanberg lontarkan -believe it or not- bahwa film ini
dibangun hanya dengan sebuah konsep kasar, perkenalan dengan aktor lewat skype dan mulai bertukar opini, serta
dialog yang “masih” bergantung sepenuhnya kepada kebebasan yang diberikan pada
para aktor, well, itu menarik.
Ini adalah
sebuah tontonan yang menarik tentang sebuah peperangan antara ikatan persahabatan
melawan hubungan asmara, yang bercampur dengan rasa tidak nyaman dibarengi
godaan yang menimbulkan dilemma. Hanya dengan sebuah pertanyaan, mana yang akan
anda pilih, melepas kisah asmara yang telah terbangun kokoh demi mendapatkan
sosok yang punya karakteristik dari pasangan ideal yang anda impikan, atau
justru sebaliknya. Dua warna yang yang tampil sama baiknya menjadikan rasa ragu
ikut berjalan dalam cerita, hal yang membuat penontonnya semakin penasaran pada
pilihan akhir, sembari terus waspada pada sebuah ledakan akibat intensitas
gesekan yang dibangun dengan baik secara bertahap.
Karakter menjadi
kunci kesuksesan film ini. Mereka seperti berada di zona netral, dibalut
bersama dengan kebimbangan dan rasa lelah pada hubungan masing-masing, dibantu
dengan sebuah kesempatan yang membuka jalan bagi mereka untuk keluar dan
mencari siapa yang sebenarnya terbaik untuk mereka. Selain itu mereka berhasil
dibentuk dengan indah dan efektif, interaksi yang terlihat natural, mampu
membuat penontonnya merasa seperti menjadi salah satu dari mereka, apalagi
konflik yang dibawa adalah sesuatu yang begitu familiar dan mudah untuk anda
temukan di kehidupan nyata. Ya, mereka menjadikan film ini tampak nyata.
Drinking Buddies adalah bukti terbaru dari sebuah
keberanian Joe Swanberg. Swanberg
mengambil sebuah keputusan yang berani, seperti tidak begitu peduli dengan
script yang terlalu simple dan di beberapa bagian menampakkan efek negatif yang
ia bawa, improvisasi, improvisasi, namun mampu menciptakan sebuah penggambaran
konflik dengan nafas utama pada situasi sebuah kisah asmara, dibentuk dengan
cara yang unik dan mungkin akan cukup sulit diterima. Ini bahkan sulit untuk
menyandang sebuah pengamatan pada pertumbuhan karakter tertentu, lebih kepada
sebuah kemasan mumblecore berisikan berbagai penggambaran situasional sebagai
materi observasi ringan tentang relationship pada karakter yang diharuskan
memilih dari dua opsi dengan batasan yang frontal.
Komedi yang ia
miliki sebenarnya tidak seluruhnya bekerja dengan baik, namun itu yang justru
menjadikan film ini menarik, dimana unsur komedi yang sesungguhnya telah
menjadi harapan utama dari para penontonnya justru tidak berada di posisi
terdepan, tapi hadir untuk sekedar mewarnai konflik batin antar karakter, sama
dengan fungsi yang dimiliki oleh budaya minum beer sebagai jalan menuju konflik
utama. Yak, misi utama yang ingin Swanberg sampaikan dimana komunikasi dan
saling terbuka menjadi kunci sebuah hubungan asmara yang sehat mampu terus
tampil fokus, walaupun terkadang cukup terganggu oleh cinematography dari Ben
Richardson yang tampil seperti dua sisi koin, terkadang cantik, namun
beberapa kali sempat tampil dengan rasa bingung.
Keberhasilan Drinking Buddies mencuri perhatian tidak
lepas dari performa ampuh dari empat pemeran utama, mampu menciptakan sebuah
chemistry yang sangat menarik, terlebih mengingat mereka banyak melakukan
improvisasi pada dialog yang mereka miliki. Mereka mampu menggunakan dengan
baik ruang bermain yang telah dibangun oleh Swanberg, sanggup menciptakan
dilemma sederhana yang kuat dalam bentuk kisah cinta segiempat. Yap, sulit
untuk membahas mereka satu per satu, karena kekuatan utama yang mereka ciptakan
terletak pada chemistry antar karakter dalam menyampaikan rasa yang mereka alami
kepada penonton.
Overall, Drinking Buddies adalah film yang cukup memuaskan. Film yang awkward, lucu, Drinking Buddies berhasil menjadi penggambaran yang sederhana dan efektif tentang perpaduan berbagai materi yang saling bekerja satu sama lain dalam sebuah relationship, punya kualitas akting yang mumpuni, dan dikemas dalam bentuk realitas yang cukup menyenangkan.
0 komentar :
Post a Comment