“The devil
exists. God exists. And for us, as people, our very destiny hinges upon which
one we elect to follow.”
Ada satu
fenomena menarik ketika menyaksikan The
Conjuring, dimana studio/theater hampir terisi penuh, namun uniknya bangku
di posisi kolom terluar mayoritas kosong. Hal tersebut lazim terjadi pada film
horror, genre dengan tingkat kesuksesan yang ditentukan dari kemampuannya untuk
menjadikan penonton merasa gelisah, bergidik kejut, dan merasa waspada terhadap
lingkungan sekitar mereka, termasuk dengan bangku kosong disebelahnya. The Conjuring, not as great as what they
said through the hype, but succeed becomes an effective package.
Tahun 1971, Roger Perron (Ron Livingston) dan Carolyn Perron (Lili Taylor) memutuskan
untuk pindah ke sebuah rumah tua di kawasan pertanian terpencil yang terletak
di Harrisville, Rhode Island, bersama lima orang anak perempuan mereka, Andrea (Shanley Caswell), Nancy (Hayley
McFarland), Christine (Joey King), Cindy (Mackenzie Foy), dan April (Kyla Deaver). Disaat sedang
mengemasi barang, berawal dari permainan petak umpet yang dilakukan oleh
anak-anak mereka, Roger dan Carolyn menemukan sebuah ruang bawah tanah rahasia
yang ternyata menjadi sebuah peringatan bahwa mereka tidak datang ke rumah
kosong.
Banyak hal aneh
mulai menghampiri keluarga Perron, yang pada akhirnya mulai menjadikan Carolyn
merasa terganggu dan memutuskan untuk meminta bantuan kepada Ed Warren (Patrick Wilson) dan Lorraine Warren (Vera Farmiga), pasangan
suami istri yang lebih senang disebut sebagai peneliti paranormal ketimbang
pemburu hantu. Mereka menerima dengan sebuah anggapan bahwa itu hanya masalah
kecil yang tidak berpotensi meninggalkan trauma exorcism baru kepada Lorraine.
Namun dugaan itu salah, “mereka” lebih kuat, dan membalikkan status mereka
menjadi bukan lagi pemburu.
Jika menilik
dari budget kecil yang ia miliki, sebenarnya The Conjuring telah memperoleh satu kesuksesan yang mungkin akan
dikenang cukup lama, hype. Yap, film
ini punya hype yang sangat sangat tinggi, bahkan mungkin dapat disejajarkan
dengan beberapa film blockbuster.
Pertama, James Wan, sosok muda
bertalenta yang sepertinya telah menjadi favorit baru bagi para pencinta horror
sejak kehadirannya di Saw hampir satu
dekade yang lalu, tahun ini punya dua film horror, dan beberapa bulan
sebelumnya telah ditunjuk untuk memegang kendali utama Fast & Furious 7. Kemudian penundaan rilis yang ia alami, dari
Januari ke Juli akibat respon positif yang diperoleh. Dan yang terakhir, review
awal yang mumpuni disertai beberapa gambar yang telah beredar di internet yang
mengatakan The Conjuring akan
memberikan dampak psikologis yang cukup besar.
Untungnya anda
tidak akan dibuat kecewa, karena James
Wan. Ia sepertinya sadar akan kelemahan utama dari materi yang ia
miliki, sebuah script karya Chad Hayes dan Carey Hayes yang sempit dan sederhana, terasa kurang tajam bila
tidak ingin disebut lemah, yang celakanya tidak begitu menjadi fokus utama
akibat tertutupi rasa gelisah yang dibangun dengan rapi sejak awal. Tidak
banyak efek visual yang mewah, Wan membuat sebuah keputusan yang tepat dengan
lebih memilih untuk memakai cara klasik lewat permainan kamera (shoot diatas
kepala yang berputar di dua lantai itu, indah), dengan formula hide-and-seek
yang berhasil menjadikan penontonnya ikut merasa waspada. Ya, ini sebenarnya
tidak lebih dari sekedar sebuah film rumah hantu, yang dibalut dalam berbagai
materi dasar dari sebuah film horror yang variatif, dengan beberapa gimmicks dalam bentuk permainan jeda
berdurasi pendek yang sangat apik, meskipun beberapa kali menghadirkan gotcha
moment yang kurang powerful.
Apa yang menjadikan
The Conjuring tampak powerful adalah
kemampuannya dalam menjaga agar cerita sempit dan lemah yang ia miliki mampu
untuk terus memberikan thrill yang intens, dibentuk dengan cara yang
manipulatif dalam wujud yang sederhana dan efektif. Wan berhasil menciptakan
sebuah kekuatan yang sangat besar pada banyak materi yang ia miliki, ada hantu,
setan, kemudian jam yang berhenti, hewan yang bertingkah aneh, kamar rahasia,
kotak musik, boneka Annabelle yang creepy, hingga berbagai perilaku yang mulai tidak
normal. Ini mungkin bukan sebuah materi baru yang segar, beberapa bahkan akan
menyebutnya klasik, namun The Conjuring
berhasil menyatukan semua materi tadi menjadi sebuah perpaduan yang tidak
murahan sama sekali dalam bentuk atmosfer terror yang perlahan terus tumbuh
semakin besar (score dari Joseph Bishara bekerja cukup baik), point penting
yang menjadikan sebuah film horror tampak menyenangkan.
Hal utama yang
dapat menjadikan menonton film horror menjadi jauh lebih nikmat adalah dimana
anda harus menyerah sejak awal, ya, harus, tidak memaksakan diri untuk tampak
berani, dan siap untuk ditakut-takuti. Celakanya, meskipun telah melakukan hal
tersebut, The Conjuring secara
mengejutkan ternyata tidak sepenuhnya mampu tampil menakutkan. Ini lebih kepada
permainan efek kejut dengan formula klasik, untuk sesaat membuat penontonnya
ikut merasakan suasana tidak nyaman, namun setelah ia berlalu apa yang ia
tampilkan tersebut tidak punya power yang cukup kuat untuk dapat melakukan hal
yang sama, tinggal dan bermain-main dipikiran penontonnya dalam jangka waktu
yang lama. James Wan berhasil dalam
tugasnya menakuti-nakuti penonton, namun tidak pada salah satu elemen penting
lainnya dari sebuah film horror, meninggalkan trauma skala kecil pada
penontonnya (saya mimpi indah pada malam setelah menonton TC, hal yang tidak
terjadi ketika menyaksikan Sinister,
tiga kali).
Performa paling
memikat adalah milik dua pemeran wanita dewasa. Vera Farmiga tampil solid, dan paling berhasil menjadikan
karakternya menjadi menarik lewat kesuksesan menjadi dalang dari kehadiran
unsur mistis dalam cerita. Sedangkan Lili
Taylor lebih kepada cara ia menjadikan anda ikut merasakan tekanan yang
depresif dari orang tua yang dengan tanggung jawab lima orang anak. Patrick Wilson tidak begitu gemilang, namun
masih dalam standar yang baik. Dan Ron
Livingston, serta Shannon Kook (Drew)
dan Brad (John Brotherton) murni
sebagai tempelan tanpa konstribusi yang besar untuk membangun cerita. Lima
pemeran anak tidak punya porsi yang besar, namun mampu menghadirkan chemistry
persaudaraan.
Overall, The Conjuring adalah film yang
memuaskan. The Conjuring mirip film horror pertama yang muncul di blog ini, The Awakening, tidak terburu-buru dalam
membangun cerita, namun punya intensitas horror yang sangat efektif meskipun
tidak begitu menakutkan. Hype yang ia
miliki mungkin terkesan sedikit berlebihan, namun jika anda mencari sebuah
sajian film horror yang masih mampu menakuti-nakuti anda meskipun dengan cara
yang klasik, The Conjuring adalah
pilihan yang tepat, karena semua elemen yang James Wan berikan mampu bersatu dan bekerja dengan baik, walaupun
tidak punya after impact yang kuat. The
Conjuring adalah film horror yang menyenangkan, selama 112 menit.
PS: Just a warning to people (especially girl), who can easily scared, please consider to not watching this movie, if you don't have confidence you can enjoy this one, because other spectators will be annoyed if you make a farce trying to distract your fear with checking your goddamn gadget, including TABLET, frequently. Of course you pay, and that's your rights. But please at least try to show a good moviegoers attitude, if you do not want people call you an idiot. :)
Hahaha setuju sama PS-nya, pas nonton ini juga banyak yang ngeselin begitu
ReplyDelete@Rasyidharry: Dan karena males cari masalah hanya bisa diam menahan kesal. :)
ReplyDeletelebai juga hantunya menurutku, ga gitu gitu juga kali, menurutku justru yang menakutkan itu yang kadang tak tampak, tapi dia samar samar malu malu kucing lebih greget,
ReplyDeleteTernyata, Conjuring Ngga seheboh yang dihebohkan.
ReplyDeleteNgga menyeramkan seperti yang dihebohkan.
Ngga bayar pas nonton soalnya ditraktir :)))
Tapi efek kejutnya boleh laaah..
Apalagi pas tau nama salah satu hantunya itu "Rory".
Sialan, kapan kau mati dibunuh, Ror?!
:)))
yaudah, jangan sedih, yuk deh aku temenin maen "Hide and Clap".
Hahaha =)))
@kurnia_fr: Bagian “malu malu kucing” ada kok ditampilkan di The Conjuring, tapi memang gak dominan, karena James Wan sendiri ingin mengisi TC dengan variasi elemen horror, yang bagi beberapa orang justru lebih nikmat. Selera mungkin ya. :)
ReplyDelete@Adhitya Teguh Nugraha: Iya, hype-nya ketinggian menurut aku, sampe masang ekpektasi awal diatas Sinister, eh nyatanya selevel ama The Cabin in the Woods aja ngak.
ReplyDeleteNtar, tak panggil Annabelle dulu, sekalian Billy. :)