"Dollars aren't black and white, they're green."
"You want a player who doesn't have the guts, to fight back?" "No, I want a player who's got the guts not to fight back." Ini dia, salah satu cara yang
sebenarnya paling baik dalam menghadapi masalah, dimana tekanan terus datang
silih berganti tanpa henti, namun hanya dengan confident serta kemampuan dalam
mengontrol diri sendiri semua akan berakhir indah. Yap, seperti sebuah quote
dari Yaira N, “Haters don't really hate you, they hate themselves, because you're a
reflection of what they wish to be.”
42, sebuah biopic yang bercerita
tentang kisah seorang pria bernama Jackie
Robinson (Chadwick Boseman) yang membuka sejarah terbukanya kesempatan dari
masyarakat berkulit hitam tampil pada salah satu olahraga paling digemari di
USA, Baseball. Semua berawal dari sebuah ide kontroversial yang dicetuskan oleh
Branch Rickey (Harrison Ford), pria
tua yang menjabat sebagai tim eksekutif Brooklyn
Dodgers, dimana ia hendak merekrut Jackie dan menjadikannya sebagai pion untuk
menghancurkan dinding pembatas yang begitu tinggi antara hitam dan putih di USA
pada tahun 1945, tepat ketika perang dunia ke-2 berakhir.
Berawal dari Kansas
City Monarki, sempat singgah di Montreal
Royals, dan berakhir di Brooklyn
Dodgers, permasalahan yang dihadapi Jackie justru bertumpu pada dirinya
sendiri, ketika sikapnya yang temperamental dan suka berdebat dengan umpire
hingga dijuluki sebagai seorang troublemaker, dan harus berhadapan dengan
hujatan serta cemooh dari para penonton, bahkan tekanan dari pelatih lawan,
wasit, hingga pihak keamanan dan rekan satu timnya, kemampuan Jackie diuji yang
menjadikannya seperti sebuah balon yang siap meledak.
42 berhasil menjalankan tugas
utamanya sebagai sebuah film biography
dengan sangat baik. Apa yang ingin anda dapatkan dari sebuah biopic berhasil
dihantarkan oleh Brian Helgeland
secara tepat guna, dimana ia mampu mengolah tema utama yaitu rasisme yang masih
sangat kental di akhir perang dunia kedua menjadi sebuah perjalanan penuh
pelajaran menarik dalam membangun perjuangan hidup dalam balutan kisah nyata di
dunia olahraga. Tidak dapat dipungkiri ini adalah kemasan yang sangat
inspiratif, yang bahkan menjadikan durasinya yang begitu panjang itu tidak menjadi sebuah beban.
Penyebab utamanya berasal dari cara film ini
bercerita, simple, namun efektif. Sebut saja di sepertiga pertama film, dimana
karakter Jackie masih coba dibangun. Bagaimana kejamnya rasisme kala itu di
kombinasikan dengan baik bersama porsi yang diberikan kepada karakter utama,
sehingga setiap ketegaran dan kesuksesan yang ia peroleh dapat
divisualisasikan dengan baik. Alur cerita juga bergerak mulus, dengan
perpindahan antar konflik yang terasa apik dan saling membantu tanpa
menjatuhkan pendahulunya. Hal ini menjadikan apa yang telah ia bangun diawal
menjadi tidak terlupakan begitu saja.
Apa yang menjadi hal paling menarik dari 42 adalah
dimana ia tidak berupaya untuk menjadi sebuah biopic yang megah. Helgeland
mencoba untuk menjadikan film tampil sederhana dengan teknik penceritaan yang
akan terasa sedikit kaku dibeberapa bagian, namun sukses dalam menghindari
sesuatu yang mungkin dibenci beberapa orang dari sebuah film biopic. Yak, 42 tidak terkesan
menggurui, tidak mencoba menjadikan dirinya tampak pintar, namun sebaliknya membentuk
kisah yang ia bawa menjadi pintar. Hal lain yang menjadikan film ini menarik
adalah kemampuan dari Helgeland dalam mengontrol tiap adegan agar tidak ditekan
begitu keras, stabil.
Tapi disini justru muncul resiko dari keputusan
tadi, sebuah titik balik yang sebenarnya sangat implisit dampaknya pada film,
namun terasa cukup mengganggu. Ketika anda sudah mendapatkan semua hal terbaik
yang dimiliki film ini, anda akan masuk kedalam sebuah ruang cerita yang
anehnya terasa baru dimana ia mulai tampak bingung harus berbuat apa. Mulai
hadir beberapa bagian yang diekskusi tidak begitu baik, menurunkan dengan
frontal daya tarik cerita terutama dari sisi heroik karakter utama, mulai
membosankan, dan tidak berakhir pada puncak tertinggi. Tidak begitu merusak, namun
jelas menghilangkan potensi yang ia tampilkan sejak awal.
Meskipun begitu Helgeland patut berterima kasih pada
cast ia miliki karena mampu membangun karakter yang mereka miliki dengan baik.
Bukan hanya Chadwick Boseman yang
tampil baik dalam menghadirkan sosok penuh ketegaran, serta Harrison Ford dengan misi utama membawa
optimisme dalam cerita, namun para pemeran pendukung lainnya juga tampil
memikat. Ada Andre Holland yang berperan sebagai Wendell Smith, menjadi
supporter yang baik dalam menjaga kasus rasisme, Christopher Meloni dan Alan
Tudyk yang mampu menjadi scene stealer, serta Nicole Beharie sebagai istri Jackie.
Overall, 42
adalah film yang cukup memuaskan. Ia punya tekanan layaknya The King's Speech, namun disisi lain
mampu menghadirkan sebuah perjuangan bertemakan kaum minoritas yang dikemas
lembut seperti apa yang ditampilkan oleh The
Blind Side. Sederhana, efektif, tidak menggurui, dan penuh dengan pelajaran
hidup yang menarik. 42 mampu menjalankan tugas utamanya sebagai sebuah film
yang inspiratif.
0 komentar :
Post a Comment