Menitikkan air mata ketika menyaksikan adegan menyedihkan
yang dihadirkan oleh sebuah film tentu merupakan sesuatu yang terasa biasa,
walaupun perlu upaya yang sebenarnya tidak mudah bagi sebuah film untuk dapat
menjadikan para penontonnya mengalami hal tersebut. Hal itu pula yang
menjadikan Miracle in Cell No.7
terasa sangat special, sederhana namun mampu menghadirkan linangan air mata,
sebuah karya dengan paduan rasa pahit dan manis yang apik dengan permainan
emosional yang menawan.
Lee Yong-gu (Ryoo
Seung-ryong), pria paruh baya yang dapat menjadi sebuah
gambaran dari kondisi yang tidak di inginkan semua orang akan terjadi pada
mereka. Pria ini mengalami keterbelakangan mental, punya kecerdasan yang berada
di level anak usia enam tahun. Menyedihkan dan terasa ironis, karena anak
perempuannya yang bernama Ye-sung (Kal
So-Won) ternyata berusia enam tahun.
Hal tersebut memberikan dampak yang sangat besar pada hubungan ayah dan
anak ini dimana mereka seperti bertukar posisi. Penyebabnya adalah karena
tingkat kecerdasan Ye-sung lebih tinggi sehingga menjadikan ia yang justru
tampak sebagai pemimpin yang senantiasa merawat ayahnya, yang bekerja sebagai
seorang juru parkir.
Suatu hari, berawal dari konflik pada sebuah tas kuning
bergambar Sailor Moon, sesuatu yang
telah dijanjikan oleh Lee Yong-gu
kepada Ye-sung, ia malah terjebak
dalam sebuah kasus dengan tuduhan melakukan penculikan, kekerasan seksual,
hingga pembunuhan pada anak seorang komisaris polisi, anak yang telah membeli
tas terakhir yang telah lama mereka dambakan, yang kala itu sebenarnya hendak
menuntun Lee Yong-gu menuju toko lain
yang menjual tas sailormoon tadi. Ayah dan anak ini terpisah, Ye-sung dikirim
ke sebuah lembaga pengasuhan, sedangkan Lee Yong-gu dimasukkan ke sel nomor 7,
sel paling keras di penjara tersebut, sembari menantikan hukumannya yang
mungkin berakhir pada tingkat paling maksimum.
Terdapat sedikit perasaan aneh ketika film ini berakhir, kenapa film ini justru bisa tampil menarik padahal premis utama cerita yang ia tawarkan di awal sebenarnya kurang begitu menjanjikan. Lee Hwan-kyung, Kim Hwang-sung, dan Kim Young-seok mengambil sebuah langkah yang sangat berani, menaruh karakter utama dengan sebuah keterbelakangan mental pada cerita dengan konflik yang berat dan menghancurkan, serta menyatukannya bersama kisah sederhana yang sejujurnya punya dasar kurang menarik. Tampak standar, yang ikut berpengaruh pada impresi awal yang dibentuk oleh Miracle in Cell No.7, sebuah film standar yang seperti tidak menjanjikan sebuah tontonan yang megah.
Tapi ternyata bukan itu cara yang mereka pakai untuk menyampaikan pesan utamanya, tidak melalui sebuah kisah yang tertata dengan sangat rapi serta tensi yang stabil dari awal hingga akhir. Miracle in Cell No.7 dibentuk oleh Lee Hwan-kyung untuk menjadi sebuah proses dimana para penontonnya di beri kesempatan berjalan bersama karakter dalam cerita dengan acuan utama pada kesuksesan mereka ikut berkembang dalam hal emosional. Hwan-kyung mengalihkan beban berat yang lewat permainan emosional ketimbang menyampaikannya lewat proses penceritaan narasi yang sebenarnya mudah diprediksi. Yap, bahkan dibeberapa bagian cerita terasa kurang fokus, selalu mengalihkan perhatian para penonton pada permainan emosi untuk menutupi beberapa elemen yang sebenarnya kurang masuk akal.
Harus diakui, keputusan Lee Hwan-kyung tadi cukup berhasil. Rasa simpati perlahan mulai tumbuh pada karakter, tidak hanya pada Yong-gu namun ikut terbagi pula terhadap lima sahabat barunya, So Yang-ho (Oh Dal-su), Choi Chun-ho (Park Won-sang), Kang Man-beom (Kim Jung-tae), Shin Bong-shik (Jung Man-shik), dan Seo (Kim Gi-cheon). Nuansa gelap yang ia bentuk diawal mulai diwarnai nada ceria yang sebenarnya tidak begitu special namun berkat penempatan serta eksekusi yang sangat apik berhasil menciptakan banyak adegan menyenangkan. Kemampuan screenplay yang film ini miliki paling menonjol ketika ia mengembalikan penontonnya ke kisah utama, tidak tenggelam dan tetap mampu kembali mempresentasikan kepada penonton tekanan yang dialami karakter utama.
Keputusan tepat lainnya adalah cara kisah ini dibuka.
Menghadirkan Ye-sung yang telah
dewasa (Park Shin-hye) sebagai
seorang pengacara dalam upaya mempertahankan kasus ayahnya, kemudian mundur ke
tahun 1997. Hal tersebut sanggup menciptakan sebuah patokan utama yang sangat
kuat bagi proses yang ia bangun selanjutnya. Tidak banyak alur maju dan mundur
yang dihadirkan ikut menjadikan sisi emosional yang dibangun tidak terganggu
serta intensitasnya terbangun dengan baik secara bertahap. Begitupula dengan
kehadiran Jang Min-hwan (Jung Jin-young),
karakter polisi yang mengemban tugas memberikan sebuah sudut pandang lain pada
cerita.
Terlepas dari screenplay yang dibentuk dengan cukup baik, setiap karakter punya pesona yang proporsional walaupun dibentuk sangat terbatas oleh Lee Hwan-kyung, kunci utama kesuksesan Miracle in Cell No.7 terletak pada eksekusi yang sangat indah pada dua karakter utama, Lee Yong-gu dan Ye-sung. Setiap dua karakter ini bertemu, selalu ada sebuah sisi emosional yang tampil dengan kekuatan yang besar dan mencengkram, mampu menghadirkan senyum dan kehancuran sama baiknya. Porsi penceritaan mereka memang tidak dominan, namun berkat bantuan karakter pendukung yang sebenarnya mengemban fungsi yang ikut berdampak pada kisah mereka, Lee Yong-gu dan Ye-sung seperti terasa tidak pernah hilang dari cerita.
Ryoo Seung-ryong dan Gal So-won
adalah dalang dari kesuksesan tadi. Ryoo Seung-ryong mampu menjadikan
karakternya memiliki sebuah nilai yang sangat memorable sejak awal hingga
akhir. Kharisma Ryoo Seung-ryong yang begitu kuat menjadikan dialognya yang
sebenarnya tidak begitu dominan tidak menjadi concern bagi para penonton yang
sudah terlanjur terpaku kagum pada performanya yang begitu ekspresif. Gal So-won adalah sebuah mutiara baru
bagi industry perfilman Korea. Gal So-won
sebenarnya diberi ruang yang begitu bebas oleh Lee Hwan-kyung, namun setiap
bagian yang ia miliki berhasil ia olah dengan penyampaian emosi yang
menakjubkan. Adegan ulang tahun serta hadiah yang ia terima itu mungkin akan
sangat sulit dilupakan, begitupula dengan perpisahan penuh ketegaran di bagian
akhir.
Park Shin-hye dan Oh Dal-su
adalah dua pemeran pendukung yang mencuri perhatian. Kejutan dari Park Shin-hye berasal dari screen time yang
ia miliki, ternyata sangat terbatas yang mungkin juga di luar ekpektasi banyak
orang. Namun sisi menariknya PSH justru punya dua adegan yang sangat kuat,
sangat impresif, yang punya andil cukup besar sebagai pembuka jalan bagi
penonton untuk merasakan film ini lebih dalam. Sedangkan Oh Dal-su punya porsi
dan tugas yang cukup signifikan, yang juga cukup mengejutkan. Ia mampu
menjadikan So Yang-ho sebagai pusat dari semua kesenangan, membuat karakter
utama tidak begitu dominan dan monoton, dan mampu menjadi penggerak cerita di
beberapa bagian.
Overall, Miracle in Cell No.7 (7 Beonbangui Seonmool) adalah film yang memuaskan. Punya premis yang standar, film ini justru tumbuh bertahap dengan menaruh sisi emosional sebagai atensi utama. Ini pula yang memecah penilaian yang ia terima pada dua kategori penonton, dengan acuan yang terletak pada suka atau tidak mereka pada cara film ini menghadirkan permainan emosi. Hubungan kasih sayang antara ayah dan anak itu dikendalikan dengan baik oleh Lee Hwan-kyung, dibantu dengan para pemeran yang menghadirkan performa berkualitas. Miracle in Cell No.7 adalah perpaduan yang indah antara hitam dan putih.
Stereotype film drama sedih ya gini.
ReplyDeleteDibikin setting lucu, konyol di awal, terus diaduk dengan drama mengharukan di akhir.
Ditambah lagi film ini pake "Deadly Weapon" untuk bisa bikin penonton nangis: "kepolosan anak kecil".
Cukup bisa bikin orang jadi "Loh kok tiba-tiba mataku basah" pas nontonnya. :))
Nice review!
Bener, formula klasik yang dieksekusi dengan baik. :)
DeleteIya sih emang klasik bgt. Cuman eksekusinya bagus bgt. Lucunya ngena, sedihnya juga..
DeleteFilm yang bikin mewek tapi awal nonton film ini tuh ngerasa bingung sama alur maju mundurnya, hehe
ReplyDelete