"For some, he was a guardian angel. To others, a ghost who never quite fit in."
Satu hal penting yang seharusnya (dan mungkin telah)
diterapkan oleh para penikmat film adalah menetapkan sebuah ekspektasi awal
dari film yang hendak mereka tonton, karena hal tersebut adalah kunci yang akan
menentukan tingkat kepuasan yang mereka dapatkan di akhir cerita. Pacific Rim is rorypnm this summer most
anticipated movie in sci-fi/fantasy genre. Bagaimana dengan film superhero?
Nope. Si manusia besi jilid ketiga sudah membuktikannya. How about Man of Steel, an alien gifted with incredible powers, which
people called a Sup...
Mengemban misi untuk melakukan reboot, Man of Steel memulai kisahnya dari ketika Krypton mulai mengalami gejolak masalah yang menurut prediksi dari
seorang ilmuwan Krypton bernama Jor-El
(Russell Crowe) berpotensi menjadi awal dari sebuah kehancuran peradaban
Krypton. Mereka akan musnah, seluruhnya, namun Jor-El bersama istrinya, Lara Lor-Van (Ayelet Zurer), justru
memikirkan hal yang berbeda. Anak mereka yang baru lahir, Kal, punya potensi untuk menyelamatkan peradaban Krypton karena ia
lahir natural. Jor-El mengirim Kal ke bumi, bersama harapan yang ia tanamkan
pada sebuah besi mirip kunci bernama Codex.
Kal kini bernama Clark
Kent (Henry Cavill), tumbuh dewasa dibawah asuhan Jonathan (Kevin Costner) dan Martha
(Diane Lane). Upaya Clark untuk menutupi super power yang ia miliki sejak
kecil cukup berhasil, meskipun berulang kali ia melakukan hal heroic yang
diluar kemampuan manusia. Namun keberhasilan itu berakhir saat Lois Lane (Amy Adams), reporter Daily Planet mulai menemukan benang
merah pada fakta yang sesungguhnya. Hal tersebut pula yang menjadikan Clark
menemukan siapa dia sebenarnya, ditengah serangan General Zod (Michael Shannon) yang ternyata membuktikan ucapannya
ketika Clark dikirim ke bumi, “you think
your son is safe? I will find him!”
Sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri dimana Man of Steel punya hype yang sangat tinggi untuk summer tahun ini, mungkin paling
tinggi malah jika dibandingkan dengan film lainnya. Menghadirkan trailer yang
dibentuk seperti sebuah serial yang menaikkan ekspektasi penonton secara
bertahap, tidak heran MoS banyak hadir dalam list most anticipated summer movies tahun ini, terlebih ketika ia
dilabeli sebagai film yang akan memulai gebrakan Justice League. Namun seperti
di bagian pembuka, ekspektasi yang begitu tinggi tadi ibarat boomerang yang
punya potensi sama besarnya dalam memberikan rasa sakit apabila apa yang ia
berikan tidak sesuai dengan harapan banyak penontonnya.
Jika harus menggambarkan MoS dalam sebuah kalimat, film
dengan nilai positif dan negatif yang berimbang. Tercipta sebuah rasa suka dan
jengkel dalam jumlah yang sama besar pada pondasi utama yang film ini miliki.
Pertama pada bagian cerita yang disusun oleh David S. Goyer bersama Christopher
Nolan. Pesan yang ingin mereka sampaikan ada yang bekerja sangat baik,
contohnya pada cara mereka membentuk karakter dua ayah Clark menjadi sosok yang
dengan mudah dapat menarik simpati karena cara mereka mendidik Clark. Berimbang
memang, karena disisi lain cerita yang diberikan pada karakter antagonis justru
tidak mampu menjadikan penontonnya merasakan sebuah rasa takut akan eksistensi
mereka dan dunia yang mereka huni, tidak ada pressure. Ini justru terasa seperti sebuah misi yang sempit, mereka
datang, dan pahlawan menang, tanpa meninggalkan sebuah kecemasan dari semua
kehancuran yang mereka timbulkan.
Keseimbangan itu tidak hadir ketika cerita itu mulai di
bentuk oleh Zack Snyder. Plot past-present yang digunakan terasa cukup
kasar, kurang rapi, beberapa terasa sedikit dipaksakan untuk menjelaskan cerita
lebih mendalam padahal tidak mengemban tugas yang begitu penting. Memang
kombinasi cerita sebagai sebuah paket yang utuh tidak membingungkan, namun hal
ini cukup mengganggu para penontonnya ketika mereka mencoba untuk membangun
enjoyment yang dihadirkan, seperti diberikan beban dalam upaya untuk menikmati
cerita, dimana kesan yang ia timbulkan adalah cerita menjadi kurang fokus
karena memaksa penonton untuk lebih cermat akibat beberapa upaya yang kurang
penting tadi. Bagian awal film berjalan cukup pelan, bagian yang tanpa ia
sadari juga ikut membangun boredom
para penonton, meskipun terus digerakkan dengan stabil. Ya, kita akan tahu
maksud mereka adalah untuk membangun cerita yang kokoh, namun tanpa sebuah
momen kejut, yang bahkan hanya disertai beberapa humor yang sangat sangat
implisit dan segmented, itu blunder kecil.
Tampilan visual juga memberikan kontribusi yang berimbang.
Efek visual bekerja dengan baik pada cara ia menggambarkan kehancuran,
gedung-gedung yang berantakan itu memang terkesan familiar namun masih mampu
menghadirkan sebuah enjoyment pertarungan. Begitupula dengan aksi sang
superhero ketika ia melintasi awan dan menabrak gunung, hingga adegan jarak
dekat yang cukup mampu menjadikan anda sebagai penonton merasakan hantaman dan
sakit yang dialami karakter. Kekurangannya justru terletak pada hal dasar yang
diharapkan oleh penonton, 3D effect.
Tidak banyak dan mungkin malah terasa minim keberadaan adegan yang benar-benar
mampu menghadirkan pengalaman itu. Well, mungkin ini efek dari Nolan.
Dibalik banyak kelebihan dan kekurangan yang berimbang tadi, Man of Steel justru merupakan film yang
sangat berani. Meskipun terbukti masih menghadirkan nuansa gelap dalam skala
kecil yang telah di antisipasi sejak awal dengan berkurangnya tingkat kecerahan
baju Clark, MoS justru berhasil memberikan sebuah tontonan superhero dengan
cara yang berbeda, terasa lebih segar malah. Adegan fight dengan kekuatan luar
biasa yang dapat dengan mudah menghancurkan gedung-gedung mungkin akan terasa
berlebihan, namun itu adalah efek dari sebuah trend yang diciptakan banyak film
superhero belakangan ini yang mayoritas memakai pattern yang dominan sama.
Hasilnya, jika ada sebuah film superhero yang dengan berani mencoba menampilkan
sesuatu yang baru dengan tidak menggunakan pattern tersebut, maka respon yang
timbul adalah sebuah adegan aksi yang membosankan. Memang minim, namun film ini
justru masih mampu memanfaatkan tiap kesempatan yang ia miliki untuk
menciptakan sebuah thrill action.
Hal tersebut pula yang menjadikan timbulnya sedikit rasa maaf
dari paket yang kurang memenuhi ekspektasi awal ini, karena Man of Steel pada akhirnya justru tampak sebagai kelinci percobaan
yang penuh resiko dalam upaya untuk membuka sebuah warna baru di dunia
superhero. Nolan dan Goyer bahkan tampak tidak ragu dalam membagi sama besar
porsi drama dan aksi. Hasilnya, tidak mengecewakan, dimana proses cerita
bernuansa drama yang di bangun sejak awal mampu menggambarkan Clark sebagai
pahlawan yang “berbeda” (walaupun cukup membosankan). Begitupula dengan pemilihan Zack Snyder, karena adegan aksi dengan
tensi naik turun dipenuhi banyak ledakan disertai gerak cepat itu tidak dapat
dipungkiri berhasil tampil memikat, terlebih ketika anda seperti merasa terus
di jerat oleh scoring dari Hans Zimmer
yang sangat efektif dan memikat.
Keseimbangan yang ia hasilkan di berbagai titik tadi terjadi
pula pada divisi akting. Henry Cavill
berhasil tampil baik ketika ia tidak menggunakan seragam ketat itu, dimana
misteri dari ketenangan yang ia tampilkan bersama otot-otot besarnya itu
seperti berganti dengan sebuah karakter yang tidak mampu menjadikan penontonnya
yakin bahwa ia pahlawan yang super, kurang perkasa. Duo Robin
Hood (Costner dan Crowe)
menjalankan tugas mereka dengan baik pada bagian melemparkan pesan yang
berisikan pelajaran dari seorang ayah. Amy Adams berhasil menjadikan karakter Lane sesuai dengan kodratnya,
pintar dan berani ia tunjukkan kepada atasannya Perry White (Laurence Fishburne), namun gagal dalam membangun
chemistry bersama Cavill, kacau. Yang cukup mengejutkan justru hadir dari
kelompok villain. Michael Shannon
berhasil membangun karakternya dengan baik di bagian awal, namun malah kurang
menakutkan ketika berhadapan dengan Clark. Scene stealer menjadi milik Antje Traue (Faora-Ul), yang secara
mengejutkan mampu mencuri semua perhatian ketika ia mendominasi layar.
Overall, Man of Steel
adalah film yang cukup memuaskan. Mungkin fakta ini sedikit membosankan, namun
Man of Steel masih berada dibawah bayangan Nolan, menyampaikan ide dan pesan
bernafaskan harapan yang menginspirasi dengan menekan adegan aksi dalam porsi
minim yang efektif. Ini keputusan yang tepat untuk sebuah reboot, karakter utama menjadi lebih dewasa, segar, modern, dan yang
terpenting ia seperti membuka sebuah lembaran baru dalam sebuah versi yang
bersih, lepas dari masa lalu. They're
success build an enthusiasm for the sequel, that for sure. But hard to denied
this one, even I still hope it doesn't happen, superhero movies is starting to
get old, isn't?
Nolan try to bring this Hero into our realistic world..
ReplyDeleteat least that was a good effort..
Meskipun dari sisi drama dan ketegangannya kurang dapet, tapi Film ini lebih dari memuaskan.
Alur maju mundurnya asik,
conversationnya pas,
berantemnya paling keren (IMO),
yang namanya Superhero ya emang harus gini cara berantemnya. Mental sana-sini, tabrak sana-sini.
:)))
Well, nice scoring, Mr. Pinem.
Btw, laen kali nulisnya dipersimpel, biar yang baca enak.
Keep on Spoiling, bro~ :))
@Adhitya Teguh Nugraha: Masalah fight scene, MoS ini ibarat Transformers yang bernyawa, fans robot-robot itu pasti puas, tapi untungnya MoS masih termaafkan, gak buruk.
ReplyDeleteTentang penulisan simple, enjoyment dalam menulis prioritas utama aku, kedua baru enjoyment pembaca. Kalau pembaca enjoy, tapi aku gak enjoy saat nulis, itu salah besar. So far stabil, enjoy, dan terus ke arah positif, jadi belum ada alasan merubah style menulis. :P
Thanks guh. :)