“Is
something going wrong? Just call 911.” Tunggu dulu,
sebenarnya tidak sesederhana itu. Banyak orang di USA dikenal gemar menghubungi 911 untuk mengadukan masalah dengan
alasan yang terasa cukup bodoh. Ya, di negara bebas semua bebas berekpresi,
termasuk bagi orang bodoh yang dapat dengan bebas mengekpresikan kebodohannya,
tanpa peduli kesulitan yang dialami oleh operator, dari kewajiban untuk selalu
fokus, hingga sebuah larangan keras penggunaan F-Bombs. Ini yang coba disampaikan oleh The Call, abduction, error, trauma.
Jordan
Turner (Halle Berry), bekerja sebagai operator 9-1-1 di LAPD, suatu malam menerima panggilan telepon dari seorang gadis
bernama Leah Templeton (Evie Thompson)
yang mengadukan bahwa ada seorang pria tak dikenal yang mencoba masuk kedalam
rumah yang pada saat itu hanya dihuni oleh dia seorang. Leah berhasil
menghindari pria tersebut dan bersembunyi berkat instruksi yang diberikan oleh
Jordan. Namun sebuah blunder kecil dilakukan oleh Jordan ketika koneksi telepon
terputus, dan menciptakan sebuah trauma besar baginya.
Enam bulan kemudian,
Jordan dipindah tugaskan menjadi pengajar yang membimbing calon operator baru.
Ketika hendak menjelaskan secara langsung cara operator bekerja, sebuah
panggilan masuk diterima oleh seorang rookie, yang ternyata tidak mampu
mengatasi masalah tersebut. Casey Welson
(Abigail Breslin), diculik oleh seorang pria misterius dari sebuah mall,
disekap di bagasi sebuah mobil berwarna merah, dan hanya punya sebuah telepon
prepaid wireless yang tidak punya jangkauan GPS.
Jordan mengambil alih tugas tersebut, menuntun Petugas Paul Phillips (Morris Chestnut) bersama pasukannya menuju
Casey, dengan rasa trauma yang masih menghantuinya.
Sebenarnya formula yang
film ini miliki bukanlah sesuatu yang baru, begitu juga dengan cerita yang ia
punya, klasik, predictable, bahkan terasa cukup klise. Nicole D'Ovidio, Jon Bokenkamp, dan Richard D'Ovidio tidak menghadirkan sebuah elemen cerita yang baru
dan segar, dimana mereka seperti hanya berupaya untuk mencoba meraih kesuksesan
dengan menggantungkan harapan pada masih berhasil atau tidak paket klasik ini
menangkap atensi penontonnya. Namun hal tadi hanya terjadi pada bagian cerita,
karena apa yang screenplay karya Richard D'Ovidio berikan, serta kinerja dari Brad Anderson ternyata cukup memuaskan.
Sejujurnya film ini
dibangun dengan cukup rapi oleh Anderson, terlebih dengan hanya mengandalkan
dua setting dimana ia mampu mengajak anda sebagai penontonnya untuk ikut
bergerak bersama Casey, hingga cara ia menyambung antar konflik yang terasa
hidup, tanpa mengalami stuck yang sangat mengganggu. Ruang cerita yang
sebenarnya sempit tadi berhasil ditutupi oleh screenplay yang berhasil menjaga
tensi cerita dengan baik, bermula dari cara ia membangun ruang cerita itu,
hingga cara ia melanjutkan kisah. Jika menilik budget yang ia miliki, bagaimana
sensasi dari misteri utama berhasil di sampaikan dengan baik dan mendominasi
cerita dapat dikatakan menjadi sebuah kesuksesan tersendiri.
Sayang, hal positif
tadi tidak berlanjut hingga akhir cerita. Cerita mengalami sebuah belokan yang
terasa cukup kasar dan tajam, baik dari tema utama yang secara mendadak berubah
menjadi sebuah kisah bernuansa slasher, hingga cara ia berjalan yang menjadikan
film ini kehilangan momentumnya. Ya, ini sebuah keputusan yang sangat buruk.
Apa yang telah ia bangun sebelumnya terasa terlupakan begitu saja, padahal
sudah dibangun dengan menarik, dimana sebuah penggambaran bagaimana kekuatan
wanita dalam menghadapi tekanan dibentuk dengan cukup baik, namun sayangnya
harus diakhiri dengan sebuah misi balas dendam.
Film ini mungkin akan
berakhir menarik andai saja ia tetap fokus pada Jordan di depan layar computer
bersama koneksi telepon dengan Casey, dan tim polisi yang terus berupaya
mengejar Michael Foster (Michael Eklund).
Sebuah belokan tepat di satu jam durasi tadi justru terasa mengganggu, dimana
tensi cerita turun drastis, serta daya tarik kasus perlahan memudar, bila tidak
ingin disebut lenyap tak berbekas. Sepertinya Anderson dan rekannya punya
maksud tersendiri pada keputusan tersebut, menciptakan ruang untuk menghadirkan
keterkaitan cerita di bagian awal, atau bahkan sebagai upaya untuk menjadikan
cerita menjadi sedikit lebih kompleks. Tapi, mayoritas penonton pasti juga
sadar bahwa daya tarik utama film ini terletak pada aksi catch and run, ya, bahkan jika harus diakhiri dengan cara paling
standar sekalipun tanpa mencoba menghadirkan kasus balas dendam tadi mungkin
hasilnya akan lebih memuaskan.
Yang cukup mengejutkan
adalah penampilan Halle Berry, karena
pasti ada antisipasi dari kegagalan yang ia terima di Dark Tide tahun lalu. Halle Berry mampu menjadikan nafas panik
dalam cerita terus terasa, walaupun ia kurang berhasil dalam menjadikan
karakter Jordan menjadi sosok yang tegar dan kuat. Sedangkan Abigail Breslin berhasil berkontribusi
pada proses menjaga tensi cerita tetap tinggi lewat cara ia berteriak dan
memohon. Ia juga sanggup menyampaikan banyak informasi yang mungkin dapat
menjadi pelajaran bagi penonton bila menghadapi situasi yang sama. Sayang,
karakternya, Casey, punya porsi terbatas sehingga sulit untuk berkembang.
Kejutan lainnya adalah Michael Eklund,
cukup berhasil menjadi musuh menakutkan bertampang psycho penuh misteri.
Overall, The Call adalah film yang cukup
memuaskan. Dengan dana yang cukup terbatas, The Call berhasil menjalankan misi
utama yang ia usung sejak awal, menghadirkan sensasi dari sebuah tontonan thriller. Meskipun ditutup dengan cara
yang buruk, The Call masih mampu
menjadi sebuah guilty pleasure.
Terlepas dari memuaskan atau tidak, film ini berhasil memberikan sebuah
gambaran baru tentang 9-1-1, ya,
mungkin untuk mengingatkan penduduk USA
yang sering menganggap keisengan yang mereka lakukan sebagai sesuatu yang
wajar.
Udah nonton.
ReplyDeleteDan film ini sukses bikin tegang.
Keren!
Walaupun endingnya kurang begitu suka~