Empat
Pria menggunakan logika, wanita bermain dengan perasaan. Hal
itu dengan jelas tampak dari kondisi yang kami alami sesaat setelah aku selesai
membaca surat dari Winnie tadi. Lena, yang sejak awal telah diam membisu,
perlahan mulai menitikkan air mata. Tentu saja ini seperti pukulan telak yang
menghujam tanpa belas kasihan, mendapati sebuah fakta bahwa sahabat yang telah
ia anggap seperti saudara kandungnya kini terlibat dalam sebuah tindakan
kriminal. Namun sebuah pertanyaan justru terlintas dipikiranku, kenapa surat
ini tidak ditulis tangan?
"Aku menyerah," teriak Lena sembari
berlari menuju ruang atas, "semua ini terlalu berat, ini terlalu
berbahaya. Sebaiknya kita serahkan semuanya ke polisi. Sebentar lagi Tania juga
akan tiba, hal ini harus kita ceritakan padanya."
Wanita berusia 21 tahun itu bersandar lemah di
kursi kayu berwarna cokelat yang penuh dengan debu, tertunduk lesu menutupi
wajahnya yang telah basah karena air mata. Sejenak hal tersebut membuatku
terdiam, yang kemudian perlahan ikut larut dalam kesedihan menjadikan pertanyaan
tadi seperti tertutupi kabut gelap dari awan hitam yang berisikan ribuan petir
yang berteriak kecil. Belum sembuh rasa sakit akibat kehilangan pacar
tercintanya Jack setahun yang lalu, Lena kembali harus bersiap kehilangan sosok
lain yang ia cintai, tepat di bulan yang sama. Saat itu aku bertanya dalam
hati, apakah ini sebuah kutukan untuk kami? Setelah Jack, dan kini Winnie,
apakah kami berempat ditakdirkan untuk mati satu per satu dengan cara yang
mengenaskan?
"Tenang, aku yakin yang menulis surat ini
bukan Winnie," kataku sembari memeluk Lena untuk membuat ia merasa tenang.
"Si pelaku terlalu bodoh Len, dia kira
menulis surat untuk menebar teror seperti menulis sebuah dokumen penting?"
canda ku.
"Sekarang kau coba tenang, dan kita susun
rencana selanjutnya. Sebenarnya ini adalah sebuah clue yang sangat besar untuk
kita. Dengan begitu jelas ada pihak lain selain Winnie yang ikut terlibat dalam
peristiwa ini," kataku dengan nada yang meyakinkan.
"Ini hanya ibarat sebuah gertakan kecil
dari pelaku yang mencoba menggoyang rasa percaya diri para korbannya.
Oke?"
Belum sempat Lena menjawab pertanyaanku, dari
kejauhan terdengar suara sirine menuju rumah keluarga Winnie. Hal ini tidak
tampak dari pondok, namun satu hal yang dengan pasti kami yakini, Tania telah
tiba dari Roma.
--------*--------
Kami bergegas menuju rumah Winnie, dengan surat
rahasia yang telah kusimpan di saku kanan celana jins ku. Pondok tergembok
dengan sempurna, kemudian kami berlari perlahan diantara rerumputan datar,
mencoba mendekat pada sebuah pohon besar yang telah menjadi tempat favorit kami
jika ingin memantau situasi sekitar rumah. Sebuah mobil patroli dibarisan depan
dan belakang, serta sebuah Merci diantara keduanya. Mobil-mobil itu berhenti,
dua sosok pria bertubuh tinggi dan besar keluar dari kedua mobil patroli,
membukakan pintu mobil sedan tadi. Sebuah gaun indah berwarna merah tampak
bersama sepatu high-heels yang mewah, wanita paruh baya itu perlahan mulai
terlihat meskipun masih tertutupi bayangan dari dua pria tadi. Dugaan kami
benar, wanita itu adalah Tania, yang dengan langkah santai melangkah masuk
menuju rumah. Sebuah pemandangan yang tidak pernah aku duga sebelumnya, apakah
Tania tidak merasakan tekanan seperti yang kami alami? Mengapa disaat anak
perempuannya hilang masih sempat tersimpul sebuah senyuman dari bibirnya?
"Sekarang bagaimana?" tanya Lena.
"Sebaiknya kita menyusup masuk, ketimbang
menunjukkan kehadiran kita dengan jelas melalui pintu utama," jawabku.
"Memangnya kau tahu jalan lain?"
tanya Lena penuh ragu.
"Hey, I'm her boyfriend, tentu saja aku
tahu jalan rahasia menuju kamar Winnie," balasku dengan senyum
kesombongan.
Kami mulai melangkah menuju gudang belakang
yang memaksa kami mengitari hampir separuh area belakang rumah. Terasa lama,
akibat tekanan yang besar serta langkah kami yang begitu pelan.
"Aku jadi penasaran, apa saja yang kalian
lakukan di kamar Winnie?" bisik Lena.
"Aku juga jadi penasaran, kenapa mood
wanita bisa cepat sekali berubah?" jawabku simple, sembari melirik Lena
yang kali ini telah tersenyum kecil.
Jendela gudang itu masih berukuran sama,
persegi panjang yang pas untuk badan orang dewasa. Kuangkat Lena terlebih
dahulu yang ternyata dapat dengan mudah lolos kedalam, kemudian ku susul dengan
durasi yang jauh lebih singkat. Ini memang sebuah nilai plus dari rumah Winnie
bagiku, dimana ia hanya punya seorang satpam di gerbang depan, kemudian
pembantu muda yang bertugas di bagian tengah rumah, dan seorang bibi tua dengan
kemampuan pendengaran yang sudah lemah di bagian dapur. Seminggu sekali selalu
ada tim yang datang untuk membersihkan rumah, dari taman hingga ruang tamu. Hal
tersebut yang menjadi penyebab aku selalu berhasil menyusup masuk kekamar
Winnie, tanpa ketahuan, apalagi dengan
tidak adanya kamera cctv yang terpasang di rumah sebesar ini.
Baunya sangat menyengat, jelas sekali gudang
ini tidak pernah dibersihkan secara periodik. Disudut ruangan tampak tangga
yang tertutup tumpukan barang, akses utama menuju atap gudang. Lena seolah tahu
apa yang harus ia lakukan, dengan langkah yang meyakinkan ia menaiki tangga dan
tiba di atap yang punya struktur mendatar itu. Ini adalah salah satu spot
favoritku bersama Winnie, bersama selimut, dinginnya malam, dan secangkir kopi
hangat. Kuangkat sebuah pot bunga, dan kunci berwarna silver ternyata masih
tersimpan manis disitu. Memang aneh, namun atas permintaannya, jendela kamar
Winnie sengaja di desain berbeda agar dapat dibuka tutup menggunakan kunci,
dari luar dan dalam, hal detail yang bahkan tidak pernah sedikitpun terlintas
di imajinasiku.
Bau lavender, aroma yang sama seperti kamar
Lena, seperti sebuah komando yang langsung menjadikan Lena terduduk di kasur
karena teringat memori yang mereka miliki. Namun aku tidak diam, mulai ku
jelajahi setiap sudut ruangan yang sudah sangat ku hafal, mencoba mencari
hal-hal aneh yang tidak familiar bagiku. Sayangnya, 10 menit berlalu tak ada
satupun clue yang berhasil kutemukan, berimbas pula pada semangatku yang mulai
memudar. Aku duduk disamping Lena, yang sejak awal hanya diam tak bergeming.
Aku mencoba menemukan kembali irama nafas normalku, namun seketika itu pula
mata liarku yang sedari tadi tak pernah lelah bergerak tiba-tiba berhenti pada
iPod milik Winnie yang berdiri manis di speaker eksternal. Kumatikan speaker, dan
ku play iPod tersebut. Tampak di layar muncul lirik yang aku tahu bukan tipe
lagu favorit Winnie.
Search your heart, search your soul
And when you find me there you'll search no
more
Don't tell me it's not worth tryin' for
You can't tell me it's not worth dyin' for
You know it's true
Everything I do, I do it for you
Siapa sosok "you" dalam lirik
tersebut? Pertanyaan itu mendadak muncul karena aku yakin aku tidak pernah
meminta Winnie untuk mencoba melakukan sesuatu yang sampai mengorbankan
nyawanya.
"Siapa "you" yang ia
maksud?" tanya Lena berbisik.
"Aku tak tahu, tapi ini semakin
memperjelas bahwa ada pihak lain yang memaksa Winnie terlibat dalam peristiwa
pembunuhan tersebut. Aku semakin yakin akan hal itu, namun tidak punya ide
siapa dia."
"Siapa yang kini kau.." belum usai
pertanyaan Lena, terdengar suara langkah kaki dari tangga menuju kamar ini.
Gerak refleks kami bekerja, dan aku langsung
menuntun Lena menuju lemari kecil di dekat pintu kamar mandi. Kutarik pintu
tersebut, dan kuikat benang yang telah terpaku manis dipintu itu. Lagi dan
lagi, ini adalah metode yang kupakai ketika hubunganku dan Winnie masih berada
dalam tahap backstreet.
Deru nafas kami perlahan mulai kencang bersama
hawa panas di dalam lemari yang hanya mendapatkan pasokan oksigen dari
celah-celah kecil dibagian bawah pintu lemari. Aku tahu persis kaki wanita yang
terlebih dahulu melangkah masuk kedalam kamar, dia adalah Tania. Tapi siapa
pria muda yang kemudian menyusulnya dari belakang?
"Kau bisa lihat kondisi kamarnya, tertata
rapi bukan? Tidak tampak bukan ada sebuah rencana yang ia susun disini kemarin
malam," kata Tania.
"Benar tante," sahut pria itu.
"Bagaimana kondisimu?" tanya Tania,
"masih aman kan?" sambungnya sembari melangkah keluar dan menutup
pintu kamar.
Masih aman?
Copyright © 2013 by Rory Pinem
All rights reserved
0 komentar :
Post a Comment