Tiga
Aku belum pernah berada dalam kondisi dimana merasa seperti
akan menghembuskan nafas terakhirku. Namun perisitiwa tersebut ibarat seekor
ular phyton yang dalam sekejap membelit seluruh tubuhku tanpa memberikan
sedikitpun kesempatan untuk melakukan perlawanan, bahkan untuk sekedar menarik
sebuah nafas yang dalam. Jiwa yang seolah terkurung dalam ruang hampa, bulu
gidik yang tak berhenti merinding berpadu dengan wajah yang perlahan menjadi
pucat, Aku bersama Lena mengalami hal yang sama, dan mungkin juga sedang
memikirkan hal yang sama, apakah kami korban selanjutnya?
"Apa yang harus kita lakukan
sekarang?" tanya Lena.
"Sejujurnya aku mulai ragu akan kemampuan
kita Timm. Masalah ini ternyata jauh lebih berat dari yang aku duga."
Aku masih terbelenggu diam, mencoba
mengumpulkan kembali rasa tenang dan percaya diri untuk masuk kembali kedalam
jiwaku, sambil terus memilah opsi-opsi yang kami miliki.
"Please, bicara. Kalau kau terus diam
begini hanya akan memberikan efek destruktif pada diriku," pinta Lena.
"Ada untung dan rugi yang akan kita terima
jika hal ini kita sampaikan kepada polisi." kataku.
"Positifnya, kita akan mendapatkan
pengamanan, keselamatan kita terjamin. Negatifnya, ruang gerak yang kita miliki
akan terbatasi, Len. Dan yang paling menyedihkan itu akan menjadikan kita
berdua sebagai pengkhianat atas janji yang telah kita berempat buat beberapa
tahun yang lalu. Bagaimanapun caranya, isi pondok ini harus selalu menjadi
rahasia."
Enam tahun yang lalu, pondok ini menjadi tempat
kami berempat berkumpul ketika pulang dari acara orientasi high school. Berawal
dari duka bersama, banyak memori indah yang tertanam di bangunan tua namun
kokoh ini, yang dari luar tampak seperti sebuah gudang milik keluarga Winnie.
Dari asmara hingga masalah keluarga, semua hal yang terasa menjadi beban kami
bawa kesini untuk diselesaikan bersama. Hanya ibu Winnie yang tahu lokasi
pondok ini, namun ia tidak pernah masuk ke dalam. Beliau pula yang menjadi pembela
dan pelindung kami, terutama ketika almarhum ayah Winnie hendak meruntuhkan
pondok ini. Semua perjuangan itu yang menjadi permulaan dari munculnya janji
tadi.
Namun fakta itu pula yang menimbulkan
pertanyaan, siapa selain kami bertiga yang bisa masuk ke pondok ini, dan
menancapkan pisau di foto tersebut? Jack telah meninggal dunia, sedangkan
Tania, ibu Winnie, tidak memiliki kunci sebagai akses utama untuk masuk kedalam
pondok. Yang tersisa hanyalah aku, Lena, dan Winnie. Fakta mengejutkan ini
seperti petir di teriknya sinar mentari di siang hari itu, berhasil menyadarkan
kami yang hampir tenggelam dalam buaian imajinasi buruk, namun di lain sisi
ikut menerbitkan rasa saling curiga satu sama lain.
"Bukan aku," sahut Lena, "kau
percaya kan kalau aku tidak terlibat dalam hal ini?"
"Kenapa secara tiba-tiba kau berkata
seperti itu?" tanyaku, " sejak awal aku tidak pernah mencurigaimu
Len. Namun yang menjadikan ini semakin rumit adalah opsi yang kita miliki
semakin sempit. Tania tentu saja sulit untuk di masukkan ke dalam list, bahkan
ketika peristiwa itu terjadi ia sedang berada di Roma."
"Jack?" sahut Lena dengan suara
bergetar.
"Jangan jadikan masalah ini menghancurkan
logikamu Lena. Apapun yang terjadi Jack telah meninggal, dan kunci miliknya
telah kita musnahkan," balasku dengan nada penuh emosi.
"Mungkin ketika Jack masih hidup ia pernah
meminjamkan kunci itu ke orang lain?" kata Lena, "semua bisa saja
terjadi Timm. Aku semakin bingung kemana lagi nalarku harus berjalan."
Ini terasa semakin terasa sulit bagiku, bukan
hanya karena masalah yang semakin rumit namun juga karena satu-satunya partner
yang aku punya perlahan mulai ikut terjebak dalam rasa takut penuh kecemasan.
"Mari kita abaikan hal ini sejenak, dan
mulai menuntaskan misi utama kita datang kemari," sahutku memecah suasana
hening sembari melepas foto beserta pisau tadi dari dinding. "Ayo,
bergerak, aku yakin ada sesuatu yang Winnie tinggalkan untuk kita."
Ruang utama tidak pernah sekacau ini, kertas
bertebaran dimana-mana, persis seperti lokasi perampokan yang sering kusaksikan
di film-film. Lena masih berkutat di ruang utama, dari laci hingga almari.
Masih jelas terlihat rasa takut di wajahnya, samar terlintas sebuah rasa tidak
percaya dari sorot matanya, wanita yang selama ini ku kenal sebagai sosok yang
kuat dan tegar.
Tangannya gemetar kecil, bahkan ia memeriksa
benda-benda yang sebenarnya sedikit impossible sebagai objek untuk meninggalkan
pesan. Dengan rasa cemas tersebut aku menuju ruang bawah tanah, sebuah ruang
kecil yang kali ini hanya kami berempat yang tahu. Ruang ini merupakan tempat
kami bersembunyi dari Tania ketika ia datang di malam hari untuk memanggil kami
makan malam, dan juga ketika ada orang asing yang menghampiri pondok dan
mencoba mengintip melalui jendela. Lantai terbuat dari semen sehingga setiap
langkah kami tidak terdengar dengan mudah.
Kubuka pintu ruang rahasia itu, hadir bunyi
engsel berkarat yang juga menjadi penyebab suara dari daerah atas.
"Timmy, kau dimana?" tanya Lena.
"Ruang rahasia," sahutku.
Coba ku gapai sakelar, lampu berwarna jingga
temaram seketika hadir menghiasi sudut ruangan yang sudah dipenuhi dengan
jaring laba-laba ini.
Namun seketika suasana aneh kemudian hadir di
mataku, kenapa ruangan ini kosong, dan hanya ada secarik amplop yang terbaring
manis di atas sebuah meja kecil. Amplop berwarna hitam itu mencuri perhatianku,
berhiaskan rangkaian bunga di semua sisinya yang membentuk lambang hati,
bertuliskan "DEAR: TIMMY & LENA" dengan tinta merah pekat
layaknya goresan darah.
Tanpa pikir panjang aku lari keatas, dan dengan
nada berbisik kupanggil Lena. Raut wajah yang sama ditunjukkan oleh Lena ketika
melihat amplop tersebut, tanpa sebuah katapun meluncur dari mulutnya, ia kini
hanya terdiam kaku. Aku melangkah maju, menggapai dan langsung membuka amplop
tersebut. Secarik kertas berwarna putih kemudian hadir.
Dear: Timmy, Lena, & Jack,
Aku bingung harus mulai bercerita dari bagian
mana. Hal pertama yang mungkin harus kukatakan adalah aku sangat menyayangi
kalian. Baru enam tahun kita bersama, namun aku seperti merasa telah mengenal
kalian sejak aku masih balita. Dari suka dan duka selalu kita bagi bersama,
tidak ada keluhan yang kutemukan, semua selalu berhasil kita lalui dan jalani
dengan semua senyuman.
Namun
seperti yang pernah aku katakan pada kalian, ada kala di mana manusia akan
berubah. Sebuah masalah menimpa diriku, masalah yang kali ini tidak dapat aku
bagi bersama kalian, karena aku tidak ingin kalian ikut merasa seperti orang
bodoh dan gila yang tidak berdaya bersama diriku. Mungkin kalian akan kecewa
karena dengan begini aku telah melanggar janji kita, namun percayalah ini
adalah pilihan terbaik untuk kita semua.
Aku
hanya ingin menyampaikan sebuah rahasia penting kepada kalian. Esok hari, tepat
tengah malam, aku akan melakukan pembunuhan di sebuah cafe dekat restoran
favorit kita. Semua ini harus kulakukan sebagai upaya untuk mencegah hal yang
jauh lebih buruk terjadi pada kita semua. Aku memutuskan untuk menjadi korban,
dengan harapan agar semua orang yang aku sayangi dapat selamat. Jaga rahasia
ini, kuharap kalian tetap waspada, dan hiduplah dengan bahagia di masa depan
demi diriku.
Maafkan aku.
Sahabat kalian, Winnie.
0.92.91.2
Copyright © 2013 by Rory Pinem
All rights reserved
0 komentar :
Post a Comment