Dua
Dua pasang bola mata saling bertatapan dengan pandangan
kosong, suasana hening dan diam tak bergeming tercipta diantara aku dan Lena.
Kami ibarat patung yang bernyawa, tak tahu harus berkata apa setelah mendengar
berita mengejutkan dari anchor manis tadi. Jangankan untuk bergerak, bernafas
saja semakin lama terasa semakin sulit setelah mengetahui salah satu kerabat
yang kami cintai saat ini sedang terlibat dalam sebuah tindakan kriminal yang
bahkan sebelumnya telah kami sebut sebagai sesuatu yang impossible.
"Winnie?" tanya Lena dengan wajah tak percaya.
"Coba kau tampar aku
sekarang," pintaku pada Lena.
Plakk, sebuah tamparan keras melayang di
pipiku, yang anehnya tidak memberikan efek apapun.
"Coba kau cium aku," pintaku lagi.
"Nih," jawab Lena sembari
mengacungkan jari tengah miliknya.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya
Lena yang kali ini sedikit menurunkan volume suaranya.
"Aku seperti masih berada di zona abu-abu,
antara percaya atau tidak dengan berita ini. Ini benaran? Ini bukan mimpi
kan?" jawabku.
"Bukan hanya kau, tapi aku juga berharap
ini hanya mimpi," sahut Lena dengan nada hampir berbisik.
"Oh God, kepalaku pusing. Seriously, kiss
me," pintaku.
Tanpa pikir panjang Lena beranjak dari tempat
duduknya, dan memberikan sebuah ciuman kurang dari dua detik di pipiku, yang
anehnya telah menjadi hal biasa diantara kami berdua.
"Oke, sebaiknya kita menuju apartemenmu
untuk menyusun rencana selanjutnya," sahutku sebelum Lena sempat duduk
kembali.
--------*--------
"Apa rencana yang ada di pikiranmu
sekarang?" tanya Lena yang terduduk lesu di atas kasur.
"Aku harap kali ini kau bisa fokus Timm,
ini masalah penting," sahutnya lagi.
Memang, otakku memang cerdas namun terdapat
sebuah kelemahan besar yang kumiliki selain joke garing tadi. Ketika sebuah
masalah menerpa, aku seperti sebuah boneka yang bergerak random, terkadang bisa
serius dan jenius, namun terkadang sering melakukan hal-hal aneh yang bahkan
tidak ada kaitannya dengan masalah yang sedang kuhadapi.
"Satu hal yang harus kita sepakati
terlebih dahulu Len, apakah kau percaya Winnie adalah pelakunya?" tanyaku.
"Aku bingung. Tapi apa lagi hal yang
menjadikan kau berpikiran seperti itu? Sudah jelas ada hasil dari kamera cctv,
sebuah fakta yang konkrit Timm," jawabnya.
"No, tidak semudah itu. Pertama, bisa saja
Winnie sedang melintas di daerah tersebut dan menemukan jasad enam pria
tadi," ujarku.
"Hey, ada pisau berlumuran darah,"
jawab Lena sembari menunjukkan foto yang ia dapat dari internet.
"Mungkin saja pisau itu sengaja diletakkan
tidak jauh dari lokasi sebagai sebuah jebakan," jawabku.
"Opsi kedua, Winnie di bius kemudian di
letakkan di lokasi pembunuhan dengan pisau ditangannya. Ketika ia sadar dan
bergerak mendekati korban, kamera menangkap gambar Winnie."
"Opsi ketiga, dan opsi terakhir, Winnie
adalah pembunuhnya," jawabku dengan nada tegas.
Lena sontak kaget dengan mata terbuka lebar.
"Jadi kau percaya Winnie melakukan hal
tersebut?"
"Ya, jika dia tidak melakukan hal tersebut
tidak ada alasan baginya untuk kabur," jawabku.
"Aku tahu Winnie, dia orang yang penuh
dengan rasa percaya diri," sahutku lagi.
"Hey hey, aku kenal Winnie sebelum kau.
Sekuat apapun seseorang ia pasti akan terguncang dengan keadaan dan tekanan
yang mendadak kayak gini. Kenapa pria selalu tidak mengerti dengan hal-hal
dasar seperti ini?" jawab Lena dengan nada sedikit tinggi.
"Oke oke, tenang. Aku juga sedikit pesimis
dengan opsi terakhir, tapi hal tersebut tidak bisa kita hapus begitu saja.
Jangan perdulikan kasus pembunuhan itu Len, yang menjadi fokus kita adalah
dimana Winnie sekarang berada?"
"Arrgghh, kenapa fotonya harus terpotong
dibagian ini? Andai saja sedikit lebih luas kita pasti semakin mudah melakukan
analisa," ujarku geram.
"Apakah ibu Winnie sudah menelponmu?"
tanya Lena mendadak.
"Beliau sedang menuju kemari menggunakan
pesawat pertama dari Roma."
Aku cukup yakin Winnie bukan pelaku pembunuhan
tersebut. Selain bukti yang sejauh ini tidak memberikan sebuah jalan menuju
fakta yang jelas, aku merasa ada pihak lain yang sedang memantau pergerakan
kami dari kejauhan. Mungkin saja Winnie hanyalah sebuah umpan belaka, alat yang
pelaku itu gunakan untuk menjalankan misi utama yang ia miliki. Apakah ini
sebuah permainan dimana kami menjadi pion yang ia gerakkan. Andai saja Lena mudah
untuk diyakinkan, sayangnya hal ini justru akan menjadi sebuah lelucon baginya
bahkan jika kusampaikan dengan nada serius.
Tiga lembar kertas tiba-tiba sudah berada
diatas meja. Lena mulai menuliskan hal-hal random apa yang ada dipikirannya.
Semua hal yang memiliki kaitan dengan Winnie mulai hadir di kertas itu, dari
keluarga, para mantan pacar Winnie, kerabat dekat, hingga hal-hal favoritnya.
"Yak, bagaimana kalau kita menuju pondok
rahasia Winnie?" kataku.
Lena hanya terdiam sembari terus menulis.
Rasa tidak sabar mulai merayapi nadiku,
"Sejujurnya kami bertengkar besar dua hari sebelum kejadian itu,"
kataku, "dan itu alasan kenapa aku mabuk tadi malam."
Lena mencampakkan pena yang ia pegang, dan
dengan penuh rasa kesal mulai menyerangku.
"Hal ini sudah kuduga sejak awal. Dammit
Timmy, kenapa kau membuka hal tersebut di momen seperti ini."
Lena mulai berkemas dan mencari jaketnya, dan
tanpa pikir panjang kuraih kunci mobil, seketika itu juga kami menuju pondok
rahasia Winnie.
--------*--------
Mungkin terasa sedikit luar biasa, di kota yang
padat seperti ini Winnie masih bisa memiliki sebuah area khusus yang menjadi
tempat spesialnya. Yang aku tahu, hanya Lena, Winnie, aku, dan teman kami Jack
yang telah meninggal yang bisa masuk ke tempat ini. Lokasinya tidak jauh dari
pekarangan belakang rumah megah berwarna putih milik Winnie, yang sekarang
sudah di pagari oleh police line. Beberapa pohon tinggi yang berdiri menyerupai
tembok menghalangi jarak pandang menuju pondok ini, sehingga cukup sulit untuk
di identifikasi sepintas dari kejauhan.
Sebenarnya ini bukan pondok pribadi milik
Winnie, karena faktanya kami juga memiliki akses bebas menuju pondok, bahkan
juga diberikan kunci dari gembok pintu utama, yang ternyata belum diganti oleh
Winnie. Anehnya, ruang utama seperti baru saja di huni beberapa jam yang lalu,
terasa dari aroma segar yang berhembus. Kami mulai membuka satu persatu laci
yang berisikan berbagai dokumen yang mayoritas berisikan rencana-rencana gila
yang pernah kami susun. Harapan utama kami tentu saja dapat menemukan sebuah
clue yang ditinggalkan oleh Winnie. Lena beranjak menuju ruang yang berisikan
alat musik pribadi kami, namun setelah pintu terbuka seketika itu pula Lena
terdiam membisu. Merasa aneh aku langsung menghampirinya, dan mengalami hal
yang sama. Sebuah foto dengan wajah kami berempat tertempel di dinding, dengan
sebuah pisau tertancap di bagian tengah!
Copyright © 2013 by Rory Pinem
All rights reserved
0 komentar :
Post a Comment