Jika ditanya apa film
yang mampu membuat saya bingung sepanjang ia hadir namun sukses meninggalkan
rasa puas yang sangat tinggi ketika ia berakhir, jawabnya adalah Holy Motors. Bergerak random dengan
bebas, membuat penontonnya bingung, namun dengan keunikan yang ia tampilkan
berhasil menyampaikan sebuah pesan yang pastinya akan membekas cukup lama di
memori. Upstream Color juga punya hal
tersebut, abstrak dan membingungkan.
Sudah sejak awal anda
akan dihadirkan sebuah kasus yang menimbulkan pertanyaan. Dia adalah Kris (Amy Seimetz), wanita yang diculik
dan dibius oleh seorang pria misterius yang menggunakan sebuah metode yang
cukup aneh, sebuah pil berisikan cacing. Sejak saat itu Kris seolah menjadi
robot yang dikendalikan pria tersebut, berada dibawah kendali hipnotis sehingga
bersedia melakukan apapun yang diperintahkan kepadanya. Suatu ketika Kris
menemukan ada cacing yang bergerak bebas dibawah kulitnya, yang juga
membangunkannya dari hipnotis dan kemudian menyadari bahwa semua uang yang ia
miliki hilang tanpa sanggup mengingat apa yang telah terjadi.
Dampak yang tertinggal
ternyata tidak semudah yang Kris bayangkan. Sejak saat itu ia seperti dihantui
rasa cemas, terus bertanya tentang memori masa lalu yang bahkan tidak ia ingat
sama sekali. Semakin kacau ketika Jeff
(Shane Carruth) hadir, pria yang ia kenal di subway, yang kemudian menjalin
hubungan asmara dengannya, namun celakanya ikut terjerumus dalam upaya yang
sedang Kris bangun. Kris ibarat sebuah boneka rusak tanpa jiwa yang mencoba
menemukan dan menyatukan kembali jiwanya yang hilang, dari hubunganya dengan
cacing yang telah ditransfer kedalam seekor babi, hingga tanaman dan suara dari
alam.
Abstrak? Ya, ini film
yang abstrak, yang bahkan menuntut saya untuk mengulangnya sekali lagi untuk
dapat menemukan sensasi dari pesan yang coba sampaikan. Di percobaan pertama
anda dapat menangkap pesan yang ia bawa, namun harus diakui “cara” yang film
ini pakai akan meninggalkan beberapa ruang kosong skala kecil yang berisikan
pertanyaan, sehingga sensasi akhir yang terasa kurang begitu memuaskan.
Apa yang menjadi
kelebihan dari Upstream Color justru
akan juga menjadi hal yang mungkin akan menyebabkan film ini sulit untuk
diterima penonton pada umumnya. Shane Carruth mungkin akan membuat anda
bertanya apa sebenarnya maksud dari konflik utama yang film ini bawa, dengan
menggunakan narasi yang abstrak, minim dialog, dan mencoba untuk berbicara
lewat bahasa gambar meskipun dalam skala kecil. Upstream Color ibarat To The Wonder dalam versi yang lebih
kompleks, dimana ia lebih baik karena punya misteri yang lebih banyak, abstrak,
namun menarik. Ya, anda akan bingung, dari mind control, cacing dalam usus yang
terhubung dengan seekor babi, suara dari alam, namun semua hal tadi anehnya
punya kekuatan hipnotis yang begitu kuat.
Ini yang saya suka dari
Upstream Color, membawa saya kedalam sebuah ruang cerita yang gelap penuh tanda
tanya, berjalan bersama cerita abstrak yang berputar-putar, namun tetap mampu
menjadikan anda sebagai penonton tidak sedetikpun menilai apa yang ia berikan
merupakan hal konyol dan bodoh yang tidak penting. Menggunakan teknik rekayasa
sebagai jalan bagi usaha seorang manusia untuk menemukan arti dari diri mereka,
menyelipkan koneksi-koneksi yang terkesan aneh namun tidak kehilangan unsur
ilmiah, Upstream Color seperti dunia hipnotis yang memberikan begitu banyak
clue bagi penontonnya, dan ketika ia berakhir anda akan disadarkan kembali dari
hipnotis tersebut dan mencoba untuk menginterpretasikan serta merenungkan
berbagai hal yang telah ia sampaikan. Menyenangkan.
Sangat kagum dengan Shane Carruth, meskipun saya belum
pernah menonton filmnya yang berjudul Primer yang katanya juga pernah menjadi
sebuah kejutan. Carruth menulis, mengendalikan, dan ikut serta sebagai karakter
dalam cerita, dan apa yang ia hasilkan terasa rapi dan teliti bagi saya. Dari
segi naskah ia memang terkesan membingungkan, namun Carruth tidak menghadirkan
sebuah batasan sehingga menjadikan penontonnya bebas berimajinasi secara liar
bersama semua clue yang ia berikan. Begitu pula sebagai sutradara, terutama
keputusannya untuk tidak menerapkan narasi linier yang juga berdampak pada
misteri yang terus terjaga dengan baik.
Jujur saja tidak ada
kekecewaan yang diberikan oleh Upstream
Color, namun di sisi lain juga terasa sulit untuk melabeli film ini sebagai
film yang sangat megah. Mengejutkan, memuaskan, namun Upstream Color hanya
ibarat sebuah pelajaran singkat yang meninggalkan sebuah pesan yang kuat dan
begitu membekas di memori, namun tidak dengan semua proses cerita yang ia
bangun yang mungkin akan dengan mudah dilupakan begitu saja karena cara abstrak
yang ia gunakan. Begitu pula dengan hal teknis yang punya, cantik namun tidak
megah.
Amy Seimetz adalah
bintang utama, seolah memiliki film ini secara utuh, yang bahkan mampu membuat
saya merasakan kehadirannya pada scene dimana Kris tidak hadir. Yang menjadi
kekuatan utamanya adalah kemampuan Amy Seimetz menjadikan Kris tampak kosong
dan bingung bersama pertanyaan yang menghantuinya. Sedangkan Shane Carruth
cukup berhasil membantu mendorong konflik utama menjadi pelik, namun tidak sanggup
berdiri sejajar dengan Seimetz.
Overall, Upstream Color adalah film yang
memuaskan. Abstrak, membingungkan,
namun pada akhirnya ia mampu memberikan rasa puas di akhir cerita. Klimaksnya
tidak sebesar Holy Motors, namun pesan yang ia bawa punya kekuatan untuk
bertahan lama di memori penontonnya. Sayangnya cara unik yang ia gunakan
menjadikan film ini berada diluar kategori mainstream,
sehingga sulit untuk diterima penonton luas.
0 komentar :
Post a Comment