Masihkah tersimpan di memori anda tentang kasus The Mandarin, archenemy Iron Man yang justru menjadi objek utama
lelucon dibalik kisah heroik Tony Stark?
The Mandarin dapat menjadi bukti bahwa keberhasilan para pahlawan (superhero)
untuk tampil memikat tidak hanya bertumpu pada dirinya sendiri, namun juga
berkat pertolongan daya tarik dari masalah yang ia hadapi, salah satunya adalah
kemampuan musuh utamanya dalam menebar ancaman. Star Trek Into Darkness punya hal penting tersebut.
Pria itu adalah John
Harrison (Benedict Cumberbatch), seorang mantan agen Starfleet yang
memutuskan untuk melakukan pemberontakan dengan melancarkan serangkaian
serangan ke kantor pusat Starfleet, dari memanfaatkan seorang agen yang
akhirnya suicide demi kelangsungan anak perempuannya yang sedang sakit, hingga
sebuah aksi frontal menggunakan pesawat tempur dan menggempur rapat petinggi Starfleet.
Namun fakta setelah peristiwa tersebut ternyata justru lebih
mengejutkan, dimana setelah melakukan penyerangan Harrison tiba-tiba
menghilang, dan keesokan harinya ditemukan bahwa ia tidak sedang berada di
bumi. Kirk (Chris Pine), yang
diturunkan jabatannya menjadi perwira utama akibat melanggar banyak aturan di
misi terakhirnya di Nibiru, diberi kesempatan oleh Admiral Marcus (Peter Weller) untuk kembali menjadi kapten dan
mengemban misi untuk menangkap Harrison, bersama Spock (Zachary Quinto), Uhura
(Zoe Saldana), dan tim miliknya, yang ternyata juga menguak sebuah fakta
mengejutkan.
Ini impresif, Star Trek
Into Darkness (STID) punya pondasi yang kuat, sebuah cerita yang menarik.
Tidak mau terlalu rumit, villain menyerang, kemudian melarikan diri, dan para
pahlawan mulai mengejar, sebuah kemasan konflik utama yang sederhana namun
berhasil menciptakan start yang seperti menjanjikan sesuatu menarik akan hadir.
Yang kemudian menjadikan film ini menarik adalah dimana sebenarnya seiring
berjalannya waktu ia menyelipkan banyak sub-plot yang menarik dan diolah dengan
baik, namun tetap mampu menjadikan anda sebagai penonton fokus dalam sebuah
penantian dari apa yang akan terjadi pada konflik utama.
Kuncinya jelas terletak pada tangan seorang J. J. Abrams, yang di kesempatannya yang
kedua di bagian ke 12 dari franchise Star Trek ini masih mampu mempertahankan,
bahkan (mungkin) sedikit meningkatkan kualitas kinerja yang ia miliki. Naskah
yang padat hasil kerja sama Roberto Orci,
Alex Kurtzman, dan Damon Lindelof,
seperti tampak ringan dibawah kendali J. J. Abrams. Cara yang ia pakai dalam
mengolah tiap bagian terasa apik, dimana konflik utama tetap berada di posisi
terdepan, mampu menarik perhatian anda ketika beberapa konflik pendukung hadir
namun tidak sampai menginvansi ke posisi terdepan, hingga bagaimana pertanyaan
yang ia hadirkan tetap berputar di pikiran anda bersama rasa bimbang.
Dan seperti yang saya singgung di bagian pembuka, faktor
penentu lainnya yang menjadikan film ini menarik adalah J. J. Abrams tahu
bagaimana cara memperlakukan villain dengan baik, benar, dan penuh rasa hormat.
Tidak ada yang berkurang dari performa yang dihasilkan para muka lama, dimana
Kirk dan Spock semakin terlihat padu disaat terang dan gelap, sedikit bumbu
personal yang di eksekusi dengan baik, kontribusi dari para karakter pendukung
seperti Scotty (Simon Pegg), Bones (Karl
Urban), Hikaru Sulu (Jhon Cho), dan Chekov
(Anton Yelchin) yang punya peran menarik dalam cerita, hingga kesuksesan
karakter baru Dr. Carol (Alice Eve)
masuk dengan cara yang natural kedalam tim. USS Enterprise menunjukkan mereka
kini seperti sebuah keluarga yang saling mengerti satu sama lain, dan menjadi
sebuah tim yang kokoh tanpa meninggalkan unsur fun yang mereka miliki. Namun, Benedict Cumberbatch adalah dalang dari
kesuksesan STID pada divisi akting.
Tidak perlu meragukan kualitas akting Cumberbatch, karena ia
adalah Sherlock Holmes yang sesungguhnya. Dari cara ia berbicara, sorotan mata
yang tenang namun menghanyutkan, berpadu dengan kharisma yang membentuk sebuah
ancaman skala besar dalam sebuah kemasan kecil yang menipu, sebuah performa
yang ikut menjadikan para penontonnya merasakan pressure yang di alami oleh tim
USS Enterprise. Puncak dari kinerja
apik Cumberbatch hadir ketika sebuah pertanyaan muncul ketika cerita mulai
lepas dari bagian tengah. Dua pilihan yang tersedia mampu ditutup dengan rapi
oleh Cumberbatch sehingga misteri itu menjadi sulit ditebak.
Lantas apa nilai minus yang film ini miliki? Tentu bukan dari
segi teknis, dimana ia punya score yang menyenangkan, berpadu dengan kualitas
visual yang proporsional, punya warna yang dalam dengan tingkat kecerahan yang
terasa pas, meskipun harus diakui sedikit rasa kecewa juga hadir dari divisi
ini karena sensasi maksimal dari efek yang ia miliki hanya hadir dibagian
pembuka. Film ini fokus, dan seperti yang disebutkan sebelumnya ia sukses
membuat anda terus bertanya. Namun, di beberapa titik ia sempat menurunkan
tensi cerita, dan sayangnya bagi saya di beberapa bagian tidak mampu kembali
ketitik sebelum ia turun. Puncaknya ketika ia akan berakhir, adegan sederhana untuk menutup semua kekacauan berbalut teknologi yang telah
diciptakan sebelumnya? Ya ya, saya mengerti tujuan utamanya, namun itu terlalu
standard, dan antiklimaks.
Overall, Star Trek Into
Darkness adalah film yang memuaskan. J.
J. Abrams sukses membentuk wajah baru dari franchise ini semakin bertumbuh,
semakin tangguh, dan celakanya semakin menarik. STID tahu bagaimana membawa
anda kedalam sebuah petualangan luar angkasa yang serius, namun tidak lupa
untuk tetap menjaga para penontonnya menjauh dari rasa bosan. Memang hanya tepuk tangan kecil yang saya berikan ketika ia berakhir, namun hanya sebuah
senyuman puas yang menemani saya melangkah pulang. Menyenangkan.
suka bangetr film ini asli keren parah
ReplyDelete