Sedikit naif jika mengatakan bahwa sebuah kisah yang mampu mengaduk-aduk sisi emosional bukan merupakan hal utama yang anda cari dari sebuah film dengan genre romance. Tidak perduli seberapa cheesy dan klasik cara yang mereka gunakan, anda tentu akan merasa puas ketika ikut merasakan suka dan duka yang dialami karakter. Safe Haven, Safe?
Kabur bersama sebuah bungkusan dari kejaran polisi bernama Kevin Tierney (David Lyons), Katie (Julianne Hough) menuju Atlanta menggunakan bus dari Boston. Sebuah keputusan berani ia ambil, memilih untuk tidak melanjutkan perjalannya sampai ke Atlanta, dan menetap di sebuah kota kecil bernama Southport yang telah menjadi pool peristirahatan sementara banyak armada bus. Di sana Katie mulai mencoba untuk survive, melamar kerja di sebuah restoran, dan membeli sebuah rumah tua yang jauh dari keramaian kota.
Disini kisah itu dimulai, ketika Katie seolah mulai merasakan kekuatan dari cinta pada pandangan pertama pada Alex Wheatley (Josh Duhamel), seorang duda dengan dua anak, pemilik sebuah mini market tempat bus yang Katie tumpangi berhenti. Rasa ragu yang awalnya muncul, kemudian sirna berkat saran dari tetangga barunya Jo (Cobie Smulders), Katie perlahan mulai masuk kedalam hati keluarga Alex, yang masih mencoba lepas dari memori masa lalu, sembari terus waspada karena masih menyandang status buronan.
Sebenarnya premis yang Safe Haven miliki tidak special, bahkan terkesan sangat standar. Nilai utama yang menjadikan film ini pasti mendapat banyak perhatian adalah sosok yang menjadi pondasi utamanya, Nicholas Sparks. Meskipun kecewa dengan tiga film adaptasi sebelumnya (The Last Song, Dear John, dan The Lucky One), saya masih belum menyerah untuk mengikuti film yang diadaptasi dari novel Spark, tentu dengan harapan utama kembali menemukan kisah romance seperti The Notebook.
Nah, jika anda punya harapan yang sama seperti saya, sebaiknya turunkan sedikit ekspektasi anda. Mungkin terlalu kejam mengatakan film ini termasuk kategori hancur, karena selain punya tatanan cerita yang cukup rapi, beberapa gambar yang cantik, Lasse Hallström juga mampu membentuk beberapa adegan yang sebenarnya punya power lemah dan terkesan standar menjadi tampil menarik. Tidak banyak hal cheesy yang disuntikkan, ini yang cukup berhasil meminimalisir rasa jengkel ketika saya menyaksikannya, dibangun dengan sabar dan memberi kesempatan rasa cinta untuk tumbuh dan berkembang.
But, kembali ke topik yang saya singgung di paragraf pertama, yang juga menjadi elemen dimana Safe Haven terasa sangat sangat lemah, permainan emosional. Datar, sangat datar malah. Sejak awal cerita hingga akhir, tak perduli seberapa intens dan manisnya kisah yang ia tawarkan, Safe Haven tetap berada di level yang sama yang celakanya gagal di setting pada posisi tinggi di awal cerita. Hasilnya, mayoritas terasa membosankan, dimana hanya sebuah kejutan di tengah cerita yang bekerja dengan baik, sedangkan kejutan diakhir cerita bahkan sangat mudah ditebak.
Penyebab utama kegagalan Safe Haven adalah ketika ia tidak mencoba memberikan beberapa elemen pembeda, malah asyik bermain di template yang sudah sangat familiar namun terkesan sangat memaksakan para penontonnya untuk merasa nyaman. Safe Haven tidak memberikan ruang bagi penontonnya untuk ikut berjalan bersama karakter, merasakan apa yang mereka rasakan. Saya tidak merasakan getaran cinta, bahkan saya tidak merasakan sakitnya sebuah kehilangan.
Hal lainnya adalah chemistry yang diciptakan dua (mungkin juga tiga) karakter utama. Mereka seperti menggerakkan cerita yang mereka miliki masing-masing. Julianne Hough bagus diawal, mampu mendorong misteri ke baris depan, namun setelah itu ia seperti melayang di lautan tanpa arah sembari terus menunggu sebuah tali menariknya ke garis akhir. Sedangkan Josh Duhamel cukup baik sebagai sosok ayah, namun gagal ketika berkaitan dengan asmara. Tidak hancur memang, tapi terus menghadirkan komponen-komponen cerita yang standar sepanjang film juga ikut memupuk rasa muak para penontonnya.
Overall, Safe Haven adalah film yang kurang memuaskan. Mungkin hanya 2/5 cerita yang ia berikan mampu tampil menarik, sisanya berakhir standar dan datar. Sangat menghargai upaya Lasse Hallström yang mampu mengendalikan cerita sehingga terlihat rapi, namun terlepas dari kejutan di tengah cerita screenplay yang disusun oleh Gage Lansky dan Dana Stevens sangat tidak special. Sorry, bahkan tidak ada moment “oh, so sweet” pada film ini.
A really cheesy, boring and predictable drama romance but a powerful and touching ending.
ReplyDeleteCheck my review: movieluchaholic.wordpress.com :)
@MOVIE BLOGGER: Sudah cek reviewnya, salam kenal Twisted Suspense. :)
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteBeda bgt sm novel aslinya.. Di novel byk plot2 yg kuat n romantis. Syg bgt filmny cm adaptasi 20% dr novelnya. Klo adaptasiny sesuai pst bgs
ReplyDelete:)
Delete