“Reserving judgments is a matter of infinite hope”
Mari membuka review ini
dengan tidak membahas betapa terkenalnya novel yang menjadi pondasi film ini, The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald, yang sudah menjadi
sebuah informasi yang umum. Yang lebih menarik justru makna dari kalimat
diatas, salah satu kutipan favorit saya dari novel tersebut yang juga menjadi
pesan utama yang ingin disampaikan film ini, dimana berasal dari sebuah
keraguan yang berpadu dengan kesabaran, lahirlah kesempatan yang memberikan
ruang untuk hadirnya sebuah kebahagiaan.
Semua berawal dari Nick Carraway (Tobey Maguire), seorang
pria lulusan Yale yang akibat
diagnosis yang ia terima sebagai pecandu alkohol justru memperoleh sebuah
aktifitas baru, menuliskan sebuah cerita yang berisikan pengalaman hidupnya
yang ia anggap paling berkesan. Tapi, bukannya menuliskan kisah yang
menceritakan dirinya sebagai tokoh utama, Nick justru menuliskan kisah ketika
ia pindah ke New York, bertemu dengan sepupunya bernama Daisy Buchanan (Carey Mulligan), Tom Buchanan (Joel Edgerton), suami Daisy, yang juga
mempertemukannya dengan sahabat Daisy, Jordan
Baker (Elizabeth Debicki).
Menjual obligasi,
bertemu kerabat, namun rasa ingin tahu Nick justru terperangkap pada sebuah
rumah megah tepat disamping rumah yang baru ia beli. Pemiliknya adalah Jay Gatsby (Leonardo DiCaprio), pria
kaya raya dan misterius, sosok yang diyakini punya harta melimpah yang dapat
membeli seluruh kota. Suatu ketika Nick diundang ke pesta besar yang selalu
diselenggarakan Gatsby, yang anehnya belum pernah memakai sistem undangan
dimana semua orang bebas untuk hadir. Ternyata ada motif terselubung dibalik
atensi Gatsby kepada Nick, membakar kembali api asmaranya yang pernah padam
dengan cara yang elegan, yang celakanya terjadi dengan sepupu Nick.
Yang pertama harus anda
waspadai adalah Baz Luhrmann, dimana
bagi mereka yang pernah menyaksikan Moulin
Rouge!, atau bahkan yang paling terkenal Romeo + Juliet, apa yang diberikan oleh Luhrmann mungkin tidak akan
memberikan efek mengejutkan. Ya, Luhrmann masih hadir dengan “cara” yang ia
punya, out of the box tanpa perduli
dengan sinkronisasi jaman dan cerita pada elemen teknis, bergerak bebas dengan
totalitas tinggi penuh rasa percaya diri. Mempermudah proses pengenalan Jazz Age dengan mengunakan musik hip-hop modern, setting pesta yang megah
penuh warna-warni memanjakan mata, namun anehnya tidak menciptakan rasa
terganggu pada penonton yang justru menjadikan proses pengenalan itu menjadi
efektif.
Hal yang semakin
menambah rasa kagum pada Luhrmann adalah meskipun ia mengubah cerita itu
menjadi sebuah puisi teatrikal bernafaskan fantasi yang penuh warna, disisi
lain Luhrmann tidak mengkhianati dasar
yang ia miliki, meskipun akan bersifat subjektif jika berbicara tentang keterkaitannya dengan esensi utama
yang ingin disampaikan oleh F. Scott
Fitzgerald dalam novelnya. Ada kisah cinta elegan dan terhormat yang dingin
dan penuh rasa ragu, ada unsur ekonomi yang digambarkan dengan baik melalui
visual antara si kaya dan si miskin, hingga konsekuensi atas harapan yang tidak
dibungkus kokoh dengan sebuah ketegasan. Hal-hal tadi tersampaikan dengan baik,
meskipun menggunakan cara implisit.
Yak, secara implisit
namun mudah dimengerti, semua berkat keberhasilan Luhrmann membangun cerita
ditahap awal. Pelan, sabar, dan disertai beberapa kejutan, ia seperti mencoba
mengajak penontonnya untuk bersama-sama masuk kedalam proses penciptaan dunia
Gatsby, sehingga anda seperti merasa menjadi salah satu karakter dalam cerita
yang ikut mendampingi Nick mengamati perjuangan cinta tersebut. Ini berhasil,
terlebih karena sosok Gatsby diawal cerita yang digambarkan penuh misteri,
dibantu hiruk-pikuk pesta yang fantastis dan intens. The Great Gatsby seperti punya nilai positif yang lengkap, narasi
yang baik, visual yang manis, dan keberhasilan Luhrmann dalam mengolah semua
ide yang ia punya menjadi komponen yang membentuk satu kesatuan yang solid.
Tapi The Great Gatsby itu seperti dua dunia
yang dalam satu cerita. Ketika pesta itu usai, anda kemudian akan masuk kedalam
dunia cerita yang jauh lebih serius dan lebih gelap. Sebenarnya ini adalah keputusan
yang menarik dari Luhrmann, seolah ia ingin membuat anda merasakan bahagia
penuh tawa di paruh awal dengan tujuan utama agar anda dapat semakin merasakan
dalamnya kesedihan yang akan ia hadirkan selanjutnya. Sayang sekali keputusan
tersebut justru menodai kesuksesan yang telah ia ciptakan sebelumnya, karena
keinginan tersebut tidak semua berhasil bekerja dengan baik.
Sumbernya adalah ketika
misteri dari Gatsby telah terkuak, ia masuk kedalam cerita, namun celakanya
DiCaprio gagal merebut posisi terdepan sebagai fokus utama cerita. Dampaknya
sangat besar, terlebih pada kisah asmara yang coba ia bangun bersama Mulligan,
dimana kisah tersebut tidak mampu menggeser daya tarik dari hubungan Gatsby dan
Nick yang telah tercipta sejak awal, terlebih karena daya tarik Nick sendiri
yang terjaga dengan baik. Dua karakter utama seperti mulai kehilangan nyawa
mereka, hampa kekurangan energi, yang meskipun tidak menjadikan saya merasa sebal
namun perlahan mulai merasa lelah karena ketidakmampuan mereka hadir menarik
ditengah cerita yang memang sengaja dibuat berputar-putar.
Nilai minus tadi juga
merupakan efek domino dari keputusan
Luhrmann dan Craig Pearce untuk
memberikan kesempatan pada narasi dari Nick untuk secara dominan hadir,
menyampaikan kepada penontonnya apa yang karakter rasakan. Cukup membantu
memang, namun itu menjadi rusak ketika ia muncul di momen penuh emosional. Jika
dalam novel anda menyerap kata demi kata untuk mendapatkan feel maksimal, dalam
film anda menggantinya dengan proses pengamatan visual. Narasi tadi merusak
proses tersebut, dampaknya tentu pada tingkat kepedulian saya pada karakter.
Unsur romance dapat saya rasakan, namun terasa terlalu dangkal jika
dibandingkan kegigihan yang ditunjukkan oleh Tom.
Jajaran cast jika
ditilik sebagai sebuah tim memberikan kinerja yang memuaskan. Ini hasil dari
kemampuan mereka secara individu menaikkan daya tarik karakter mereka walau
untuk sesaat. Duo karakter utama di menangkan oleh DiCaprio, dimana ia mampu
menjaga rasa ragu itu tetap hidup hingga akhir. Mulligan bermain ciamik, menjadikan karakternya yang rapuh dan kosong menjadi objek yang menarik. Maguire dan Edgerton adalah yang paling stabil, Edgerton dalam menjaga daya
tarik Tom, dan Maguire sukses menjalankan cerita yang bahkan dibeberapa bagian
mampu hadir diposisi terdepan. Jason
Clarke dan Isla Fisher berhasil
memanfaatkan durasi singkat yang mereka punya. Dan, Elizabeth Debicki, scene stealer yang selalu menarik perhatian,
sangat hidup ketika pesta namun mampu menciptakan keheningan ketika ia diam.
Overall, The Great Gatsby adalah film yang
memuaskan. Luhrmann menciptakan dua dunia, sedikit free diawal, dan serius
diakhir. Sebuah misteri berjalan bersama pesta penuh warna dengan tampilan
visual 3D yang mengasyikkan diawal, full of fun, berhasil. Kisah asmara di
paruh kedua, menarik namun tidak maksimal. Pesan utamanya tersampaikan dengan
baik, namun perjuangan cinta itu terasa kurang intens akibat permainan emosi
yang terasa terlalu dangkal. A satisfied
movie, not bad, not great. Well done old sport.
0 komentar :
Post a Comment