Satu
Melangkah santai di gelapnya kabut malam, tak peduli betapa
besar bahaya yang telah ku ciptakan serta kutinggalkan sekitar satu jam yang
lalu, kini hanya satu hal yang memenuhi pikiranku, dimana kasur ku berada? Hal
bodoh semacam ini tak pernah ku alami sebelumnya, melintasi sudut temaram kota
bersama otak yang sudah berada dalam kondisi tidak layak untuk beroperasi,
berdansa bersama sepasang bola mata yang mulai kehilangan daya fokusnya membagi
objek menjadi dua hingga tiga seperti sebuah kacamata tiga dimensi, dan
bersenjatakan sebotol minuman keras yang bahkan baru pertama kali ku sentuh.
Dari kejauhan sayup terdengar sebuah pertanyaan
melangkah masuk kedalam pikiranku, "sedang apa kau disini, idiot?"
Dia Lena, wanita muda semester enam yang masih
mencoba menyelesaikan studinya di jurusan ekonomi, wanita yang entah mengapa
selalu saja hadir setiap kali aku berjumpa dengan masalah, dimana ketika tiga
detik jiwa normal ku kembali sempat membuatku sadar bahwa malam itu ia sedang
shift di restoran tempat ia bekerja.
"Apa yang kau lakukan? Ada masalah apa,
Tim?" tanyanya padaku.
"Kamu siapa?" jawabku bodoh setengah
sadar.
--------*--------
Itu adalah kalimat terakhir yang kuingat dari
kejadian malam tadi, sebuah malam panjang yang terasa berlalu begitu singkat,
karena hal berikutnya yang kulihat adalah sinar matahari pagi yang menyerbu
melalui kaca dari sebuah jendela ukuran besar, kasur yang terasa empuk dan
halus seperti belaian sutra, gambar bergerak dari sebuah tv LED layar lebar,
serta wangi semerbak khas bunga lavender, membawaku kedalam bangun pagi
imajinatif yang indah hingga akhirnya ku tersadar, ini bukan kamarku.
"Rupanya si idiot sudah
bangun," berasal dari suara yang kukenal, samar kulihat wajahnya, hanya
lekuk tubuhnya yang jelas dimataku. Kuraih kacamataku, dan spontan tersentak
ketika kulihat Lena sedang menggunakan sebuah baju terusan yang menjadikannya
tampak seperti tidak menggunakan celana.
"Apa yang telah kau perbuat pada diriku,
Lena?" tanyaku dengan nada penuh drama sembari meraih selimut untuk
menutup bagian atas tubuhku yang tak menggunakan baju.
"Cihhh, mengawali hari dengan bermain
bersama imajinasi kotormu, itu yang selalu kau lakukan?" jawabnya.
"Ini sarapan, roti favoritmu,"
sahutnya lagi sembari menyodorkan sebuah piring berisikan dua buah roti
panggang.
"Pertanyaannya, apa yang telah kau lakukan
tadi malam? Kau tidak pernah semabuk itu, Tim," tanyanya.
"Sebenarnya..., ceritanya...,
panjang," jawabku dengan mulut penuh roti yang tak kuduga bisa selezat
itu.
Seperti tak perduli dengan jawabanku, Lena
beranjak pergi menuju ruang lain. Terkesan cuek namun sangat perhatian, mungkin
itu alasan banyak pria jatuh hati pada Lena, yang anehnya sudah kuanggap
seperti saudara perempuanku.
--------*--------
"Koran ini satu," terdengar
dari belakang yang otomatis menghentikan langkahku.
"Ada berita apa hari ini?"
tanyaku.
"Wah, sejak kapan kau perduli
dengan berita, sudah nasionalis?" jawabnya dengan sinis.
Setibanya di sebuah restoran cepat saji untuk
brunch bersama, kami memilih untuk duduk di sudut ruangan yang merupakan spot
favorit kami karena view yang langsung menuju trotoar depan restoran.
"Wanita itu menarik, yang itu kurang,
jaket biru lumayan, baju merah oke untuk selingkuhan," upayaku untuk
mencairkan suasana yang ternyata kembali mendapat respon dingin dari Lena.
"Aku masih penasaran, masalah
apa yang terjadi tadi malam? Kau tidak pernah seperti itu sebelumnya." tanyanya sembari
membaca koran yang langsung merubah topik perbincangan.
Itu hanyalah sebuah pertanyaan sederhana, namun
entah mengapa seperti ada sebuah tembok besar dan tinggi yang menghalangiku
untuk menyampaikan jawabannya kepada Lena.
"Nanti saja, aku masih belum
fit," jawabku simple yang lagi dan lagi terkesan bodoh karena kelakuan yang telah
kutunjukkan sebelumnya.
"Burger ini lebih enak daripada
roti buatanmu tadi," kataku beberapa menit kemudian dengan mulutku yang
masih penuh, sembari mencoba meraih minuman soda dengan tangan kananku.
"Kau semakin mencurigakan Tim,
sejak tadi pagi selalu mencoba memulai perbincangan dengan hal-hal aneh yang
bukan menjadi ciri khas mu. Ada apa sebenarnya? Kalian berdua bertengkar? Atau
ada masalah lain?" kata Lena, sebuah respon yang tidak pernah kuduga
sebelumnya, seperti membuka pintu masuk ke ruang interogasi yang gelap penuh
sesak.
"No no, just a little bit problem. Dan
semalam aku cuma lagi mau mencoba menikmati beer, ingin tahu rasanya
gimana," jawabku enteng.
"Pfftt, ini melelahkan. Jangan merusak
mood Timm, lebih baik jujur selagi aku masih antusias dengan masalah yang kau
alami," jawab Lena.
Aku hanya tersenyum, sebuah cara praktis yang
kupelajari dari abangku untuk mengakhiri sebuah perbincangan yang dirasa kurang
nyaman dan aman.
Suasana hening yang panjang tercipta sejak
senyumanku tadi. Lena masih asyik membuka lembar demi lembar koran yang semakin
lusuh akibat tenaga berlebihan yang ia gunakan, sedangkan aku sibuk dengan
smartphone, mencoba mencari berita tentang olahraga yang sempat terlewatkan
tadi pagi. Keheningan itu pecah ketika terdengar suasana sirine mobil polisi
yang melaju dengan kecepatan tinggi.
"Ah, lagi-lagi, Si A kabur dari rumah
setelah menyaksikan B yang sedang berselingkuh dengan C," celetuk ku tak
ingin kehilangan momentum dari suara sirine tadi.
Lena tidak bergeming, hal yang tidak aneh
karena aku memang terkenal dengan joke-joke garing yang bahkan
pernah menjadi penyebab sebuah hadiah berupa hantaman keras diwajahku dari
seorang teman yang meledak akibat kesal dengan joke yang kuberikan.
Sebuah lembar baru dibuka oleh Lena, yang
secara mengejutkan mencuri perhatianku.
"Seorang gadis diduga melakukan pembunuhan
terhadap enam pria anggota genk motor"
"Coba lihat ini, apa mungkin hal ini
terjadi?," tunjuk ku pada Lena.
"Enam? Seorang gadis? Bahkan aku yang
sedikit tomboy saja mustahil melakukannya," sahut Lena.
"Sedikit? Yakin? Serius?" canda ku.
Hanya sebuah sorotan tajam dari matanya yang
sedikit sipit itu sudah cukup menjadi jawaban yang kembali membuatku terdiam.
"Tapi kenapa di jaman secanggih ini masih
saja ada gambar yang tidak jelas seperti ini di kolom headline sebuah surat
kabar besar?" tanya Lena.
"Nope, mungkin posisi CCTV terlalu jauh,
jadi hasil zoom yang dilakukan tidak mulus," jawabku dengan enteng.
Berita tersebut awalnya hanya seperti sengatan
sesaat, datang sejenak kemudian hilang. Namun tak pernah kusangka ternyata ia
menjadi sumber dari sebuah shocking moment. Bersumber dari sebuah tv yang tergantung
manis di dinding restoran, seorang anchor yang tidak kalah manis ternyata sedang
mengulas berita tersebut.
"...., wanita yang diduga menjadi pelaku
pembunuhan yang terjadi dini hari tadi diduga seorang mahasiswi ekonomi bernama
Wilhelmina Parker, atau yang lebih dikenal dengan nama Winnie."
Winnie, wanitaku.
Copyright © 2013 by Rory Pinem
All rights reserved
0 komentar :
Post a Comment