"The cruelest part in “growing up” is that girls are always more mature than guys of the same age. No one guys can handle girls at their age."
Perlu waktu yang
sedikit lebih lama bagi saya untuk dapat beradaptasi dengan film Asia, bahkan
jika di bandingkan dengan film Scandinavia
yang secara logika lebih strange dalam hal bahasa. Setelah mulai berhasil
menyatu dengan film Korea, dan Jepang (meskipun kuantitas post sangat
sedikit), saya ingin mencoba memperdalam film berbahasa non-english dari negara
lain, dan kali ini pilihannya adalah Mandarin
dan Thailand. Kembali, ini adalah
film yang di rekomendasikan oleh teman saya, orang yang juga menjadikan Architecture 101 sebagai film asia
pertama di blog ini. Hasilnya ternyata tidak jauh berbeda.
Wanita itu adalah Shen Chia-yi (Michelle Chen), siswi
manis pujaan hati dari Ching-teng yang telah berteman dengannya sejak awal high
school, pelajar teladan yang selalu mengisi waktu luangnya dengan belajar dan
belajar, perempuan yang dewasa dari cara berpikir maupun bertindak. Suatu
ketika Chia-yi mendapatkan sebuah tugas yang tidak menyenangkan, dimana ia
diminta oleh kepala sekolahnya untuk mengawasi Ching-teng (yang dihukum akibat
bertindak bodoh), terutama dalam bidang akademis. Chia-yi bersikap serius, dan
memaksa Ching-teng mematuhi semua tugas dan aturannya, tapi perlahan justru terjebak
dalam permainan asmara.
You Are the Apple of My
Eye adalah sebuah bukti bagi saya dimana film coming-of-age yang mengangkat tema percintaan adalah pilihan
terbaik sebagai starter untuk mengenal lebih dalam film dari suatu negara
non-english dan bahasa, bukan film horror ataupun action yang sebenarnya sudah
sering saya saksikan namun tetap tidak berhasil membuat saya mencintai film
dari negara tersebut. Tidak perlu mencoba untuk tampil elegan dan pintar agar
dapat mengaduk-aduk emosi penontonnya, mereka hanya perlu tampil jujur, bahkan
dengan memasukkan adegan-adegan negatif di luar batas normal, karena tidak
dapat dipungkiri justru hal-hal tersebutlah yang memberikan warna terindah
ketika anda berada pada tahap coming-of-age.
Hal tersebut yang
dimiliki oleh You Are the Apple of My Eye, yang sempat menarik perhatian di tahun 2011
lalu (poor me tidak mau mencobanya tahun lalu) dengan menciptakan rekor
box-office di tiga negara. Film ini dengan berani tampil jujur lengkap dengan
semua hal positif dan negatif yang mungkin pernah anda temui semasa high school.
Berkumpul bersama sahabat-sahabat yang gila, mengagumi wanita yang sama,
memberontak pada guru yang menjengkelkan, hingga berkelahi, digambarkan tanpa
terasa dibatasi oleh Giddens Ko,
penulis novel, screenplay, dan juga sutradara film ini.
Faktor Giddens Ko pula yang menjadikan film ini sukses mencapai
target di berbagai elemennya. Layaknya Stephen
Chbosky dengan filmnya yang juga memukau itu, The Perks of Being a Wallflower, Giddens Ko tahu materi yang ia
punya, tahu tujuan utama apa yang ingin ia sampaikan, dan juga tahu bagaimana
cara terbaik untuk menyampaikannya. Semua tampak bebas dengan ruang gerak yang
luas, terlihat dari karakter dalam cerita yang tampak hidup, alur cerita yang
mulus tanpa pernah terasa stuck total, dan juga permainan emosi yang terbentuk
dengan baik. Dengan semua materi itu, Giddens Ko tampak sangat percaya diri
dalam mengolah tiap bagian, tampak bebas dalam bereksperimen, dan hebatnya
sukses menjadikan film ini untuk tampil efektif tanpa terkesan murahan karena
penggambaran yang tepat sasaran.
You Are the Apple of My
Eye adalah film yang komplit, punya banyak unsur cerita yang hadir dengan
berbagai pesan tentang kehidupan yang memukau. Banyak pelajaran menarik yang
ditawarkan film ini, dari ketika para karakter masih bersekolah, dari kisah
persahabatan, perjuangan untuk menggapai cita-cita, hingga bagaimana arti cinta
yang “sesungguhnya”. Yang menjadi
kekuatan utama film ini terletak pada cara Giddens Ko membentuk cerita kedalam
screenplay yang sederhana namun proporsional. Permulaan yang awkward ketika
mereka berdua belajar bersama di sekolah pada malam hari, perbincangan melalui
telepon, adegan balon kertas, hingga pertengkaran di bawah rintik hujan,
semuanya sukses mengaduk-aduk emosi, indah.
Meskipun ia terkesan
sebagai film bagi semua kalangan karena tema romance yang ia bawa, You Are the
Apple of My Eye bagi saya justru adalah sebuah film yang segmented. Tidak
seperti The Perks of Being a Wallflower yang masih menghadirkan coming-of-age
dalam lingkup yang luas, kondisi dimana banyak dari anda pernah mengalaminya,
film ini adalah kebalikan dari hal itu. Jika anda adalah seorang kutu buku yang
tidak pernah melakukan hal-hal gila semasa sekolah, mungkin sulit bagi anda
untuk terhibur menyaksikan film ini. Anda tidak cukup hanya tahu, namun anda juga
harus melakukan hal-hal “menyenangkan” itu untuk dapat merasakan feel dari
setiap karakter, at least seperti pernah ribut dikelas, atau merasa bosan
ketika guru sedang menjelaskan.
Film ini seperti tidak
memiliki kelemahan dalam skala mayor. Giddens Ko tampak tidak mau mengambil
resiko dalam debutnya sebagai sutradara, bermain aman dalam hal teknis, lebih
mengandalkan banyak pelajaran menarik dari cerita yang ia miliki, namun sukses
memberikan banyak adegan yang sanggup menjadi favorit penonton karena berhasil
membawa kembali memori di masa high school. Tidak hanya berkat Giddens Ko,
namun juga Ko Chen-tung dan Michelle Chen yang menjadikan chemistry dalam
bentuk air dan api diantara mereka terbangun dengan baik. Begitupula dengan
pemeran pendukung yang memang punya peran kecil, namun punya arti penting bagi
cerita.
Overall, You Are the Apple of My Eye adalah film
yang memuaskan. Memang sebuah paket yang tidak megah, aman dan cukup standar,
namun menyaksikan film ini seperti membawa saya kembali ke salah satu masa
indah itu, berkat tampilan jujur dan bebas yang dihadirkan Giddens Ko. Kisah
cintanya mempesona, cerita persahabatan juga menyentuh, dan humor yang
diberikan juga tepat sasaran. Sepertinya minggu ini otak saya akan penuh dengan
adegan film, setelah The Hunt (Jagten),
dan disusul film ini, terutama soundtracknya yang berjudul Those Years itu.
Bang coba liat film 71 Into the fire gimana menurut abang filmnya?
ReplyDeleteMasuk list dulu deh ya. Thanks. :)
Deletemin, aku kok nda dapet feel nonton filem ini ya, min?
ReplyDeleteapa karna aku masuk kategori kutu buku pas sma, min?
aah sok-sok badung lu, min! pffff
Karena setiap orang punya standard yang berbeda. Simple.
Deletestandard aku pake standard SNI, min..
Deleteeh, min, banyakin referensi pelem korea dong.. si john donlot banyak tuh, tp ane bingung mau nnton yang mana. trims, min :*
bagus banget nih film, w merasakan banget apa yg d rasakan pemeran utama pria ini. bener2 mengingatkan kita di masa2 sma ampe skarang d perkuliahan
ReplyDeletebittersweet movie :))
ReplyDelete