Bagi saya, sebuah film yang
mengandalkan bahasa visual adalah sebuah film yang egois. Bukan berarti ia
punya tingkat kesulitan dalam cara pemahaman yang berbeda dari film pada
umumnya (menurut saya itu sama saja), meskipun ketimbang dipadati dengan
dialog-dialog untuk membawa penontonnya masuk dan berpetualang kedalam cerita,
ia justru didominasi tampilan visual disertai dialog yang minim. Dampaknya, ia
sangat sangat menuntut para penontonnya untuk harus berada dalam kondisi dimana
mood mereka sedang baik agar dapat ikut menikmati semua pesan yang ia usung.
Menyenangkan, sometimes.
Marina
(Olga Kurylenko), seorang janda muda asal Perancis yang memiliki anak perempuan
bernama Tatiana (Tatiana Chiline),
sedang mencoba membangun kembali kehidupannya. Marina menjalin hubungan dengan Neil (Ben Affleck), pria asal Amerika,
pria tenang dan berkarisma yang mampu membuat Marina serta Tatiana lepas dari
belenggu masa lalu dan kembali menikmati kehidupan mereka. Sikap yang serius
mereka tunjukkan ketika memutuskan untuk ikut bersama Neil hijrah ke Oklahoma.
Sayang, keputusan itu
justru menghambat apa yang sudah mereka temukan di tempat asal mereka, serta
upaya yang sedang mereka bangun. Marina dan Tatiana ternyata tidak dapat enjoy
dengan lingkungan baru mereka. Ini menjadi awal dari semua kebimbangan, baik
dari Marina, Neil dengan kehadiran seorang wanita bernama Jane (Rachel McAdams), hingga seorang Pastur Quintana (Javier Bardem), yang terus berupaya mencari tahu
jawaban dari pertanyaan yang menghampirinya.
Jujur saja, Terrence Malick seolah tampak mencoba
terlalu keras untuk show off di awal
film, melalui bahasa gambar yang telah menjadi trademarknya. Akibatnya, bagi
saya ruang cerita yang ia kuras diawal cerita cukup menyiksa. Memang indah,
namun durasi yang ia pakai terasa terlalu panjang untuk sebuah proses
pengenalan cerita serta karakter utama yang sempit. Maksud dari keputusan yang
ia ambil tersebut memang dapat dimengerti, tapi dampak yang dihasilkan justru
menjadikan ekspektasi yang telah anda pasang memiliki kemungkinan untuk
mengalami sedikit degradasi.
Itu yang saya alami,
yang sudah memasang ekspektasi cukup tinggi dengan faktor utama yang tidak lain
adalah Terrence Malick. Setinggi apa harapan saya? Ya, at least film ini bisa
sedikit berada dibawah The Tree of Life
mengingat tema serta premis yang usung tidak begitu megah. Semua berawal dari
pembukaan yang menyiksa dan cukup mengganggu (ya, saya sendiri merasa aneh
mengapa saya mengalami hal tersebut), dan boom semua harapan tadi buyar dengan
seketika.
Kelemahan utama film
ini terletak pada script yang ia
miliki, yang kembali seperti sebuah cerita pribadi dari seorang Terrence Malick.
Ia terlalu sempit, sangat sempit malah, dan hasilnya menjadikan cerita tersebut
seolah tenggelam diantara kumpulan gambar-gambar cantik yang ia tampilkan.
Begitu pula dengan power yang cerita itu miliki, cukup lemah dan akan membawa
anda kedalam sebuah kisah yang terasa seperti seorang astronot di kapal luar
angkasa, bergerak bebas kesana kemari secara abstrak sebagai wujud sebuah ekperimental
dari Malick.
Ya, ini mungkin sebuah
misi dari Malick untuk menciptakan pengalaman baru dari sebuah drama romantis.
Ia bahkan dengan berani tidak menggunakan elemen-elemen yang sebenarnya sudah
menjadi hal yang wajib dimiliki genre tersebut. Tidak mencoba memberikan
terlalu jauh dalam hal detail, anda hanya diberikan cerita dalam garis besar,
informasi yang sedikit, dan diberikan kebebasan untuk menghayati hal-hal tadi
bersama bahasa visual yang ia sajikan. Hasilnya, saya merasa Marina, Neil, hingga
Quintana seperti sebuah boneka hidup yang bergerak random, bukan sebagai
karakter yang memiliki sebuah konflik pribadi emosional.
Memang dibeberapa
bagian anda masih dapat menyaksikan kebahagian, hingga kehancuran yang di
sampaikan lewat bahasa visual yang cantik, namun itu tidak cukup untuk menekan
lebih dalam kekuatan dari pesan yang ia punya. Memang mengejutkan, setelah The Tree of Life Malick langsung hadir
kembali setahun kemudian, dan bahkan dua film sedang dalam tahap pengerjaan.
Mungkin Malick ingin merubah pattern
yang selama ini ia punya. Resikonya, saya tidak merasakan magic dari film ini
seperti yang pernah diberikan oleh Malick, dimana ia terasa kurang intim, cukup
abstrak, dan sedikit rapuh.
Tapi anda tidak perlu
ragu dengan tampilan visual yang film ini miliki, karena anda masih akan menemukan
ciri khas dari seorang Terrence Malick. Bahkan, jika anda adalah salah satu
dari mereka yang tidak peduli dengan cerita dari film-film karya Malick, To the Wonder akan memberikan anda
sebuah kepuasan yang tinggi, dengan dialog yang minim, dan mayoritas di isi
dengan gerak tubuh dari tiap tokoh yang selalu memiliki makna. Yang paling
memikat adalah Olga Kurylenko, dimana
ia mampu menggambarkan perasaan yang ia miliki dengan baik menggunakan gerak
tubuhnya. Sedangkan pemeran lainnya lebih sebagai pion yang membantu Kurylenko
untuk menggerakkan cerita.
Overall, To the Wonder adalah film yang cukup
memuaskan. Tidak perlu mempertanyakan tampilan visual yang ia miliki, karena Malick masih belum berubah dalam hal
ini, cantik dan indah, tetap mampu menghadirkan sebuah pengalaman menonton yang
menarik. Sayang, script yang ia punya tidak mampu mendorong film ini untuk
bergerak lebih jauh ke posisi atas. Meskipun menyaksikannya dalam kondisi mood
yang sangat baik, saya tetap merasa puisi ini kurang mampu menjadikan pesan yang
ia bawa memberikan dampak yang besar, baik dalam hal asmara maupun spiritual.
Wah bro, nonton dimana nih? Gue pengen nonton juga, hehe.
ReplyDeleteGa ngerti ceritanya
ReplyDeleteBingung malah
ReplyDelete