Seseorang pernah berkata kepada saya, “selalu
persiapkan dirimu dalam setiap detik yang kau lalui, karena kau tidak tahu apa
yang mungkin terjadi padamu satu jam, satu menit, bahkan satu detik kemudian”.
Well, sangat sangat benar. Jika anda ingin mencari pembuktian termudah, maka Stoker adalah pilihan yang sangat tepat,
film berbahasa inggris pertama dari sutradara korea yang pernah menelurkan
salah satu film asia terbaik yang pernah saya tonton, Oldboy.
Seorang wanita yang gemar menyendiri bernama India Stoker (Mia Wasikowska), harus
menerima sebuah kenyataan pahit dalam bentuk sebuah ujian hidup yang cukup
berat bagi wanita yang baru genap berusia 18 tahun. Sebuah kecelakaan mobil
merenggut nyawa ayahnya, Richard (Dermot Mulroney), sosok yang seolah telah
menjadi sahabat paling ia cintai dalam hidupnya. Seperti ciri khas dari seorang
yang pendiam pada umumnya, India lebih memilih untuk memendam rasa sakit dan
hancur ia miliki seorang diri, dan tidak peduli dengan Evelyn Stoker (Nicole
Kidman), ibunya yang sedikit “terganggu”, yang bahkan tidak layak dijadikan
tempat berbagi masalah.
Namun hadir Charles (Matius Goode), abang dari
almarhum ayahnya, sosok paman yang jauh dari kesan kuno. Diluar dugaan Charles
mengambil sebuah keputusan yang tidak biasa, jauh dari kegemarannya yang selama
ini senang berkeliling dunia, yaitu untuk tinggal bersama India dan Evelyn,
dengan maksud utama untuk menguatkan mereka akibat tragedi itu. Tapi ternyata
tragedi tersebut punya dampak yang jauh lebih besar dari yang diduga, dimana
India mulai kehilangan kontrol yang ia miliki terhadap pikirannya, mulai gemar
berfantasi, hingga mulai tertarik pada pamannya sendiri, meskipun ia juga
merasa curiga padanya.
Memang tidak salah jika sedikit mengikut
sertakan Oldboy ketika sedang membahas film ini, karena dampak yang film
tersebut berikan sungguh besar, seolah menjadi trademark dari Park Chan-wook,
sehingga ketika film berbahasa inggris pertama Park Chan-wook muncul orang
akan dengan mudahnya kembali mengangkat Oldboy kepermukaan, terlebih remake
dari film tersebut akan rilis tahun ini. Namun itu hanya sebatas menyinggung
dalam skala kecil, dan terasa tidak pantas untuk membandingkannya head-to-head
dengan film ini. Ya, Park Chan-wook sendiri bahkan lebih senang untuk
menciptakan hal yang baru, ketimbang terjebak dalam sejarah yang indah itu.
Stoker adalah sebuah film coming-of-age yang
kembali dijadikan Park Chan-wook sebagai arena bermainnya namun dengan style
yang masih begitu kental. Anda akan mendapatkan sebuah karya seni yang menyeramkan,
menakutkan, namun anehnya justru memberikan banyak ruang bagi anda untuk santai
tanpa merasa tegang. Itu semua berkat tampilan visual yang memikat, penuh nilai
seni, dibantu score yang bagi saya cukup memiliki kontribusi dalam membangun
cerita. Ya ya, tidak ada adegan nudity yang berlebihan, tidak ada paket berisi
potongan tangan, tidak ada pula scene mengintip sang pengintip melalui sebuah
cermin. Namun sangat sulit untuk melupakan style dari Park Chan-wook, terutama
transisi antar scene yang mungkin akan terasa aneh bagi penonton yang belum
terbiasa.
Well, jujur saja, kinerja Park Chan-wook yang
menjadikan film ini hidup, apalagi jika anda setidaknya tahu bagaimana style
yang ia miliki (saya masih ingat sekali scene dimana rambut perlahan mulai bergerak
menjadi rerumputan di rawa, indah). Jika menilik dari segi script film ini, apa
yang dihasilkan oleh Wentworth Miller sebenarnya tidak spesial. Untung saja
premis yang ia miliki sangat sempit, tidak kompleks, sehingga kegagalan yang
Miller hasilkan menjadi tidak begitu tampak, dari Charles yang langsung
ditempatkan sejajar dengan India, hingga karakter Aunt Gwendolyn Stoker (Jacki
Weaver) yang masuk dan hilang dari film tanpa point yang penting.
Stoker bukan film bagi semua orang, namun
disitu letak kegembiraan yang saya rasakan, karena dengan begitu rasa puas yang
anda rasakan akan begitu besar jika anda merupakan salah satu dari mereka yang
menjadi sasaran dari film ini. Dampaknya, hasil akhir yang ia berikan sangat
tergantung pada cara penonton menginterpretasikan dengan akal mereka cerita
yang sempit serta tampilan visual yang film ini sajikan. Resiko lainnya, akan
tercipta penilaian yang penuh warna karena reaksi tiap orang yang berbeda.
Meskipun sulit, tidak salah untuk memilih film ini sebagai cup of tea anda,
karena akibat pace yang lambat tidak ada ketegangan yang berlebihan. Dan jika
anda mengerti apa maksud dan tujuan yang ingin disampaikan film ini, saya yakin
semua materi yang ia berikan justru akan bertahan lama di ingatan anda.
Apakah film ini begitu menarik bagi saya? Ya,
menarik. Selain nilai positif dari tampilan visual, cerita yang ia punya akan
membawa anda merasa seperti berada di dua dunia yang juga akhirnya menjadi
pertanyaan, apakah itu realita, atau hanya sebatas fantasi dari India. Tidak
ada konflik supranatural, hanya sebuah permainan berisikan karakter dengan jiwa
yang sudah rusak, dari seorang paman yang seolah punya aura gelap dibalik
senyum dan tatapannya, hingga kemungkinan terjadinya incest. Terkesan biasa,
namun hal tersebut justru lebih menakutkan bagi saya, yang pada saat itu
langsung membayangkan bagaimana jika saya menjadi India, bagaimana jika anak
saya kelak mengalami nasib seperti India, bahkan hingga apa jadinya jika saya
memperoleh pasangan seperti India atau seperti Evelyn. Ini yang saya suka, Park
Chan-wook sukses menjadikan saya ikut merasakan apa yang karakter alami, pelan
namun mendalam.
Tidak banyak momen yang begitu memorable dari
film ini, namun sepanjang proses yang ia ciptakan film ini sukses menghadirkan
sebuah kasus yang pasti akan membuat anda sabar menanti. Unsur drama terasa
pas, misteri yang ia miliki dibangun dengan rapi, thriller terasa kurang, namun
kesan horror melekat dengan baik, terutama lewat adegan lampu yang bergoyang
itu. Mia Wasikowska diluar dugaan mampu tampil memikat lewat peran dewasanya.
Sosok polos yang kemudian mengalami kerusakan di jiwanya, itu berhasil
diperankan dengan baik oleh Mia. Tidak hanya sebagai individu, namun juga
sebagai sebuah tim. Kerenggangan hubungan ibu dan anak yang ia bangun dengan
Nicole Kidman (yang juga bermain cukup baik) sangat jelas dan mudah ditangkap.
Begitupula dengan suasana erotis yang ia berikan bersama Matthew Goode (sangat
mampu menampilkan ancaman secara natural), memikat, terutama adegan “seks piano”
yang aneh namun tajam tersebut.
Overall, Stoker adalah film yang memuaskan.
Andai saja script yang ia miliki dapat tampil jauh lebih baik lagi, film ini
akan mengisi daftar calon film terbaik versi saya untuk tahun ini. tidak hancur
memang, dimana Stoker hidup berkat Park Chan-wook, karena cerita yang lemah itu
berhasil memikat berkat cara penggambaran yang ia tampilkan, indah, namun tetap
dengan “style” yang ia miliki. Ceritanya sempit, cenderung dangkal, namun
sukses membangun sebuah arena bermain psikologis selama 99 menit yang
menyenangkan, terlebih ia punya pesan utama yang kokoh dan sangat mengganggu.
Bro,kayaknya selera film kita mirip nih. Boleh tukeran link? Link lo udah gue pasang di blog gue. Link gue http://review-luthfi.blogspot.com/ . Thanks :)
ReplyDelete@Luthfi Prasetya Putra: Tentu boleh. Jika perubahan tata letak berjalan, link-nya akan segera saya pasang. Thanks sudah berkunjung Luthfi. :)
ReplyDeleteMau komen dikit aja, Charlie itu adenya Richard...bukan abangnya. Nice review, anyway.
ReplyDeleteThanks. :)
ReplyDeleteIni film keren, review nya gak mutu... Selera murahan
ReplyDeleteLMFAO. :)
DeletePengen nanya, kenapa pas akhir film. India malah nembak si charles?
ReplyDelete...................
DeleteDID
YOU
JUST
SPOIL
THE
MOVIE
ENDING???