Berbeda genre, beda
pula perlakuan yang harus anda berikan dalam menilai baik dan buruknya paket
yang ditawarkan oleh sebuah film. Jika saya menilai komedi dilihat dari sukses
tidaknya ia membuat saya tertawa, dan siap dengan hal bodoh dan konyol, horror
diukur dari tingkat keberhasilannya dalam menakut-nakuti saya, lain pula dengan
Sci-fi, dimana saya secara khusus
selalu menarik peran cerita sedikit lebih kebelakang, dan lebih mengharapkan
sebuah inovasi baru yang mampu membawa saya ikut berimajinasi dalam konteks
yang lebih ilmiah ketimbang sebuah fantasi.
Bumi hampir saja hancur
akibat invansi alien ditahun 2017
(well, bersiaplah anda), dan menyisakan kondisi yang menyedihkan tepat di tahun
2077, dimana semua manusia telah di evakuasi ke Titan, sebuah bulan milik Saturnus.
Ya, bumi memang berhasil direbut kembali, namun apa yang tertinggal dari
invansi tersebut tentu tidak dapat dianggap sepele. Maka dibentuklah sebuah tim
operasi yang bertujuan untuk membasmi para alien yang mungkin masih bermukim di
bumi, memperbaiki robot patroli, serta terus berupaya untuk mengambil sumber
daya bumi yang tersisa.
Mereka adalah Jack Harper (Tom Cruise), mekanik yang
setiap harinya bertugas naik dan turun menggunakan pesawat dari sebuah menara
yang dibangun ribuan kaki dari permukaan bumi, rekannya Victoria Olsen (Andrea Riseborough) yang bertugas sebagai operator,
dan Sally (Melissa Leo) komandan yang
tiap hari secara periodik memantau perkembangan mereka melalui video call.
Namun ada sebuah pertanyaan yang selalu menemani Jack, siapa mereka sebenarnya?
Hal tersebut semakin besar setelah ia menemukan Julia Rusakova (Olga Kurylenko) dalam sebuah kapsul di pesawat
ruang angkasa yang jatuh di teritorinya, dan juga kaum pemberontak yang
dipimpin oleh Malcolm Beech (Morgan
Freeman).
Oke, mari sejenak
membahas apa yang saya singgung di paragraf pertama, sci-fi dengan inovasi baru
dan menciptakan ruang imajinasi yang menyenangkan. Hal tersebut yang saya suka
dari sebuah sci-fi, karena dengan mempunyai dua hal tersebut ia akan
meninggalkan anda sebuah impresi yang mampu dikenang lama oleh memori anda.
Contohnya tiga tahun lalu ada Inception
dengan mimpi berlapisnya. Dua tahun lalu ada Melancholia dan Another Earth,
serta Source Code. Tahun lalu ada Chronicle, Prometheus, hingga Looper, dan yang terbaru Cloud Atlas. Mereka punya satu hal yang
identik, mereka unik.
Itu yang tidak dimiliki
oleh Oblivion, proyek ambisius dari Joseph Kosinski, sosok yang tiga tahun
lalu menyajikan sebuah dunia gelap penuh cahaya lampu dalam Tron: Legacy.
Mengapa saya sebut ambisius, karena selain sebagai produser dan sutradara, ia
juga mengangkat cerita dari novel miliknya, dan menggaet Karl Gajdusek, William
Monahan (The Departed) dan Michael
Arndt (Little Miss Sunshine, Toy Story 3) untuk bersama dengannya menyusun
screenplay. Hasilnya, anda akan menemukan sebuah premis yang kuat, dan tidak
dapat dipungkiri seperti menjanjikan sesuatu yang menarik.
Namun itu adalah
penilaian yang saya berikan sebelum film ini berputar, karena setelah ia
berjalan ternyata faktanya justru bertolak belakang. Bahkan saya tidak menemukan
apa yang saya harapkan dapat saya temukan dari film dengan budget US$120 juta ini. Dibalik premisnya yang
kokoh, ternyata Oblivion tidak menawarkan sesuatu yang baru, bahkan menurut
saya ia tidak memiliki hal unik. Tidak perlu menarik terlalu jauh kebelakang
karena saya juga tidak ingat secara detail, namun Oblivion ibarat Moon (2009), yang dibalut dengan cita
rasa WALL•E (2008). Memang tidak
salah, dan mungkin itu merupakan bagian dari materi yang menjadi inspirasi
Kosinski dan Arvid Nelson dalam
menulis novel grafis mereka. Yang sangat disayangkan, terlepas dari hal
tersebut ternyata tidak ada materi lain yang at least mampu menjadi identitas film
ini.
Tidak cukup sampai
disitu, saya bahkan langsung teringat Prometheus
ketika menyaksikan film ini, dengan past story yang telah terungkap, dan
menawarkan sebuah misteri berisikan keraguan tentang apa yang sebenarnya
terjadi. Sayang, memanfaatkan kebebasan yang ia punya, Kosinski justru
memberikan beban yang terlalu besar pada film ini yang mulai tampak kelelahan menjelang bagian akhir,
dan dampak paling nyatanya terlihat ketika ia coba menghadirkan kisah asmara
yang berujung hambar tanpa permainan emosional dalam skala kecil sekalipun.
Tidak masalah, namun cukup kecewa, karena sama seperti Prometheus saya menaruh
ekpektasi yang cukup tinggi pada film ini, meskipun ia cuma punya TC di barisan
terdepan.
Satu lagi hal yang
cukup mengganggu, dimana film ini berjalan dengan tempo yang terasa lambat. Hal
tersebut menciptakan ruang bagi rasa bosan untuk hadir, dan beberapa kali
sempat mengganggu saya yang kali ini memang sengaja lebih berfokus untuk ikut
berimajinasi dengan bahasa visual ketimbang terlalu memikirkan cerita yang di
beberapa bagian sempat kehilangan harmoninya. Terlalu panjang, dan mungkin akan
terasa lebih efektif jika disempitkan 10-20 menit. Ya, mungkin Kosinski sengaja
melakukan itu untuk memberikan waktu bagi para penggila sci-fi untuk berusaha
mencintai film ini.
Namun tidak dapat
dipungkiri, sisi teknis yang dimiliki Oblivion sangatlah indah. Lupakan sejenak
nilai minus tadi, karena anda akan mendapatkan tampilan visual yang mampu
menghibur serta memanjakan mata dan pikiran anda. Tidak heran, karena ia punya Claudio Miranda (Life of Pi) yang mampu
menjadikan hasil tangkapannya membantu menggerakkan cerita, dan kemudian diolah
oleh tim visual efek yang berisikan orang-orang yang pernah bekerja untuk 2012, TRON: Legacy, Hugo, Prometheus,
hingga The Avengers, dan semakin
memperoleh nilai positif yang begitu besar berkat bantuan score yang juga tidak
kalah indahnya dan bekerja efektif. Oscar?
Pemeran? Yha, apa yang
anda harapkan dari seorang Tom Cruise
akan anda dapatkan di Jack Harper, bukan berkelas Oscar, lebih kepada
penampilannya di film-film 201x miliknya. Kosinski melakukan hal yang tepat,
karena dengan budget yang besar ia harus sanggup meraih pendapatan yang jauh
lebih besar, dan salah satu caranya adalah menaruh aktor yang mampu melakukan
itu, dan itu ada pada Cruise. Dua pemeran wanita tidak diberi porsi yang lebih
besar, begitupula dengan Melissa Leo, dan bahkan Freeman serta Nikolaj Coster-Waldau seolah hanya
seperti sebuah tempelan belaka.
Overall, Oblivion adalah film yang cukup
memuaskan. Kosinski punya dua sisi
dari hasil kebebasan yang ia miliki. Dari segi tampilan visual, Oblivion ibarat
dunia khayal yang imajinatif dan menyenangkan, namun disisi lain ambisi yang
besar menghasilkan beban yang berat, dan memberikan impact yang sangat terasa
di paruh kedua film dengan beberapa pengulangan yang kurang berarti. Premisnya
kuat, namun Oblivion tidak memberikan sebuah pelajaran dan pesan baru yang unik dan
menarik untuk anda kenang.
siapa itu sally ??
ReplyDeletegue masih bingung sampe sekaraang tentang tu film
ngomong2 mapir dong di blog gue :D
http://teenager-25.blogspot.com
A Whiter Shade of Pale, it's fit to describe faint shadows in this movie OBLIVION as well - https://www.youtube.com/watch?v=8b6xSyFz6B0
ReplyDelete