Seperti judulnya, The Girl Who Kicked the Hornet's Nest
adalah sebuah hasil dari dampak domino yang harus dialami oleh Lisbeth Salander (Noomi Rapace) akibat
semua kekacauan di dua film sebelumnya yang berpusat pada dirinya. Langsung
menyambung cerita dari film kedua, Lisbeth seperti berada dalam sebuah sarang
berisikan banyak madu yang terus dijaga oleh lebah-lebah yang punya dua tujuan
yang berbeda, ingin melindunginya, dan disisi lain ingin menjatuhkannya untuk
melindungi sebuah rahasia besar yang telah tersimpan puluhan tahun lamanya.
Dengan sebuah peluru
yang bersarang di kepala bagian kanannya, Lisbeth berada dalam kondisi kritis
dan diharuskan menjalani perawatan yang intensif. Meskipun begitu, ruang tempat
ia dirawat berada dalam pengawasan yang ketat, dijaga oleh seorang polisi di
depan pintu, hanya dokter, perawat, serta Annika
Giannini (Annika Hallin), pengacaranya sekaligus adik dari Mikael Blomkvist (Michael Nyqvist), yang
diberikan akses untuk menemui Lisbeth.
Namun ternyata sebuah
rencana telah disusun, sumbernya adalah Fredrik
Clinton (Lennart Hjulström) dan Evert
Gullberg (Hans Alfredson), mantan rekan di sebuah kelompok bernama “The
Section” yang dulu merupakan bagian dari dinas keamanan Swedia. Misi mereka
adalah membunuh Alexander Zalachenko
(Georgi Staykov) dan Lisbeth, yang sedang dirawat di rumah sakit. Sayangnya
tidak semua rencana mereka berhasil, yang kemudian memaksa Clinton untuk
mengambil langkah lain untuk mensukseskan misinya, cara manipulatif, dengan
meminta bantuan Dr. Peter Teleborian
(Anders Ahlbom), psikiater yang pernah berurusan dengan Lisbeth saat dia
masih kecil. Tidak semudah itu, karena gerak mereka telah tertangkap radar oleh
Mikael Blomkvist.
Terasa sebuah penurunan
yang cukup signifikan dari film ini jika dibandingkan dengan dua pendahulunya.
Memang harus di maklumi karena cerita dari bukunya sendiri lebih banyak bermain
dalam proses membongkar misteri tanpa adegan yang mampu memompa adrenalin
penonton. Dampaknya, film ini akan berada pada tensi yang stabil sejak awal
hingga pertengahan cerita, karena Ulf
Rydberg dan Jonas Frykberg
ternyata masih sangat setia dengan cerita dari buku yang menjadi pondasi
mereka. Ya, stabil jika anda tetap berupaya untuk fokus, namun akan mulai
membosankan ketika anda mulai kesal dengan semua tik-tok cerita yang ia
hadirkan.
Mungkin satu jam,
dimana film ini berjalan lambat, dan berupaya untuk lebih fokus pada proses
menjabarkan konflik agar dapat dimengerti dengan jelas. Daniel Alfredson seolah tampak tidak mau mengambil resiko dalam
keputusan ini, menaruh fokus cerita yang sangat kuat pada dua sosok utama yang
ia miliki, dan sukses menjadikan masing-masing cerita yang mereka emban menjadi
menarik. Ini yang saya suka, karena saya merasa seperti membaca cerita dari
novelnya, dalam kemasan yang sedikit sempit, namun tetap mampu menyatu tanpa
meninggalkan bagian penting dari cerita.
Ya, tidak ada yang
tertinggal, karena film ini mampu membawa kembali kisah di film kedua ke hadapan
penonton tanpa menuntut sebuah usaha ekstra dari penonton untuk dapat paham
dengan bagian tersebut. Resikonya, jika anda menjadikan film ini sebagai film
tunggal, menyaksikan film ini tanpa menonton terlebih dahulu film keduanya,
maka yang anda rasakan hanyalah sebuah paket berisikan materi yang
membingungkan. Tapi sebaliknya, jika anda telah mengikuti Lisbeth sejak film
pertama, maka tautan antar konflik akan menjadi lebih mudah dan tidak
membingungkan.
Mungkin terkesan
membosankan, namun justru cerita yang lebih didominasi oleh proses membongkar
misteri dengan dipenuhi dialog ini memberikan kesempatan bagi dua pemeran
utamanya untuk menunjukkan kualitas akting mereka. Noomi Rapace tidak menunjukkan sebuah lonjakan yang besar, karena
setelah sangat nyaman dengan karakternya, yang harus dilakukan oleh Rapace
adalah menjaga harmoni yang telah ia ciptakan agar dapat bertahan di level yang
sama, dan itu berhasil. Michael Nyqvist
yang kali ini tampil memikat, mungkin karena kesempatan yang ia peroleh kali
ini lebih besar, dan itu mampu dimanfaatkan dengan baik oleh Nyqvist ketika ia
menjadi dalang dari semua fakta yang Lisbeth peroleh. Ini penampilan terbaik
Nyqvist di Millennium Series.
Apa yang harus anda antisipasi
sejak awal mungkin adalah pace cerita yang akan berjalan lambat. Tidak ada
adegan aksi, dimana anda seolah diajak untuk mengurai sebuah benang yang kusut
untuk menemukan ujungnya. Berjalan pelan, dipenuhi dialog yang menuntut fokus
dari penontonnya, akan anda temukan sepanjang 90 menit film ini berjalan. Tapi,
kesabaran anda akan terbayarkan berkat adegan peradilan Lisbeth yang menjadi
tempat berkumpulnya semua materi yang telah anda saksikan sebelumnya. Nikmat,
dan menyenangkan.
Overall, The Girl Who Kicked the Hornet's Nest
adalah film yang memuaskan. Sulit untuk membandingkannya dengan dua
pendahulunya, karena film ini terasa lebih jauh lebih datar akibat fokus utama
yang ia taruh pada proses menuju peradilan Lisbeth. Tetap menarik, namun akan sedikit
mengecewakan bagi mereka yang telah mengikuti kisah Lisbeth sejak film pertama.
Sebuah kemasan penutup yang cukup manis, meskipun seolah masih menyisakan
sesuatu dan terasa belum tuntas.
0 komentar :
Post a Comment