Sebenarnya film ini merupakan satu paket bersama
You Are the Apple of My Eye, namun sayangnya harus dirilis sehari lebih lama
karena berbagai pertimbangan yang cukup aneh yang saya alami. Well, film
Thailand adalah film horror, dan itu telah sejak lama menjadi pandangan saya
terhadap film dari negeri gajah putih itu. Hal tersebut menjadikan adaptasi
saya yang cukup sulit, terlebih First Love (A Little Thing Called Love/Crazy Little Thing Called Love) punya hype yang
cukup besar dengan genre rom-com untuk menceritakan kisah coming-of-age yang ia
miliki.
Nam (Pimchanok Lerwisetpibol), mungkin adalah
gambaran umum dari sosok yang sangat tidak di inginkan para wanita remaja akan
terjadi pada mereka. Nam tidak pintar, Nam juga punya penampilan yang sangat
jauh dari kata indah. Berada dalam kelompok yang menjadi kaum “minor”, memiliki
kulit gelap yang tidak terawat, memakai kacamata bergaya kuno, rambut yang
tidak terawat, di tambah dengan kawat gigi yang bukannya memperbaiki nilai
dirinya, namun justru sebaliknya. Namun ternyata Nam dipakai oleh cinta sebagai
alat untuk sekali lagi menunjukkan kekuatan yang ia miliki kepada anda.
Pria itu adalah Shone (Mario Maurer), kakak
kelas Nam, berwajah tampan, sangat populer diantara para siswa wanita. Berbagai
upaya dilakukan Nam untuk mendekati Shone, mulai dari mengikuti
ekstrakurikuler, mempraktekkan berbagai metode untuk mendapatkan hati pria yang
ia dapatkan dari sebuah buku, hingga bekerja keras melakukan hal yang bukan
menjadi keahliannya, menjadi seorang Mayoret dadakan atas paksaan ibu Inn
(Sudarat Budtporm), guru “favorit” Nam, hingga berupaya untuk menjadi ranking
satu di kelas.
Well, jangan mengharapkan sesuatu yang baru,
karena apa yang ditawarkan film ini adalah kisah klasik yang sudah menjadi ciri
khas dari sebuah cerita yang bertemakan cinta pertama. Premis yang sederhana
tadi masih dapat disempitkan lagi, yakni cerita tentang itik buruk rupa yang
menjadi indah setelah dewasa. Ya, anda tentu tahu dengan kisah tersebut, dan
hal umum tersebut yang coba dikembangkan menjadi lebih luas oleh Puttipong Promsaka
Na Sakolnakorn dan Wasin Pokpong. Sayangnya, mereka membentuk cerita yang
sebenarnya menurut saya cukup menarik, namun terlalu sederhana, sangat mudah
ditebak dengan banyak kekurangan yang tercipta.
Kelemahan utamanya adalah cerita yang satu arah,
dimana hanya karakter wanita yang digambarkan terus berupaya untuk mendapatkan
hati pria pujaannya, namun disisi lain karakter pria justru tampak terlalu
dingin dengan segala misteri yang ia simpan, meskipun saya suka bagaimana
mereka membentuk Shone menjadi sosok yang sederhana, tidak glamour sehingga
terasa nyata karena sikapnya yang baik dan bersahabat. Namun kelemahan tadi
menyebabkan kurang terciptanya gesekan api cinta antara dua karakter utama,
tidak terasa feel dari gelora cinta yang mereka miliki, tidak seperti You are
the Apple of My Eye meskipun sebenarnya mereka masih dalam kasus yang sama.
Tidak cukup sampai disitu, setelah dibuka dengan
manis serta seolah menjanjikan sesuatu yang menarik, film ini justru terasa
berantakan di bagian tengah, baru kemudian kembali menjadi menarik sebelum
bagian penutup. Datar, bagian tengah film terasa datar, meskipun telah coba
menghadirkan pria pujaan lainnya dalam diri Top (Acharanat Ariyaritwikol),
serta Sudarat Budtporm yang beberapa kali sanggup menghadirkan tawa. Memang
kadar komedi dan permainan emosional yang diberikan terasa cukup berimbang,
serta beberapa bagian yang tampak useless masih dapat dimaafkan, namun yang
menjadi problem utama adalah cara dua sutradara tadi membentuk semua materi
yang ia punya. Terasa sangat berlebihan, di beberapa bagian terlalu
berputar-putar padahal point dari pesan yang ia ingin sampaikan sebenarnya
dapat dimengerti dengan penyampaian yang simple.
Memang sedikit sulit bagi Puttipong Promsaka Na
Sakolnakorn dan Wasin Pokpong untuk berkreasi, mengingat ruang gerak mereka
yang tidak begitu luas karena kisah cinta yang mereka angkat berada setingkat
lebih muda, sehingga terdapat batasan yang sangat terasa. Namun semua itu tidak dapat dijadikan alasan bagaimana dangkalnya kisah asmara yang mereka bangun, tanpa disertai pendalaman cerita yang mumpuni. Beruntung mereka
punya Pimchanok Lerwisetpibol (a little cute called Baifern). Baifern
punya tugas yang lebih berat ketimbang Mario, dan ia sukses menjadikan karakter
Nam menjadi menarik, dan terasa real (ah, adegan di kolam renang itu sangat
menyentuh). Begitupula dengan divisi tata rias yang bekerja dengan sangat baik
dengan mengubah Baifern yang manis menjadi sangat buruk rupa.
Overall, First Love (A Little Thing Called Love/Crazy Little Thing Called Love)
adalah film yang cukup memuaskan. Memang cukup menghibur, namun film ini rusak
mulai dari bagian tengah, dimana ia terasa berantakan dan tidak berkembang. Andai
saja komedi yang ia berikan tidak bekerja dengan baik, film ini akan hancur. Ibarat
lautan luas, dengan cinta dalam wujud ikan, film ini adalah ikan kecil dimana
anda dapat melihatnya ketika ia berenang dipermukaan, namun tidak dapat
terlihat ketika ia berenang lebih dalam. Rasa cinta itu memang terasa, namun
tidak ada permainan emosional yang keren, terasa standard akibat dari
presentasi yang datar. Film ini akan sangat sangat menarik bagi mereka yang lebih
terpesona pada dua karakter utamanya, Mario bagi wanita, dan Baifern bagi para pria.
0 komentar :
Post a Comment