Everything has a price. Ketika anda mencoba untuk mengikuti
cara dari sesuatu yang pernah menuai sukses, maka di sisi lain anda juga harus
siap menerima resiko bahwa hal yang akan anda lakukan itu mungkin akan tidak menuai sukses seperti apa yang anda harapkan, apalagi jika anda menggunakan
formula yang sama tanpa memberikan sebuah “warna” baru yang memikat sebagai
pembeda. Beautiful Creatures? Ciptaan
yang indah?
Ethan Wate (Alden Ehrenreich), pemuda yang gemar membaca, bangun dari
tidurnya akibat bermimpi tentang seorang gadis misterius. Suatu hari gadis itu
hadir, Lena Duchannes (Alice Englert),
berusia 15 tahun, baru saja pindah ke Gatlin bersama pamannya Macon Ravenwood (Jeremy Irons).
Celakanya telah beredar kabar bahwa keluarga mereka adalah penyembah setan. Hal
tersebut secara otomatis menjadikan Lena sebagai public enemy baru, baik di
lingkungan sekolahnya hingga kehidupan sosial.
Tapi tidak bagi Ethan, yang justru mencoba menjalin
persahabatan dengan Lena. Sayangnya Ethan tidak tahu bahwa gadis yang sedang ia
dekati itu memiliki sebuah potensi yang sangat besar pada kemampuan sihir yang
ia miliki. Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-16, Lena akan resmi menjadi
penyihir. Yang paling di takutkan oleh Lena adalah jika ia sampai di takdirkan
untuk menjadi penyihir jahat. Hal tersebut pula yang menjadi alasan dari
kehadiran sepupunya Ridley Duchannes
(Emmy Rossum), serta ibunya yang telah meninggal Sarafine (Emma Thompson), yang yakin bahwa kekuatan Lena mampu membuat
mereka menguasai dunia.
Saya tidak tahu apakah hal ini pasti dimiliki oleh semua
penikmat film yang mencoba mengulas kembali penilaiannya dalam bentuk tulisan,
namun saya pribadi punya film di tiap genre yang menjadi acuan baik itu
memuaskan dan sebaliknya. Mereka selalu di update mengikuti film keluaran
terbaru, seperti Argo (Thriller), Sinister (Horror), Amour (Romance), hingga The
Perks of being a Wallflower (Coming-of-age). Meskipun begitu ada beberapa
yang tetap tidak berhasil digantikan oleh film keluaran terbaru, dan sejauh ini
juaranya adalah Twilight di kategori
film romance paling tidak memuaskan. Pasti ada film yang lebih jelek, namun
entah mengapa film vampire ini punya kekuatan yang sangat besar untuk membekas
di memori saya.
Memang, target film ini tentu saja kalangan remaja yang
sedang berada dalam tahap awal menemukan jati diri mereka, salah satunya dalam
hal asmara, sehingga mudah untuk tersentuh lewat hal-hal klise sekalipun.
Untungnya, ketika menyaksikannya saya duduk di baris yang tepat berada di
belakang (mungkin) empat remaja putri. It’s like a fate, jadi saya juga punya
objek lain yang menarik untuk diamati, tentu saja respon mereka terhadap film
ini, bukan hal yang lain. Mengejutkan, karena ekspektasi awal saya tidak
terjadi, yang bahkan salah satu dari mereka mengatakan “ini lebih buruk dari
Twilight”. My response: LOL, just that, enough.
Kelemahan utama terletak pada Richard LaGravenese. LaGravenese seperti menggunakan template yang
sama dengan apa yang dipakai oleh Twilight, yang hanya dibedakan dari vampire
yang menjadi penyihir, serta jenis kelamin karakter supranatural yang ia punya.
Sisanya masih sama, bermain dengan fantasi yang kacau dan tidak fokus,
berisikan kiss here, dialog, kiss again, dialog, dan terus berulang sehingga
menciptakan banyak bagian yang tidak penting yang tampak sekedar untuk
memanjangkan cerita. Jujur saja film ini sangat menarik di bagian awal, sangat
menarik. Namun seiring bertambahnya durasi hal tersebut bukan semakin bertambah
melainkan semakin tergerus secara drastis.
Hasilnya, anda akan menemukan banyak adegan yang sangat
sangat konyol dan membosankan, tidak punya power, kaku,dan bertele-tele.
LaGravenese juga mencoba menghadirkan
beberapa karakter yang celakanya tidak memberikan kontribusi yang penting pada
cerita akibat kehadirannya yang terasa seperti sebuah tempelan belaka (terutama
Viola Davis, kecewa) untuk
menggerakkan cerita tanpa sebuah keberhasilan untuk meninggalkan kesan menarik
meskipun dalam skala kecil. Terlalu banyak hal klasik dan klise, yang memang
bukan sebuah hal terlarang untuk dilakukan, namun sayang hal-hal cheesy tadi gagal diubah oleh
LaGravenese menjadi menarik, mencoba lucu dan romantis namun akhirnya berakhir
hambar. Cinta? Pengorbanan? Datar.
Apakah film ini sekacau itu? Ya, kacau, dan bahkan ia tidak
punya sebuah factor-x yang at least mampu membuat penontonnya untuk sedikit
memaafkan semua kekurangan yang ia ciptakan. Menyaksikan film ini seperti masuk
kedalam sebuah taman bermain yang memiliki tampilan yang sudah sangat familiar
dengan arena sejenis, dan bertemu dengan badut-badut lengkap bersama berbagai
atribut yang akan ia gunakan untuk menghibur anda. Mereka melakukan sebuah
pertunjukan dengan cerita yang juga mungkin sudah pernah anda saksikan
sebelumnya. Namun, bukannya sukses mengolah template yang mereka gunakan untuk
menghibur para pengunjungnya dengan memberikan sesuatu yang menarik dan
memorable dalam konteks positif, mereka justru terjebak di pattern yang sama
tanpa sebuah kejutan, sehingga menjadikan anda semakin lama semakin merasa muak
dengan semua hal yang mereka tampilkan.
Nilai positifnya, Beautiful
Creatures punya para pemeran yang mampu menjadikan karakter mereka mencuri
perhatian di beberapa bagian. Mereka cukup berhasil menjadi menarik ketika
bertugas secara individual, dari Alice Englert
dengan batas waktu yang ia miliki, hingga Emmy Rossum yang memberikan impresi
menarik ketika masuk dengan menggunakan BMW merahnya. Mereka rusak ketika
bersatu menjadi sebuah tim, dengan kegagalan utama pada bagian chemistry. Yang
paling parah adalah hubungan antara Ethan dan Lane. Hal positif lainnya adalah cinematography yang baik sehingga tampilan visualnya di beberapa bagian
terasa manis, meskipun langsung terkubur mati ketika berpadu dengan score yang
cukup mengganggu.
Overall, Beautiful
Creatures adalah film yang tidak
memuaskan. Tidak perlu summary, hanya sebuah info bahwa film ini cukup lama
berada di daftar coming soon bioskop di Indonesia, yang akibatnya mengundang
sebuah pertanyaan besar, mengapa? Haha, jika anda ingin menyaksikan film
non-komedi yang mampu mengundang senyum sinis melalui hal-hal klise yang ia
tawarkan, maka Beautiful Creatures adalah pilihan yang sangat tepat, dan ketika
melangkah keluar anda akan tahu jawaban dari pertanyaan tadi.
coba anda baca ya review dari amiratthemoves ama enthusias tentang film ini jg..mereka jarang menyudutkan sebuah film seperti yg anda tulis.
ReplyDelete@toni andres: Terima kasih banyak Toni atas pendapatnya. Point pentingnya sih anda gak bisa membanding-bandingkan setiap blog, apalagi dengan Bung Amir yang sudah expert.
ReplyDeleteSekedar info, setiap orang punya cara mengekspresikan bahagia dan kecewa yang berbeda-beda. Dan saya selalu yakin "respect" adalah kunci utama pribadi yang menarik, salah satunya dari hal terkecil yakni sanggup menghargai dan dapat menerima pendapat orang lain. I don't think have an attitude problem, you have a perception problem. I hope you know what i mean. Cheers. :)
Jujur sih, saya senang baca blog anda..
Deletewell, tiap orang punya pandangan yang berbeda..
Kalo dari beberapa review yang saya beca, mungkin anda berharap lebih pada semua film yang anda tonton..
Tapi bagus kok, kejujuran menilai, daripada review beberapa majalah yang mengagung2kan sebuah film.. yaaa mereka di bayar sih, beda ama kita yang beli.. :D
Great Blog..
Nice. Wajar sih karena ngak semua individu bisa atau mampu membentuk pola pikir dan pemahaman mereka menjadi sedikit terbuka seperti yang anda punya. Pasti ada yang tertutup dan mengandalkan emosi saat menyampaikan opini.
DeleteTapi “berharap lebih pada semua film yang anda tonton” itu salah lho, contohnya ketika pasang ekspektasi rendah, Escape Plan, Malavita, dan terbaru Last Vegas yang “kacau” di Rotten mampu memberikan rasa puas.
Thanks Mathew. :)
Aku suka cara blog ini mereview sebuah film. Di setiap review film-nya Seperti punya semacam runtutan per paragrafnya dari mulai pembukaan, sinopsis, review, kritik, cast, hingga summary, sehingga saya tidak terlalu sulit untuk memahami kata-kata yang jujur saja agak sulit dipahami orang awam seperti saya. Aku juga jadi tahu film-film keren sekelas cannes dan sundance yang sebenarnya tidak terlalu populer di indonesia.
ReplyDeleteAnyway saya setuju dengan review diatas, benar-benar merepresentasikan apa yang saya rasakan ketika menonton film ini. Bahkan menurut saya harusnya nilainya bisa lebih rendah lagi. Nice review, keep update! (maaf baru baca, soalnya baru nonton juga :p)
Thanks Mas Hadi. :)
Delete