22 April 2013

Movie Review: Beautiful Creatures (2013)

 

Everything has a price. Ketika anda mencoba untuk mengikuti cara dari sesuatu yang pernah menuai sukses, maka di sisi lain anda juga harus siap menerima resiko bahwa hal yang akan anda lakukan itu mungkin akan tidak menuai sukses seperti apa yang anda harapkan, apalagi jika anda menggunakan formula yang sama tanpa memberikan sebuah “warna” baru yang memikat sebagai pembeda. Beautiful Creatures? Ciptaan yang indah?

Ethan Wate (Alden Ehrenreich), pemuda yang gemar membaca, bangun dari tidurnya akibat bermimpi tentang seorang gadis misterius. Suatu hari gadis itu hadir, Lena Duchannes (Alice Englert), berusia 15 tahun, baru saja pindah ke Gatlin bersama pamannya Macon Ravenwood (Jeremy Irons). Celakanya telah beredar kabar bahwa keluarga mereka adalah penyembah setan. Hal tersebut secara otomatis menjadikan Lena sebagai public enemy baru, baik di lingkungan sekolahnya hingga kehidupan sosial.

Tapi tidak bagi Ethan, yang justru mencoba menjalin persahabatan dengan Lena. Sayangnya Ethan tidak tahu bahwa gadis yang sedang ia dekati itu memiliki sebuah potensi yang sangat besar pada kemampuan sihir yang ia miliki. Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-16, Lena akan resmi menjadi penyihir. Yang paling di takutkan oleh Lena adalah jika ia sampai di takdirkan untuk menjadi penyihir jahat. Hal tersebut pula yang menjadi alasan dari kehadiran sepupunya Ridley Duchannes (Emmy Rossum), serta ibunya yang telah meninggal Sarafine (Emma Thompson), yang yakin bahwa kekuatan Lena mampu membuat mereka menguasai dunia.


Saya tidak tahu apakah hal ini pasti dimiliki oleh semua penikmat film yang mencoba mengulas kembali penilaiannya dalam bentuk tulisan, namun saya pribadi punya film di tiap genre yang menjadi acuan baik itu memuaskan dan sebaliknya. Mereka selalu di update mengikuti film keluaran terbaru, seperti Argo (Thriller), Sinister (Horror), Amour (Romance), hingga The Perks of being a Wallflower (Coming-of-age). Meskipun begitu ada beberapa yang tetap tidak berhasil digantikan oleh film keluaran terbaru, dan sejauh ini juaranya adalah Twilight di kategori film romance paling tidak memuaskan. Pasti ada film yang lebih jelek, namun entah mengapa film vampire ini punya kekuatan yang sangat besar untuk membekas di memori saya.

Memang, target film ini tentu saja kalangan remaja yang sedang berada dalam tahap awal menemukan jati diri mereka, salah satunya dalam hal asmara, sehingga mudah untuk tersentuh lewat hal-hal klise sekalipun. Untungnya, ketika menyaksikannya saya duduk di baris yang tepat berada di belakang (mungkin) empat remaja putri. It’s like a fate, jadi saya juga punya objek lain yang menarik untuk diamati, tentu saja respon mereka terhadap film ini, bukan hal yang lain. Mengejutkan, karena ekspektasi awal saya tidak terjadi, yang bahkan salah satu dari mereka mengatakan “ini lebih buruk dari Twilight”. My response: LOL, just that, enough.

Kelemahan utama terletak pada Richard LaGravenese. LaGravenese seperti menggunakan template yang sama dengan apa yang dipakai oleh Twilight, yang hanya dibedakan dari vampire yang menjadi penyihir, serta jenis kelamin karakter supranatural yang ia punya. Sisanya masih sama, bermain dengan fantasi yang kacau dan tidak fokus, berisikan kiss here, dialog, kiss again, dialog, dan terus berulang sehingga menciptakan banyak bagian yang tidak penting yang tampak sekedar untuk memanjangkan cerita. Jujur saja film ini sangat menarik di bagian awal, sangat menarik. Namun seiring bertambahnya durasi hal tersebut bukan semakin bertambah melainkan semakin tergerus secara drastis.


Hasilnya, anda akan menemukan banyak adegan yang sangat sangat konyol dan membosankan, tidak punya power, kaku,dan bertele-tele. LaGravenese  juga mencoba menghadirkan beberapa karakter yang celakanya tidak memberikan kontribusi yang penting pada cerita akibat kehadirannya yang terasa seperti sebuah tempelan belaka (terutama Viola Davis, kecewa) untuk menggerakkan cerita tanpa sebuah keberhasilan untuk meninggalkan kesan menarik meskipun dalam skala kecil. Terlalu banyak hal klasik dan klise, yang memang bukan sebuah hal terlarang untuk dilakukan, namun sayang hal-hal cheesy tadi gagal diubah oleh LaGravenese menjadi menarik, mencoba lucu dan romantis namun akhirnya berakhir hambar. Cinta? Pengorbanan? Datar.

Apakah film ini sekacau itu? Ya, kacau, dan bahkan ia tidak punya sebuah factor-x yang at least mampu membuat penontonnya untuk sedikit memaafkan semua kekurangan yang ia ciptakan. Menyaksikan film ini seperti masuk kedalam sebuah taman bermain yang memiliki tampilan yang sudah sangat familiar dengan arena sejenis, dan bertemu dengan badut-badut lengkap bersama berbagai atribut yang akan ia gunakan untuk menghibur anda. Mereka melakukan sebuah pertunjukan dengan cerita yang juga mungkin sudah pernah anda saksikan sebelumnya. Namun, bukannya sukses mengolah template yang mereka gunakan untuk menghibur para pengunjungnya dengan memberikan sesuatu yang menarik dan memorable dalam konteks positif, mereka justru terjebak di pattern yang sama tanpa sebuah kejutan, sehingga menjadikan anda semakin lama semakin merasa muak dengan semua hal yang mereka tampilkan.

Nilai positifnya, Beautiful Creatures punya para pemeran yang mampu menjadikan karakter mereka mencuri perhatian di beberapa bagian. Mereka cukup berhasil menjadi menarik ketika bertugas secara individual, dari Alice Englert dengan batas waktu yang ia miliki, hingga Emmy Rossum yang memberikan impresi menarik ketika masuk dengan menggunakan BMW merahnya. Mereka rusak ketika bersatu menjadi sebuah tim, dengan kegagalan utama pada bagian chemistry. Yang paling parah adalah hubungan antara Ethan dan Lane. Hal positif lainnya adalah cinematography yang baik sehingga tampilan visualnya di beberapa bagian terasa manis, meskipun langsung terkubur mati ketika berpadu dengan score yang cukup mengganggu.


Overall, Beautiful Creatures  adalah film yang tidak memuaskan. Tidak perlu summary, hanya sebuah info bahwa film ini cukup lama berada di daftar coming soon bioskop di Indonesia, yang akibatnya mengundang sebuah pertanyaan besar, mengapa? Haha, jika anda ingin menyaksikan film non-komedi yang mampu mengundang senyum sinis melalui hal-hal klise yang ia tawarkan, maka Beautiful Creatures adalah pilihan yang sangat tepat, dan ketika melangkah keluar anda akan tahu jawaban dari pertanyaan tadi.



6 comments :

  1. coba anda baca ya review dari amiratthemoves ama enthusias tentang film ini jg..mereka jarang menyudutkan sebuah film seperti yg anda tulis.

    ReplyDelete
  2. @toni andres: Terima kasih banyak Toni atas pendapatnya. Point pentingnya sih anda gak bisa membanding-bandingkan setiap blog, apalagi dengan Bung Amir yang sudah expert.

    Sekedar info, setiap orang punya cara mengekspresikan bahagia dan kecewa yang berbeda-beda. Dan saya selalu yakin "respect" adalah kunci utama pribadi yang menarik, salah satunya dari hal terkecil yakni sanggup menghargai dan dapat menerima pendapat orang lain. I don't think have an attitude problem, you have a perception problem. I hope you know what i mean. Cheers. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jujur sih, saya senang baca blog anda..
      well, tiap orang punya pandangan yang berbeda..
      Kalo dari beberapa review yang saya beca, mungkin anda berharap lebih pada semua film yang anda tonton..
      Tapi bagus kok, kejujuran menilai, daripada review beberapa majalah yang mengagung2kan sebuah film.. yaaa mereka di bayar sih, beda ama kita yang beli.. :D
      Great Blog..

      Delete
    2. Nice. Wajar sih karena ngak semua individu bisa atau mampu membentuk pola pikir dan pemahaman mereka menjadi sedikit terbuka seperti yang anda punya. Pasti ada yang tertutup dan mengandalkan emosi saat menyampaikan opini.

      Tapi “berharap lebih pada semua film yang anda tonton” itu salah lho, contohnya ketika pasang ekspektasi rendah, Escape Plan, Malavita, dan terbaru Last Vegas yang “kacau” di Rotten mampu memberikan rasa puas.

      Thanks Mathew. :)

      Delete
  3. Aku suka cara blog ini mereview sebuah film. Di setiap review film-nya Seperti punya semacam runtutan per paragrafnya dari mulai pembukaan, sinopsis, review, kritik, cast, hingga summary, sehingga saya tidak terlalu sulit untuk memahami kata-kata yang jujur saja agak sulit dipahami orang awam seperti saya. Aku juga jadi tahu film-film keren sekelas cannes dan sundance yang sebenarnya tidak terlalu populer di indonesia.

    Anyway saya setuju dengan review diatas, benar-benar merepresentasikan apa yang saya rasakan ketika menonton film ini. Bahkan menurut saya harusnya nilainya bisa lebih rendah lagi. Nice review, keep update! (maaf baru baca, soalnya baru nonton juga :p)

    ReplyDelete