Sebuah pukulan keras dan telak yang mendarat di wajah anda
pasti akan terasa sangat menyakitkan, awalnya. Namun luka itu punya batasan
waktu dalam kehadirannya menemani anda, yang dengan teknologi terkini bahkan
mungkin dapat hilang tanpa meninggalkan jejak kehancuran sama sekali. Tapi itu
tidak akan terjadi pada sebuah pukulan keras dan telak yang menghujam sisi
psikologis anda, karena ia akan menetap di memori yang tidak bisa dihapus
semudah menekan Ctrl+D dan tombol delete.
Alejandra (Tessa Ía González), seorang gadis berusia 17 tahun yang sedang
berada dalam tahap menuju dewasa, bersama ayahnya, Roberto (Hernán Mendoza) pindah dari Puerto Vallarta ke Mexico
City. Alasan utama kepindahan mereka memang adalah karena ayahnya yang
berprofesi sebagai chef akan bekerja di sebuah restoran baru, namun disamping
itu mereka juga sedang mencoba lari dari sebuah kisah kelam. Dengan cepat
Alejandra mulai beradaptasi di lingkungan barunya, memperoleh lima orang teman
baru yang friendly sehingga
menjadikannya merasa seperti berada dilingkungan yang tidak asing baginya.
Sayang, hal itu justru bertolak belakang dengan hubungan
Alejandra dengan ayahnya, tidak akrab dan bahkan mungkin terlalu dingin. Hal
yang tidak seharusnya dimiliki dalam hubungan orang tua dan anak itu membawa
masalah bagi mereka. Roberto masih terus berada dibawah bayang-bayang tragedi
yang merenggut nyawa istrinya, Lucia, sedangkan Alejandra justru terjebak
terlalu jauh dalam lingkungan barunya yang ternyata tidak sesuai ekspektasi
awalnya, alih-alih untuk membantu dirinya keluar dari masa lalu kelam, namun
justru membawanya kedalam bullying yang mengerikan.
Sedikit skeptis dibagian awal, saya terkejut dengan apa yang
diberikan oleh After Lucia seiring durasi
yang terus berjalan. Mungkin ini juga banyak dialami oleh penontonnya, dimana
ia berjalan pelan dan memberikan konflik yang masih sangat luas sehingga
menghadirkan pertanyaan apa yang hendak film ini berikan. Ya, di awal ia
seperti masih bermain di zona antara terang dan gelap, memberikan anda situasi
tenang yang awkward, kemudian sisi terang melalui kisah seorang siswa baru. Hal
tersebut semakin bertambah besar dengan penggunaan kamera statis yang Michael Franco terapkan, menjadikan anda
seolah merasa ikut terjebak bersama Alejandra dan memberikan ruang bagi
penonton untuk menilai sendiri secara objektif.
Ini menyedihkan, After
Lucia sebenarnya adalah film yang menyedihkan. Seorang ayah dan anak
perempuannya yang sudah di temani beban dari masa lalu mereka, justru
mendapatkan permasalahan baru yang jelas bukan menjadi tujuan utama dari
kepindahan mereka. Michael Franco cermat dalam membagi porsi dari konflik yang
ingin ia berikan, dan menempatkannya dalam sebuah alur cerita yang sempit namun
sangat efektif dalam menggambarkan kehancuran yang karakter alami. Keputusan
yang paling menarik adalah bagaimana ia memberikan tekanan psikis terhadap
Alejandra secara perlahan, sehingga memberikan waktu yang luas bagi para
penontonnya untuk meresapi besarnya beban yang dialami Alejandra.
Tidak tahu faktor x apa yang tiba-tiba menghampiri, saya
perlahan mulai merasa mellow dalam memberikan respon pada cerita yang
dihadirkan oleh Franco. Ya, Franco sukses membawa saya seolah menjadi pihak
yang punya ikatan kasih sayang dengan Alejandra, baik sebagai seorang ayah,
saudara, sahabat, hingga pacar. Rasa sakit itu terasa sangat kentara, bagaimana ketika anda tidak mengetahui fakta bahwa anak/saudara/pacar anda di bully dengan
sangat kejam tanpa memberikan respon apapun. Saya sendiri heran mengapa saya
bisa begitu terjebak dengan karakter Alejandra, dimana pada beberapa bagian
saya bahkan memalingkan wajah karena tidak mampu menyaksikan penyiksaan psikis
yang ia alami.
Seperti yang saya singgung diawal, After Lucia seperti sebuah
pertunjukkan yang menawarkan banyak ambiguitas pada pesan yang ingin ia
sampaikan. Apakah ia ingin menunjukkan akibat dari hubungan orang tua dan
anaknya yang tidak terjalin dengan baik? Apakah ia ingin menunjukkan hukuman
yang merupakan dampak dari sebuah keputusan bodoh? Atau apakah ia ingin memberi
tahu penontonnya bahwa mereka tidak mungkin bisa lari dari memori kelam di masa
lalu? Hal-hal tadi terus berputar bersama penantian akan hal buruk yang bahkan
sudah diantisipasi.
Franco punya cerita yang sempit namun kuat, dan ia juga
tampak sangat percaya diri dalam mengontrol narasi dan membentuk elemen-elemen
intimidasi tanpa terasa terlalu memaksakan agar para penontonnya harus mengerti
apa yang ingin ia berikan. Ia seperti melemparkan masalah, hukuman, dan rasa
putus asa dalam sebuah kesatuan dan mempersilahkan penontonnya untuk memberi
penilaian mereka masing-masing. Banyak ruang yang tersedia buat penonton untuk
melakukan itu, karena disamping penjelasan yang singkat dan padat, pilihannya dalam menggunakan kamera yang diam dan fokus juga ikut memberikan kontribusi yang signifikan.
Kekecewaan yang saya rasakan dari film ini terletak pada cara
ia menutup semua hal mengganggu yang telah ia hadirkan sebelumnya. Masih
ambigu, dimana pertanyaan-pertanyaan tadi seperti tertinggal tanpa sebuah jawaban
tunggal yang kuat. Mungkin terlihat bijaksana, dimana ia seperti ingin memutus
rantai kekerasan dengan cara yang simple, namun simpati yang telah saya taruh
pada Alejandra, dan semua penyiksaan psikis yang ia alami menjadikan saya
menginginkan sesuatu yang lebih kejam sebagai bentuk pembalasan ketimbang apa
yang Franco berikan.
Tessa Ía González adalah bintang baru yang menjanjikan. Tessa
mampu membentuk Alejandra menjadi karakter yang dengan mudah menarik perhatian
dan simpati penontonnya. Begitupula dengan ekspresi yang ia tampilkan dalam
menghadapi bully, hingga ketegaran dalam menahan tekanan. Hernán Mendoza sukses menjalankan perannya sebagai tokoh
pendamping yang menjadi sumber dari masalah utama. Sedangkan para pemeran teman
dari Alejandra menjadi sebuah kelompok yang sanggup menghadirkan kekejaman dari
sebuah tekanan psikis.
Overall, After Lucia
adalah film yang memuaskan. Jujur saja film ini tidak megah, namun Michael Franco sanggup menghadirkan
sebuah kisah heartbreaking yang berani dan tegas dengan cara yang sederhana dan
bekerja dengan efektif. Meskipun dipenuhi ambiguitas, dampak yang diberikan
film ini sangat besar dan bahkan mungkin dapat bertahan lama di memori para
penontonnya. After Lucia seperti
sebuah alarm yang coba menyadarkan kembali anda betapa pentingnya komunikasi
dalam kehidupan kita. Sayang ini adalah studi karakter yang segmented, love it or hate
it.
0 komentar :
Post a Comment