Seiring berkembangnya zaman ke arah yang semakin modern, pola
berpikir manusia juga ikut mengalami pergerakan yang cukup signifikan dimana
dengan pola pikir modern yang terbuka mereka semakin dapat menerima sesuatu
yang jika ditilik dalam sudut pandang normal adalah sebuah hal yang sangat
aneh. Hal-hal yang dulu dianggap tidak mampu untuk menggambarkan hubungan
romansa antara dua insan, kini seolah menjadi sebuah lahan empuk yang memiliki
potensi untuk dieksplorasi. Kali ini, kisah cinta manusia normal dengan manusia
serigala.
Kim Soon-Yi (Lee Young-lan), wanita tua yang kini tinggal di Amerika,
menerima sebuah panggilan telepon dari Korea yang ternyata memberitahukan bahwa
rumah miliknya akan dijual. Ia kembali, dengan niat untuk menuntaskan hal
tersebut, namun ternyata justru terjerat dalam kisah masa lalunya. 47 tahun
yang lalu, Soon-Yi (Park Bo-Young),
seorang gadis pendiam yang karena penyakit paru-paru yang di deritanya menjadi
sulit untuk bergaul, bahkan ibunya (Jang
Yeong-Na), memutuskan agar Soon-Yi belajar sendiri di rumah, dan memilih
untuk pindah ke sebuah rumah di desa terpencil yang dibelikan oleh Ji-Tae (Yoo Yeon-Seok), anak rekan dari
almarhum suaminya, seorang pria yang ternyata menyukai Soon-Yi.
Rasa nyaman dan aman dari tempat baru mereka berubah seketika
dengan kehadiran seorang pria yang bertingkah layaknya seekor serigala. Karena
berbagai kendala pada masalah administrasi yang ribet (ya, ternyata Korea juga
pernah mengalami apa yang Indonesia miliki saat ini), ibu Soon-Yi memutuskan untuk
merawat pria yang awalnya dianggap sebagai salah satu dari 60.000 anak
terlantar korban perang Korea itu, dan kemudian ia beri nama Chul-Soo (Song Joong-Ki). Soon-Yi, yang
awalnya menganggap Chul-Soo sebagai "masalah", justru perlahan mulai
berubah berkat kehadiran Chul-Soo, yang bahkan membawa ia keluar dari rasa putus asa yang selama ini
dideritanya.
Manusia dengan vampire,
manusia dengan zombie, dan kali ini
manusia dengan seekor serigala yang hidup dalam rupa seorang pria yang bahkan
tidak bisa berbicara, dan akan menerima perintah layaknya seekor anjing
peliharaan. Sebuah premis yang menarik dari Jo
Sung-hee, dimana ia menaruh seorang wanita muda dengan berbagai
permasalahan yang harus ia hadapi dan terima, dan memasukkan sebuah karakter
yang cukup ekstrim untuk “menyelamatkan” kehidupan wanita tersebut. Ya, jujur
memang tidak begitu megah dan terkesan sedikit mellow, namun script yang
ditulis oleh Jo Sung-hee terasa solid.
Ya, saya suka cara Jo
Sung-hee memainkan tempo dari cerita, dimana ia mampu mengkontrol beberapa
proses yang punya potensi untuk membosankan justru tampil menarik, salah
satunya dengan menghadirkan dua shocking moment yang bekerja dengan sangat
baik. Begitupula dengan beberapa sub plot yang digambarkan dengan singkat dan
jelas, tidak menutupi konflik utama, namun berhasil terus menghadirkan
pertanyaan sehingga menciptakan sebuah destinasi akhir. Contohnya seperti
pertanyaan dari mana Chul-Soo
berasal, bagaimana bisa ia menjadi seekor serigala, itu terus berputar di
pikiran sembari ikut mempertanyakan bagaimana cara Jo Sung-hee akan mengakhiri
semuanya.
Film yang mengangkat tema romance dengan menggunakan dua
karakter yang salah satunya tidak “normal” punya peluang untuk menjadi hancur
di akhir cerita. Ya, anda tentu tidak ingin menerima sebuah ending yang konyol
dan bodoh sebagai ganjaran atas kesempatan dan toleransi yang anda berikan
kepada mereka untuk menampilkan kisah yang kurang masuk akal. Hebatnya, A Werewolf Boy tidak memiliki hal
tersebut. Memang ia tidak punya “magic” dan tidak berakhir sesuai ekspektasi
mayoritas penonton seperti apa yang diberikan oleh Warm Bodies, namun A Werewolf Boy justru punya sebuah ending yang
pintar, dalam artian dia tetap mampu membuat anda merasakan kekuatan cinta dari
dua karakter utamanya, dan tidak dipaksa yang mungkin akan menjadikannya tampak
bodoh.
A Werewolf Boy adalah film yang memberikan berbagai elemen
ceritanya dalam kapasitas yang tepat. Kuncinya terletak pada keputusan Jo
Sung-hee untuk menjadikan karakter Chul-Soo nyaris tidak berbicara sepanjang
film. Lebih banyak diam, dan memanfaatkan gerak tubuh serta ekspresi wajah
untuk menggambarkan maksud yang ingin ia sampaikan, justru menjadikan cerita
yang berputar disekitar Chul-Soo menjadi hidup. Momen lucu dan menyenangkan
dihantarkan dengan baik dan manis, kisah cinta malu-malu mampu membuat saya
ikut tersenyum, serta tensi dari pertikaian sengit di paruh akhir cerita dapat
terasa dengan baik dan tetap stabil, semua dibalut oleh cinematography yang
apik dengan palet warna yang terasa lembut di mata.
Kelemahan film ini, dan kekecewaan yang saya rasakan, adalah
keputusannya untuk bermain dalam lingkup yang aman. Ada beberapa bagian yang
sebenarnya dapat di tekan lebih kuat dan dalam sehingga mungkin mampu tampil
memukau, namun justru dihadirkan sesuai pattern yang telah ia bangun sejak
awal. Ya, mungkin jika dua shocking
moment itu tidak hadir, atau bahkan jika mereka tidak bekerja dengan baik,
film ini akan berakhir datar, karena meskipun punya tempo cerita yang relatif
stabil, mereka punya potensi untuk membosankan bagi beberapa kalangan penonton.
Mungkin itu adalah semacam pertaruhan yang dilakukan oleh Jo Sung-hee, dan
untungnya hal tersebut mampu menutupi kekurangan minor tadi.
Dua pemeran utama mampu menghadirkan performa yang (lagi)
berada dalam level yang aman. Mereka mampu menaikkan tensi cerita yang diawal
sedikit membosankan itu, lewat kisah-kisah yang mereka punya secara individu
dan juga tim. Song Joong-ki memang
tampil apik lewat ekspresi wajah dan gerak tubuhnya yang menghidupkan karakter
manusia serigala tersebut, membuat saya sedikit tidak percaya bahwa pria yang
dahulu saya saksikan berlari kesana kemari di variety Running Man itu ternyata
punya kualitas akting yang tidak dapat dianggap remeh. Ya, saya tidak
menyaksikan drama Korea, dan di A Frozen
Flower kesempatan yang ia punya juga terbatas. Tapi, bukan karena saya
pria, justru bagi saya Park Bo-Young
punya kontribusi yang sedikit lebih banyak dibandingkan Joong-ki, karena
perannya yang seolah menjadi jembatan pemersatu berbagai konflik yang film ini
miliki, meskipun tidak sekeren ketika ia bermain di Speedy Scandal.
Overall, A Werewolf Boy (Neukdae Sonyeon) adalah film yang menyenangkan. Ini
adalah film yang berada dalam level aman, sejak awal tampak
memilih untuk bermain aman dan ternyata itu terus berlanjut hingga akhir.
Jelas sebuah keputusan yang tepat, lagipula ia juga
punya dua pemeran utama yang memiliki daya tarik yang baik serta cerita juga terasa cukup menarik. Meskipun kurang memiliki emosi yang kuat film ini tetap berhasil menyajikan sebuah kisah tentang kekuatan cinta dengan cara yang menghibur dan menyenangkan.
0 komentar :
Post a Comment