Tiga bulan pertama di tahun 2013 ini anda akan menemukan tiga film yang
diangkat dari dongeng yang telah terkenal. Hansel
& Gretel: Witch Hunters mengawalinya di bulan januari, kemudian disusul
Jack the Giant Slayer yang hadir di
awal bulan maret, dan kini dilanjutkan oleh Oz:
the Great and Powerful. Terlepas dari tujuan utama mereka yang mungkin saja
berbeda-beda, menciptakan sebuah saga baru demi menciptakan lahan baru untuk
meraup keuntungan besar pasti selalu menjadi pertimbangan utama. Berhasilkah
itu dilakukan oleh Oz?
Oscar Zoroaster Phadrig Isaac Norman Henkel
Emmannuel Ambroise Diggs,
atau yang lebih akrab dipanggil Oz (James
Franco), sebut saja dia seorang magician ketimbang melabelinya sebagai
penyihir, tetap gigih membangun usahanya dengan menggelar pertunjukkan keliling
meskipun ia terus diangap sebagai seorang penipu. Tapi faktanya memang begitu,
Oz hanya memiliki trik untuk melakukan apa yang kita sebut sulap, bukan
penyihir yang memang memiliki kekuatan gaib. Hal tersebut pula yang menyebabkan
ia dihampiri masalah yang menyerang camp pertunjukkan miliknya, dan semakin
naas lagi ketika sebuah tornado dahsyat menyerang, membawa Oz yang saat itu
berusaha kabur menggunakan sebuah balon udara.
Hasilnya, Oz terdampar ke Land of
Oz, sebuah negeri pernuh warna yang justru ketika itu sedang dibawah
kekuasaan Ratu penyihir jahat. Ia bertemu Theodora
(Mila Kunis), yang percaya bahwa Oz adalah penyelamat yang dikirimkan dari
langit karena memilki nama yang sama dengan negeri tersebut. Theodora, bersama
kakaknya Evanora (Rachel Weisz),
beserta seluruh rakyat Land of Oz, menyambut kedatangan Oz dan mulai percaya
bahwa negeri mereka dapat bebas. Namun ternyata semua berubah karena Glinda (Michelle Williams), seorang
penyihir wanita yang baik, dengan sebuah fakta yang bertolak belakang dengan
cerita dari Evanora dan Theodora.
Masih sama dengan dua kompatriotnya yang telah terlebih dahulu hadir, Oz: the Great and Powerful masih
mempertahankan ciri khas sebuah film fairytale, premis yang simple dan mudah
dimengerti (premis diatas sebenarnya simple, mungkin saya yang terlalu
berlebihan dalam menceritakannya), dibungkus dengan permainan visual yang mampu
menghibur imajinasi penontonnya. Sepintas memang terkesan murahan dan dangkal,
karena pada umumnya premis simple yang mereka usung akan menjadi tampak bodoh
bagi beberapa orang karena menawarkan hal-hal yang terlalu berlebihan.
Ya, ini dongeng, dan anda harus siap dengan segala hal bodoh yang bahkan
dapat dengan mudah dapat anda tolak karena bertentangan dengan logika anda.
Terasa kurang bijak dan terkesan lucu jika anda mengharapkan sesuatu yang lebih
serius dari sebuah fairytale, mengharapkan ia mengaduk-aduk anda dengan
permainan unsur horror dan thriller yang cerdas? Ya, anda yang kurang cerdas.
Oz the Great and Powerful memiliki tipe
yang sama dengan Jack the Giant Slayer , ingin membawa penontonnya
bersenang-senang tanpa beban yang berat.
Diadaptasi dari novel karya L.
Frank Baum, film ini seperti berupaya untuk menghidupkan kembali apa yang
telah dilakukan pendahulunya lebih dari 70 tahun yang lalu. Saya tidak
menyaksikan filmnya yang rilis tahun 1939, saya juga tidak membaca novelnya,
namun dari cara Sam Raimi membuka
petualangan ini dapat dengan mudah untuk menerka hal tadi. Unik, Raimi
menghadirkan layar rasio 4:3 berwarna hitam dan putih yang berhasil membuat
saya bertanya, “dimana semua permainan penuh warna itu?”. Ya, itu berlangsung
selama kurang lebih 20 menit, berhasil sedikit membuat frustasi, tapi setelah
itu semuanya keindahan yang telah ia simpan itu dihadirkan.
Sejujurnya bagi saya Oz: the Great
and Powerful adalah film fantasi yang pure mengandalkan tampilan visual
untuk menghibur penontonnya. Benar, screenplay
yang disusun oleh David Lindsay-Abaire
dan Mitchell Kapner sangat jatuh
nilainya dimata saya. Memang, seperti yang saya bahas tadi anda harus siap
menerima hal-hal bodoh, dan film ini masih berada dalam batas toleransi. Tapi
celakanya susunan cerita yang ia miliki tidak mampu mengundang rasa penasaran,
dimana soul yang dimiliki film ini tidak mampu untuk muncul dengan gagah
kepermukaan. Jika Jack the Giant Slayer mampu membuat saya ikut berfantasi
melalui ceritanya, Oz tidak mampu melakukan itu.
Raimi memang mampu menghandle elemen-elemen teknis yang memberikan rasa
puas. Kualitas visual dengan warna yang impresif, kostum yang indah, cinematography yang mumpuni, CGI yang cukup apik, dibalut rapi dengan kualitas 3D yang fantastis, semakin menambah nilai
plus, harus rela upaya mereka terasa kurang berguna karena faktor non-teknis
yang kurang begitu padu. Tempo naik dan turun yang ia terapkan kurang begitu
berhasil bagi saya, yang bahkan sempat beberapa kali memejamkan mata karena
merasa bosan. Durasinya terlalu lama karena dibumbui adegan-adegan kurang
berguna yang cenderung terasa klise.
Yang paling mengecewakan berasal dari jajaran cast miliknya. Oz the
Great and Powerful adalah milik James
Franco. Franco memang mampu menunjukkan kepada anda ciri khas dari
karakternya yang penuh tipu daya serta sedikit angkuh dan sombong dibalik
kemampuannya yang tidak istimewa itu terasa sangat sangat pure. LOL. Senyum cheesy milik Franco oke, begitupula
ketika ia memanfaatkan Finley (Zach
Braff), monyet bersayap yang kemudian menjadi assisten-nya, sebagai objek
penderita dengan segala joke yang ia lemparkan. Yang tidak ia miliki adalah
daya tarik. Saya justru lebih tertarik pada tiga karakter pendukung.
Nah, disini kekecewaan itu semakin menumpuk. Terlalu fokus pada James
Franco, Raimi justru tampak menjadikan kualitas dari tiga pemeran wanita
pendukung (yang bahkan menurut saya masih lebih baik dari pemeran utamanya)
yang ia punya terbuang percuma. Peran mereka pada cerita memang besar, namun
terasa dibatasi dan tidak digali lebih dalam oleh Raimi. Kecewa memang, karena
daya tarik utama film ini bagi saya adalah dua aktris favorit saya, Rachel Weisz dan Michelle Williams. Chemistry tiga wanita ini terasa kaku tanpa
kehadiran Oz. Ya, mungkin ia takut jika nantinya karakter Oz justru akan
tenggelam jika ia mencoba memberikan porsi cerita yang sedikit lebih besar
kepada tiga pemeran pendukungnya.
Overall, Oz the Great and Powerful
adalah film yang cukup memuaskan. Ya, bolehlah sebagai hiburan untuk sekedar
menghabiskan waktu sambil menyantap popcorn dan segelas cola. Film ini ibarat
sebuah pesta penuh warna yang ingin memanjakan mata para penontonnya sembari
berupaya mengajak mereka ikut berfantasi bersama dongeng yang sudah sangat tua
ini. Sangat menarik dari segi visual ($200 juta itu tidak sia-sia), sayang kurang diimbangi dengan cara ia
menyampaikan cerita sehingga tidak mampu membuat saya ikut berfantasi lebih
jauh bersamanya. Sebagai sebuah pondasi awal bagi film keduanya, Oz the Great
and Powerful cukup berhasil memperkenalkan Oz kepada penontonnya, ya hanya memperkenalkan, karena jika tanpa bantuan tampilan visualnya film ini terasa datar.
James Franco was wonderful and subtle as the flawed Professor Oz. The story (and I am a HUGE Wizard of Oz fan) was great back story to the story we all know by heart. The visual effects and costumes were just right. Very entertaining. :)
ReplyDelete@Daniel Benny Simanjuntak: Tiga wanita pendukung menjadikan Franco terasa biasa bagi saya. Sama halnya dengan screenplay, kurang punya unsur magic yang justru lebih banyak diberikan sektor visual. :)
ReplyDelete