Millenium Series adalah sebuah kesuksesan dari Stieg Larsson,
dan itu pula yang menjadikan Yellow Bird langsung mengadaptasi tiga novel
tersebut kedalam bentuk film yang bahkan dirilis ditahun yang sama, 2009. Ini
adalah bagian pertamanya, The Girl with
the Dragon Tattoo, yang dibawah kendali Niels
Arden Oplev berhasil membuat saya menyadari mengapa film adaptasinya itu
akhirnya berhasil mendapatkan lima nominasi Oscar.
Mikael (Michael Nyqvist), seorang jurnalis di majalah Millennium, tersandung masalah yang
bahkan ia yakini tidak pernah ia lakukan. Kasus tersebut dengan cepat merusak
reputasi Mikael yang dianggap sebagai salah satu jurnalis paling berani dalam
menulis artikel, terancam denda hingga hukuman tiga bulan penjara. Bak sebuah
celah yang dapat dimanfaatkan, Henrik
Vanger (Sven-Bertil Taube), seorang pensiunan kaya raya yang merupakan CEO
dari Vanger Corporation, mengundang
Mikael secara khusus ke kediamannya.
Jelas ada sebuah alasan dibalik undangan mendadak tersebut,
dimana Mikael diminta oleh Henry untuk menyelidiki kasus menyangkut salah satu
keponakan yang paling ia cintai, Harriet, yang hilang secara misterius ketika
sebuah kecelakaan menutup jalur akses utama menuju pulau itu. MIkael dijanjikan
sebuah bantuan besar dalam tuduhan yang sedang menimpanya jika ia mau menerima
tawaran tersebut. Terdengar mudah, namun kasus tersebut terjadi ditahun 1966,
lebih dari tiga dekade yang lalu. Hal tersebut semakin runyam dengan
keterlibatan Lisbeth Salander (Noomi
Rapace), wanita dengan gaya gelap, akrab dengan tindik dan tatto, seorang
hacker yang awalnya ditugasi oleh Milton Security untuk menyelidiki Mikael,
namun justru ikut terjebak dalam sebuah serial killer bersama Mikael.
Akhirnya sebuah keinginan yang telah sejak lama saya tetapkan
itu mendapatkan kesempatan untuk terwujud. Millenium
Series, mungkin tidak semegah Harry Potter, namun merupakan salah satu
trilogi yang sangat saya gemari. Membaca tiga buku karya Steig Larsson itu
ibarat berada dialam nyata dengan saya sebagai Mikael. Ya, trilogi ini memiliki
kekuatan untuk membawa pembacanya ikut berfantasi bersamanya. Tentu saja itu
tidak mudah karena ia punya cerita yang kompleks, bahkan jauh lebih kompleks
dibandingkan The Hunger Games trilogi.
Premis diawal tadi memang sengaja saya tulis agar terkesan
simple, karena saya justru merasa terlalu sayang untuk mengumbar terlalu jauh
detail yang film ini miliki. Yep, kerumitan yang ia punya justru menjadi daya
tarik novel pertama ini. Niels Arden Opley yang bertugas sebagai sutradara
harus berterima kasih pada Nikolaj Arcel
dan Rasmus Heisterberg. Dua jempol
untuk mereka berdua karena mampu menciptakan screenplay yang terasa sangat
ringan, mampu membangun konflik dengan jelas, solid, dan efektif. Tentu tidak
mudah untuk menerjemahkan ratusan lembar itu menjadi naskah solid dengan durasi
152 menit. Ya, saya bahkan dengan mudah kembali mengingat apa yang pernah saya
baca lebih dari setahun yang lalu.
Apa yang menjadi kekuatan utama film ini adalah atmosfir
thriller yang ia miliki. Sejak awal, dimana konflik masih terasa kecil, film
ini sudah memiliki nuansa gelap pada cerita. Semua semakin menyenangkan ketika
ia secara perlahan mulai menyuntikkan konflik-konflik lainnya yang semakin
mempertebal atmosfir thriller yang ia miliki. Tidak tahu apakah unsur thriller
itu terbentuk dengan sendirinya atau tidak, namun Niels Arden Opley terasa
lebih memfokuskan diri pada alur cerita film ini. Jika anda telah membaca
novelnya, anda kan merasa puas dengan screenplay yang film ini miliki, dan cara
screenplay itu diolah. Tidak banyak momen yang terbuang sia-sia, masing-masing
punya tanggung jawab, dan berhasil dihantarkan dengan baik.
Tempo yang terjaga dengan baik, misteri yang tetap ditutup
dengan apik (ya, meskipun saya sudah tahu jalan ceritanya dari novel dan juga
film adaptasinya itu), mampu menciptakan lingkungan cerita yang seolah membuka
pintu lebar kepada penontonnya untuk masuk kedalam dan bergabung bersama
mereka, berjalan bersama memecahkan misteri layaknya detektif. Tanpa disadari
anda akan ikut mencoba memecahkan masalah yang ia tebar melalui clue-clue yang
ditempatkan dengan baik.
Memang, selalu ada konflik apakah sebaiknya menyaksikan
terlebih dahulu filmnya, atau membaca novelnya. Itu adalah pilihan yang harus
dipilih dengan resiko akan kurang memuaskan pada opsi yang tidak terpilih,
karena anda sudah tahu jalan ceritanya. Namun The Girl with the Dragon Tattoo
ternyata tetap mampu mengunci saya untuk 152 menit walaupun saya sudah tahu
elemen ceritanya. Sulit untuk menentukan apa sebab pastinya, karena diawal saya
hanya ingin menyaksikan film ini sebagai pembanding dengan adaptasinya itu,
tapi pada akhirnya justru semakin menaruh perhatian secara intens padanya.
The Girl with the Dragon Tattoo ibarat sebuah proses yang dibangun dengan
penuh perasaan. Ceritanya fokus, tidak terkesan dipaksakan, elemen misteri,
thriller, dan crime juga berhasil diberikan komposisi yang berimbang. Semua
dibungkus dengan cinematography yang apik, disuntikkan secara perlahan sehingga
memberikan penontonnya momen untuk mencerna cerita, terus menumpuk hingga
berakhir dengan sebuah rasa puas dengan kadar yang pas.
Niels Arden Opley bekerja dengan efektif, Nikolaj Arcel dan
Rasmus Heisterberg juga sukses menerjemahkan novel kedalam layar dengan
apik,namun Michael Nyqvist dan Noomi Rapace adalah kunci utamanya.
Kedua karakter yang mereka mainkan memang kurang begitu memiliki waktu untuk
menunjukkan chemistry mereka, namun secara individual keduanya sukses membangun
karakter mereka sehingga punya daya tarik yang kuat, namun tidak saling
menjatuhkan. Ketika tampil masing-masing, keduanya mampu menjadikan cerita yang
mereka emban terasa hidup, dan jika kesempatan bersatu itu tiba mereka mampu
menyatu dengan baik.
Overall, The Girl with
the Dragon Tattoo (Män som hatar kvinnor) adalah film yang memuaskan. Sudah
membaca novelnya? Sudah menontonnya film adaptasinya yang berbahasa Inggris?
Tenang, film ini tetap mampu menghipnotis anda unutk berjalan bersamanya
meskipun anda sudah tahu semua informasi yang ia miliki. The Girl with the Dragon
Tattoo tetap bertumpu pada novel yang menjadi pondasinya, sehingga apa yang
hasilkan adalah sebuah film yang ceritanya dibangun dengan rapid an solid.
0 komentar :
Post a Comment