Seperti yang kita ketahui, The Girl with the Dragon Tattoo tidak diakhiri dengan cara yang
biasa. Ia memang sukses membongkar semua misteri yang dengan rapi telah
dibangun sejak awal, dan menghadirkan sebuah penyelesaian yang solid dan jelas.
Namun ada sebuah adegan yang sangat memorable di akhir cerita, ketika terjadi
sebuah kasus dengan bukti berupa gambar cctv seorang wanita menggunakan wig blonde
yang diduga menjadi dalang dari kasus tersebut. Dia adalah Lisbeth Salander,
wanita yang ternyata bukan hanya memiliki tattoo, melainkan juga gemar bermain
dengan api, bermain dengan masalah.
Setelah setahun berlibur dan menikmati uang yang ia peroleh, Lisbeth (Noomi Rapace) memutuskan
kembali ke Stockholm untuk memulai kehidupan yang lebih damai, menyewa
apartemen dan tinggal bersama kekasih wanitanya, Miriam Wu (Yasmine Garbi). Tapi, ketika ia mencoba melakukan
hacking ke akun bank miliknya, Lisbeth menemukan bahwa Bjurman (Peter Andersson), guardian-nya, telah menggunakan uang
miliknya untuk melakukan operasi menghapus tattoo yang Lisbeth ciptakan di
perut nya. Tidak tinggal diam, Lisbeth memutuskan untuk memberikan peringatan
kepada Bjurman. Ya, hanya peringatan, namun anehnya Bjurman justru tewas dengan
peluru di kepalanya.
Di sisi lain Mikael
Blomkvist (Michael Nyqvist) yang tidak tahu Lisbeth berada dimana,
mendapatkan seorang partner baru bernama Dag
Svensson (Hans Christian Thulin), jurnalis muda yang bersama kekasihnya Mia
sedang melakukan sebuah research yang mereka beri nama "From Russia with Love". Research
tersebut membahas mengenai sex trafficking serta kekerasan pada gadis di bawah
umur di Swedia. Celakanya, nyawa mereka hilang ketika hendak berlibur, dan
meninggalkan Mikael dengan petunjuk seorang bernama Zala. Tidak semudah itu, karena jenis peluru pada insiden Dag dan
Bjurman ternyata sama, yang mengakibatkan sasaran utama yang langsung terkunci,
Lisbeth Salander.
Berganti nahkoda ke dalam kendali Daniel Alfredson, begitupula dengan screenplay yang kali ini
ditulis oleh Ulf Rydberg, cita rasa
film adaptasi kedua dari novel karya Stieg Larsson ini juga mengalami perubahan
dalam skala minor. Cerita justru terasa berjalan lebih cepat bagi saya jika
dibandingkan dengan pendahulunya, namun dengan tempo yang tetap stabil serta
tensi cerita yang diatur dengan baik. Namun sebuah resiko yang sejak awal telah
diantisipasi akhirnya terjadi, yang secara garis besar langsung mempengaruhi
keseluruhan film.
Ya, tidak ada yang salah dalam teknik penceritaan yang
digunakan oleh Alfredson, dimana ia mampu mengkontrol film ini menjauhi potensi
menjadi rusak karena statusnya sebagai lanjutan dari kisah yang sebelumnya
pernah dibangun. Hubungan sebab akibat tertata dengan rapi, berhasil mengulas
kembali kisah di film pertama yang mampu kembali mengingatkan penontonnya
secara garis besar. Misterinya juga tetap berhasil terjaga, dengan beberapa
clue yang cantik dan mungkin akan berhasil terus menghadirkan pertanyaan bagi
penonton yang tidak membaca novelnya.
Yang menjadi kekurangan film ini, sesuatu yang memang tidak
bisa di ubah bagaimanapun caranya, adalah terpisahnya dua karakter utama
sepanjang cerita. Tidak seperti film pertama dimana mereka bekerja secara tim
yang sering bersama, kali ini Lisbeth dan Mikael terpisah sepanjang film, dan
bekerja secara individu. Alfredson tidak berhasil menjadikan ikatan antar dua
karakter ini tetap terjalin meskipun mereka terpisah, kondisi dimana anda
mengingat Lisbeth, ketika sedang menyaksikan Mikael, dan vice versa. Mereka
memang sangat baik secara individu, menjadikan masalah yang mereka selidiki
menjadi menarik, sulit ditebak, dan tetap mampu menciptakan ruang bagi anda
untuk seolah ikut berjalan bersama mereka.
Hal tersebut berdampak pada semakin kuatnya citra film ini
sebagai lanjutan dari film pertamanya. The
Girl Who Played with Fire secara utuh layaknya sebuah jembatan yang
menghubungkan dua pulau, film pertama dan film terakhirnya. Cukup kecewa,
karena ketika membaca novelnya saya masih dapat merasakan sebuah cerita yang
mampu berdiri sendiri meskipun tetap mengandung berbagai unsur dari novel
pertama, dan itu tidak tampak dari film ini. Ya ya, film adalah film, dan novel
adalah novel, namun bukan sebuah dosa jika setiap orang punya sebuah keinginan
yang berbeda-beda, termasuk saya yang diawal mengharapkan The Girl Who Played
with Fire dapat berdiri dengan kokoh.
Tidak buruk memang, dimana unsur crime dan misteri tetap
mampu berpadu meskipun dua karakternya tidak bersama. Screenplay yang ia punya juga baik, dimana selalu menghadirkan
bagian cerita yang efektif dan berfungsi pada keseluruhan cerita. The Girl Who
Played with Fire punya nilai yang tidak dapat sejajar dengan pendahulunya,
namun di film ini saya justru merasa karakter Lisbeth mengalami perkembangan
yang sangat signifikan, mampu menaikkan daya tarik yang telah ia ciptakan di
awal. Dampak dari terpisahnya mereka, Nyqvist jatuh ke posisi kedua, akibat
penampilan apik dari Noomi Rapace dimana ia lebih berhasil
dalam menarik minat penonton kepada misteri yang ia emban.
Overall, The Girl Who
Played with Fire (Flickan som lekte med elden) adalah film yang memuaskan.
Mungkin semua penjelasan saya tadi memberikan kesan bahwa film ini tidaklah
begitu menarik, namun itu hanyalah bentuk kekesalan saya karena ia justru
tampil benar-benar layaknya jembatan penghubung antara film pertama dan ketiga.
Memang mengalami penurunan jika dibandingkan film pertamanya, namun jika
ditilik sebagai sebuah paket film ini tetap mampu menerjemahkan semua cerita
novel tersebut dengan baik, jelas, dengan kadar misteri yang tetap memikat. Noomi Rapace tampil lebih ringan dan
lebih baik serta lebih menarik dari film pertamanya.
0 komentar :
Post a Comment