Seorang wanita muda, tidak pernah melakukan hubungan seks, secara tiba-tiba membuat sebuah pernyataan mengejutkan, ia hamil karena Rock n’ Roll!!
LOL, itu jelas salah satu premis paling konyol yang pernah saya baca. Namun
tidak dapat di pungkiri jika pertanyaan yang film ini coba lempar kepada
penontonnya akan menjadikan anda bertanya, “hal apa yang ingin disampaikan film
ini?”, hamil karena mendengarkan music dari sebuah tape recorder, bahkan sampai
menjuluki Electrick Children tersebut
sebagai Son of God.
Rachel (Julia Garner), berasal dari keluarga Mormon yang sangat fundamental, di usianya yang ke-15 tahun menemukan sebuah kaset berwarna biru
berisikan musik rock yang belum pernah ia dengar di lingkungan keluarganya yang
sangat fanatik terhadap agama. Kaset itu
ternyata memberikan sebuah pengalaman baru baginya. Namun celakanya hal
tersebut justru membawa ia ke sebuah pernyataan menggemparkan, dimana ia
mengatakan bahwa ia telah hamil karena mendengarkan musik dari kaset tersebut.
Berawal dari rasa ingin tahunya pada alat tape recorder yang berada dibawah kendali abangnya Mr. Will (Liam Aiken), pada malam hari
Rachel menyelinap kedalam gudang, tempat tape recorder itu disimpan. Namun ia tertangkap basah oleh Will, yang
kemudian memaksanya untuk mengembalikan kaset tersebut. Tapi celakanya
perdebatan mereka justru dinilai berbeda oleh Gay Lynn (Cynthia Watros), ibu mereka, dan ketika pernyataan dari
Rachel itu muncul, Will secara otomatis dianggap sebagai tersangka oleh
Paul (Billy Zane), ayah mereka, yang
langsung menyusun rencana pernikahan bagi Rachel dengan orang lain. Tekanan itu
membuat Rachel memutuskan untuk kabur, menuju Las Vegas untuk menemukan penyanyi dalam kaset tersebut, yang dia sebut sebagai ayah dari anak yang ia kandung.
Rebecca Thomas memberikan sebuah paket hiburan yang cukup
mengejutkan di debutnya sebagai sutradara. Wanita muda ini pintar dalam
mengolah cerita yang ia susun sendiri itu dengan memanfaatkan potensi
yang dimiliki setiap elemen cerita. Ia punya premis yang kontroversial, ia juga
punya pesan yang mungkin tidak kalah kontroversial, tapi Electrick Children justru menjadikan penontonnya untuk ikut merasakan
apa yang kita sebut kebebasan, dengan cara meruntuhkan hal-hal kuno yang
mungkin sangat memuakkan bagi beberapa orang.
Ya, ini bukan fim yang dapat diterima oleh semua orang. Jika anda adalah
seorang yang fanatic terhadap semua aturan alam yang telah tercipta, termasuk
didalamnya adalah agama, maka Electrick Children akan menjadi paket konyol bagi
anda. Rebecca Thomas tidak menaruh target pada kalangan tersebut, karena apa
yang ia ingin berikan di 96 menit kehadiran film ini adalah sebuah kenikmatan
bagi anda yang memiliki pola pikir terbuka, mau menerima hal-hal baru tanpa
tersiksa pada jeratan semua aturan yang diciptakan para pendahulu yang justru
menjadikan anda seorang fanatic yang tertutup.
Electrick Children adalah film
yang unik. Disamping premis konyol yang ia punya, Rebecca Thomas justru
menjadikan film ini sebagai bentuk protes kepada semua hal-hal kuno yang mulai
terasa ketinggalan jaman, dan mengajak anda semakin terbuka dengan menawarkan
sebuah konsep yang sebenarnya cukup mengganggu dengan sentilan manis dari tema
kecil seperti agama, hingga kultur sosial. Ya, ini mengapa tadi saya mengatakan
kaum fanatik sulit untuk menerima film ini karena meskipun disuntikkan secara
tersirat dan lembut, pesan yang ia ingin sampaikan justru mungkin akan terasa
berat.
Rebecca Thomas tampak sangat memahami bagaimana cara membentuk serta
mengeksploitasi kondisi pada cerita, mengkombinasi beberapa plot misterius yang cukup
menjengkelkan, tapi tetap memberikan output yang memiliki pesona menarik.
Thomas juga dapat dikatakan memiliki tingkat
keberanian yang layak diacungi jempol, menggunakan proses coming-of-age
yang belum stabil untuk mendorong sebuah premis misterius yang jika dicermati
seolah menjadi sebuah pertanyaan pada apa yang Tuhan kerjakan kepada umatnya.
Diawal film ini membuat anda menilai ia konyol, namun kemudian mengejutkan
dengan banyak plot-plot kontroversial. Tapi, Electrick Children justru mampu
membuat pertanyaan utama yang ia usung tidak menjadi beban bagi penontonnya.
Sangat tenang, pelan namun pasti semua coba ia uraikan tanpa mengurangi rasa
penasaran. Menempatkan Rachel sebagai narator juga menjadi sebuah keputusan
brilliant, karena selain mampu menggambarkan kondisi yang tercipta, Rachel juga
sukses membuat saya terpaku, dan merasa melangkah lebih jauh dan lebih dalam
bersamanya.
Saya tidak menemukan sebuah jawaban kuat yang dihasilkan film ini
(mungkin saya kurang teliti), karena pesan yang ia ingin sampaikan secara
merata ia sebar pada proses ketika ia menuju garis akhir. Cukup sulit untuk
menemukan pesan kecil tersebut, karena ia sukses menjadikan fokus anda tertuju
pada karakter Rachel sehingga
pertanyaan-pertanyaan skala kecil yang ia lemparkan ke penonton kurang mampu
untuk mencuri perhatian. Nah, kembali, Rebecca Thomas cermat dalam hal ini.
Setelah sempat mencuri perhatian di Martha
Marcy May Marlene, Julia Garner
membuktikan ia layak mendapatkan kesempatan menjadi pemeran utama dengan
karakternya Rachel. Diawal ia tampak konyol, namun rasa percaya diri yang
tinggi tidak pernah sirna darinya. Perjuangan yang ia bangun sebagai sebuah
pembuktian juga terbentuk dengan rapi. Garner sukses menjadi bintang utama di
film ini. Kemudian ada Rory Culkin,
yang berperan sebagai Clyde, kenalan baru Rachel, mampu sedikit mengimbangi
Garner dengan chemistry menarik diantara keduanya meskipun tidak begitu kuat. Liam Aiken dan Billy Zane mampu menjadi scene stealer di beberapa bagian, namun
sayang harus tertutupi porsi kecil yang mereka miliki.
Overall, Electrick Children
adalah film yang memuaskan. Bukan film yang megah, namun Rebecca Thomas sukses menghadirkan hiburan bagi anda yang mampu
berpikiran terbuka terhadap hal-hal baru. Electrick Children seperti sebuah
paket yang sengaja membuat calon penonton menganggapnya konyol dan bodoh, namun
kemudian menghentak mereka dengan memutar balikkan semua persepsi buruk tadi.
Visualnya indah, musiknya asik, tapi yang paling memorable adalah keunikan pada
cara ia menyampaikan pesannya, dan juga menuntun anda ke garis akhir.
0 komentar :
Post a Comment