The
Croods dapat dikatakan menjadi kelinci percobaan dari Dreamworks Animation, sekaligus film
yang membuka jalan untuk mewujudkan ambisi mereka. Daftar panjang film yang
telah menanti untuk dirilis dalam tiga tahun kedepan memaksa studio ini untuk merubah
pattern yang selalu menjadi favorit mereka (mungkin juga karena kerjasama baru dengan 20th Century Fox), merilis film pertama di tahun
tersebut pada kisaran bulan mei hingga juli, dan merilis film berikutnya di
paruh kedua. Antara menjadi seperti How
to Train Your Dragon, atau Madagascar.
Are you really need to see this?
Eep
(Emma Stone), seorang wanita muda yang dapat
dikatakan memiliki pemikiran yang modern, meskipun ia hidup di jaman batu,
memiliki keinginan untuk meruntuhkan semua aturan kuno yang telah diterapkan
oleh ayahnya, Grug (Nicolas Cage). Aturan-aturan
tersebut dirasakan layaknya sebuah tali yang mengikat jiwa bebas yang dimiliki.
Eep harus terus berada disekitar keluarganya, menjalani keseharian bersama
ibunya Ugga (Catherine Keener), saudara laki-lakinya Thunk (Clark Duke), adik perempuannya Sandy (Randy Thom), dan Gran (Cloris Leachman), sang nenek.
Harus selalu bersama,
dan sudah berada didalam gua ketika cahaya mulai menghilang, justru menjadikan
rasa ingin tahu dari Eep semakin besar. Suatu malam ia melihat sebuah cahaya
dari luar gua, dan memutuskan untuk mencari tahu sumber cahaya tersebut.
Celakanya, ia bertemu Guy (Ryan Reynolds),
pria muda yang lebih pintar dari Eep, yang kemudian menjadi subjek mencurigakan
bagi Eep dan keluarganya karena mereka yakin hanya mereka yang masih hidup di
lingkungan tersebut. Namun, Guy seolah menjadi seorang messenger bagi keluarga
The Croods, karena ia memberitahu bahwa bumi akan mengalami kiamat, dan sudah
saatnya mencari tempat baru.
Apa yang menjadi daya
tarik The Croods? Bagi saya jawabnya
adalah Dreamworks itu sendiri. Andai saja premis yang Chris Sanders dan Kirk
DeMicco tulis ini di terjemahkan kedalam bentuk visual oleh studio animasi
yang kurang terkenal, saya pasti tidak akan menontonnya. Ya, film ini punya sinopsis yang sebenarnya kurang begitu menarik, yang bahkan sudah dapat dengan
mudah anda prediksi bagaimana cara ia berjalan. Sebuah keluarga, dengan satu
karakter utama yang diberikan tugas menjadi pahlawan, bersama mencoba meraih
sebuah target, dan mengemban tugas untuk menghantarkan berbagai pelajaran
ketika proses menuju akhir itu berlangsung.
Namun lagi, dan masih
sama, hal itu masih eksis, sebuah kekurangan yang masih belum mampu diberikan
oleh Dreamworks
Animation secara stabil dalam setiap film animasi yang ia rilis. Hal
konvensional tentu saja masih memiliki kesempatan untuk dapat menjadi menarik
tergantung pada cara ia dibentuk dan disampaikan. Disamping daya tariknya yang
harus diakui terkesan cukup standard, The
Croods sebenarnya punya potensi untuk dapat menjadi film animasi yang
memorable dalam konteks positif. Sayangnya, semua potensi itu terbuang percuma
karena Chris Sanders dan Kirk DeMicco tidak mampu membuat ruang
bagi penontonnya untuk mencoba berjalan bersama karakter, dan merasakan
permainan emosi yang sebenarnya sudah punya pondasi kuat dengan penggunaan unsur
keluarga pada cerita.
The Croods adalah film
animasi yang segmented, dalam konteks
cara ia menyampaikan cerita. Jika anda adalah salah satu dari sekian banyak
penonton yang menyukai Madagascar, saya jamin film ini akan sangat menghibur
anda. Ya, dia memberi tahu kepada anda sebuah kasus yang akan dihadapi, dan
membawa anda berjalan lurus menuju garis akhir. Ya, lurus, awal, masuk ke
proses, dan menemukan sebuah garis finish. Menggunakan resep yang sama,
menyelipkan banyak humor konyol pada cerita, yang juga menjadi alasan kenapa ia
punya banyak karakter yang digunakan sebagai bahan penyampaian joke yang ia
miliki. Berhasilkah? Tidak. Imbas dari status mereka yang hanya sebagai pion
tanpa coba di eksplor lebih jauh oleh Chris Sanders dan Kirk DeMicco, banyak,
bahkan sangat banyak joke yang mereka berikan berakhir hambar, sama datarnya
dengan permainan emosional yang mereka ciptakan.
Lantas apa nilai postif
The Croods? Masih sama dengan banyak film animasi sekarang ini, visual. Ya, bagi saya visual yang dimiliki film ini masuk dalam kategori indah.
Mungkin mereka sadar akan menciptakan ruang besar pada elemen cerita, sehingga
Chris Sanders dan Kirk DeMicco mencoba menutupi hal tersebut dengan tampilan
visual yang menghibur. Bahkan mayoritas dari humor yang bekerja disampaikan
lewat kinerja tampilan visual yang memikat, yang juga menjadi awal dari
keputusan saya melabeli film ini sebagai saudara tiri Madagascar, sangat kurang
mumpuni dalam teknik penceritaan, namun sangat menghibur lewat tampilan visual
yang ia sajikan. Ya, depth dan cukup cerah, The Croods wajib ditonton dalam
format 3D.
Nilai postitif
berikutnya adalah kinerja dari para pengisi suara. Meskipun tidak dieksplor
terlalu dalam dan seperti dibatasi, karakter dalam film ini mampu menjadikan
penontonnya merasakan mereka seperti karakter yang memiliki jiwa. Tiga yang
terbaik adalah Emma Stone, Nicolas
Cage, dan Ryan Reynolds. Sangat suka
pada cara Emma Stone memainkan Eep, dimana ia tampak tidak mencoba untuk
menjadi orang lain, sehingga mendengar Eep layaknya mendengar Emma dalam bentuk
nyata. Tidak punya ciri khas? Ah, tidak penting, karena tanpa eksperimen
berlebihan justru Eep dapat hidup dan tampil memikat. Nicolas Cage sukses mendorong karakternya ke posisi terdepan berkat
suara yang sangat berkarakter. Sedangkan
Reynolds lebih kepada keberhasilannya menjadikan karakter Guy untuk mencuri
perhatian disetiap kesempatan yang ia miliki.
Overall, The Croods adalah film yang cukup
memuaskan. Tampilan visualnya memang indah, namun masih kurang mampu untuk
menutupi semua nilai minus yang ia ciptakan dari elemen cerita. Memang benar,
sasaran utamanya adalah kalangan keluarga. Ceritanya tidak berat, ditambah
tampilan visualnya yang sangat memikat, The Croods pasti mampu menghibur anda
yang mengharapkan sebuah film animasi yang ringan di semua elemennya. Indah dari segi visual, cukup datar
dari teknik penceritaan.
0 komentar :
Post a Comment