God gives us what we need, not what we want. Salah satunya adalah masalah, sesuatu yang
mayoritas dari kita pasti tidak senang untuk menerimanya. Namun dia ternyata
telah menjadi bagian dari cara sang pencipta membentuk umatnya, semakin percaya
kepada-Nya, atau mungkin bahkan menyelamatkan jiwa lainnya untuk masuk ke dalam
jalan menuju kehidupan yang Ia ajarkan. Namun semua rasa percaya pada-Nya itu
dapat menciptakan sebuah masalah pada mereka yang hanya berpikiran satu arah.
Alina (Cristina Flutur), datang ke biara di sebuah bukit yang bahkan
tidak mendapatkan aliran listrik, untuk menemui sahabat lamanya ketika masih
sekolah,Voichita (Cosmina Stratan).
Tujuan utama Alina adalah untuk meminta bantuan Voichita agar menolongnya
kembali ke Jerman, mendapatkan kembali pekerjaan disana, namun meminta Voichita
untuk ikut bersamanya. Sayangnya Voichita ternyata telah berubah, menjadi
seorang biarawati yang sangat taat pada agama, dan juga pada pemimpin biara
yang mereka sebut Father (Valeriu
Andriuta).
Hal tersebut semakin membuat Alina merasa frustasi, karena ia
justru merasa seolah menjadi orang yang sangat kotor dimata para penghuni
biara. Bahkan Voichita yang menolak tawarannya untuk kabur meminta Alina untuk
bergabung menjadi anggota biara, dalam upaya untuk membawa Alina ke jalan yang
benar. Dari sifat Voichita yang telah berubah, diminta untuk mengakui dosa,
ditambah tekanan mental yang selama ini terus menghantuinya, Alina meledak dan
akhirnya melakukan pemberontakkan yang merepotkan semua penghuni biara, sebuah
pemberontakkan yang ia sebut berasal dari sebuah suara yang terus memberi tahu
ia apa yang harus dilakukan.
Banyak pelajaran tentang agama yang disebarkan film ini,
memang terkesan segmented, namun Beyond
The Hills justru mengemas materi tersebut dengan sudut pandang yang sangat
umum meskipun ia memakai agama Katolik sebagai media utama ia berbicara. Tidak
terasa fanatisme yang kental, namun justru akan membawa anda kembali menyadari
bagaimana seharusnya cara hidup yang "benar" menurut sang pencipta
lewat sindiran-sindiran halus dan tajam yang ia tampilkan disetiap dialog.
Tapi itu hanyalah pondasi awal yang film ini miliki, karena
tujuan utama film ini tentu bukan untuk menyebarkan ajaran agama, melainkan
menggunakannya sebagai perantara untuk membawa penontonnya menuju pada
pemahaman yang selalu di ajarkan semua agama, yaitu percaya pada sang pencipta,
namun menggoyang prinsip tersebut dengan banyak pertanyaan yang halus namun
menghujam. Film ini seperti mempertanyakan ajaran agama lewat Alina, dimana apakah
hanya agama yang dapat membawa anda kedalam keselamatan? Ya, saya pernah
mendapatkan mata kuliah umum yang membahas masalah ini, dan saya sangat suka
ketika pertanyaan itu muncul.
Bukan berarti saya, dan mungkin banyak orang lain yang
berpikiran sama, tidak percaya pada Tuhan dan juga agama yang merupakan media
yang Tuhan sediakan. Namun jika seorang yang percaya pada-Nya namun selalu
berbuat jahat, sedangkan disisi lain seorang atheis yang tidak percaya Tuhan
namun selalu berbuat baik, siapa yang lebih layak mendapatkan tempat yang indah
di alam baka? Ini yang saya suka dari cara Cristian
Mungiu mengembangkan pertanyaan tersebut dengan memanfaatkan sebuah kisah
nyata yang terjadi tahun 2005 silam itu. Mungiu membuat film ini berjalan
pelan, membentuk konflik utama dari yang awalnya kecil menjadi semakin besar,
dan menyuntikkan pertanyaan-pertanyaan penuh provokasi yang diselipkan secara
implicit lewat dialog-dialog panjang.
Ini film yang mengasyikkan, bahkan sudah terlihat dari
perpaduan premisnya yang berani dengan judulnya sendiri yang secara tersirat
seperti sebuah petunjuk pada penontonnya akan sesuatu yang tersimpan dibalik
sebuah hal besar yang telah lama seolah menjadi aturan kuat yang tidak
berani untuk dibantah. Melemparkan dua ideologi untuk bertarung diarena utama,
di ekplorasi dengan pertanyaan yang kontroversial, berjalan pelan dan semakin
membuat penontonnya merasa ngeri berbalut sembari terus bertanya, dan ditutup
dengan cara yang mengejutkan namun sukses membuat mata mereka yang mungkin
sangat fanatik menjadi sadar dan bertanya apakah "media" itu selalu
benar?
Memang tampak sederhana, tapi dengan memanfaatkan cerita yang
tersusun dengan rapi, Beyond The Hills
justru sanggup meninggalkan impresi yang dalam ketika ia berakhir dengan sebuah
layar kosong berwarna hitam. Apa yang Mungiu berikan, ketika ia dengan sabar
membawa anda masuk kedalam sebuah kisah mengerikan, menjerat anda dengan
berbagai provokasi yang dibalut nuansa gelap, secara konstan meningkatkan tensi
cerita, sehingga layar kosong di akhir cerita tadi sukses memberikan waktu bagi
penontonnya untuk mengolah semua pertanyaan yang telah ia berikan.
Ceritanya kuat, cinematography yang ia punya juga mumpuni,
tapi Cosmina Stratan dan Cristina Flutur adalah dua dalang yang menjadikan film
ini mampu mengalir tanpa hambatan. Mereka berdua punya kekuatan yang sama,
mampu menjadikan saya terus menanti aksi yang akan mereka lakukan. Flutur
dengan Alina yang terus menghadirkan pertanyaan dari tujuan utama dari semua
kekacauan yang ia ciptakan, apakah benar ada roh lain yang menemaninya, ataukah
ia hanyalah wanita muda yang tertekan secara mental. Stratan dengan Voichita
yang tampak kuat diawal, tapi mulai goyah seiring berjalannya waktu.
Overall, Beyond The
Hills adalah film yang memuaskan. Sederhana, baik dari tampilan teknis
maupun premis cerita. Semua menjadi menarik karena Mungiu tahu meletakkan porsi
dari tiap konflik pendukung yang ia punya, baik dari Alina yang dianggap gila,
Voichita yang tampak berada di pihak netral, hingga Father yang bersama
penghuni biara terus berpegang teguh pada ajaran yang mereka anut. Film ini
ibarat sebuah pelajaran menggunakan dua ideologi yang bertarung untuk
memperoleh sebuah pembuktian yang mereka ingin sampaikan. Jika anda suka dengan
pertanyaan utama yang ia lempar, anda akan mudah menikmati semua yang ia
berikan.
0 komentar :
Post a Comment