Mungkin akan terasa
aneh bagi mereka yang telah menyaksikannya, namun bagi saya Wuthering Heights
adalah pilihan yang paling tepat untuk mengisi slot terakhir yang mengemban tugas mengakhiri rangkaian
empat film bertemakan cinta dan kasih sayang yang telah saya hadirkan beberapa
hari terakhir dalam rangka menutup bulan februari, bulan yang sudah sangat
familiar dengan julukannya sebagai bulan kasih sayang (meskipun saya kurang
setuju dengan hal itu). Ya, film ini tampaknya memang sederhana, namun Wuthering Heights menggambarkan dengan jelas apa yang kita sebut
dengan the power of love.
Tahun 1700-an, Heathcliff (Solomon Glave), remaja
berkulit hitam yang tersesat di kawasan Moor,
Yorkshire, mengalami keajaiban ketika ia bertemu dengan Earnshaw (Paul Hilton), yang kemudian
mengajak Heathcliff untuk menginap di rumah sederhana miliknya. Namun
sayangnya, keluarga Earnshaw kurang senang dengan keputusan yang diambilnya,
dengan alasan utama karena Heathcliff adalah ras kulit hitam, yang bahkan tidak
diketahui asal usulnya dari mana. Heathcliff diterima dengan terpaksa oleh
anggota keluarga lainnya, terutama oleh Hindley
(Lee Shaw), anak sulung Earnshaw, yang menganggap Heathcliff sebagai budak,
dan tidak pernah takut untuk mengumpatnya dengan kata berawalan N yang tabu
itu.
Tapi Catherine (Shannon Beer), yang sering
dipanggil Cathy, tidak melakukan hal kasar yang dilakukan oleh abangnya kepada
Heathcliff. Cathy justru menganggap Heathcliff seperti saudaranya sendiri.
Mereka semakin akrab seiring kegemaran mereka yang ternyata sama, berkeliaran
bebas di kawasan Moor yang terbentang luas, kabur dari tugas mereka dan memilih untuk bermain lumpur bersama, hingga menikmati
angin yang berhembus kencang diatas sebuah batu yang besar. Tapi, hal tersebut
justru menjadikan rasa kasih sayang mereka berubah arah menuju pada cinta eros, yang akhirnya membawa masalah pada mereka.
Yak, saya tidak membaca
novel dengan judul yang sama karya Emily Brontë, novel yang menjadi pondasi
awal film ini. Apa yang menjadikan saya tertarik pada film ini adalah Andrea Arnold, dengan factor lainnya
adalah Kaya Scodelario (I’m still
loving you Effy Stonem). Hanya satu
karya Andrea Arnold yang saya saksikan, Fish
Tank, dan film itu membuktikan anda tidak perlu menyaksikan banyak film
dari seorang sutradara untuk membuat anda jatuh cinta padanya. Wuthering Heights memiliki hal-hal yang
menjadi identitas dari seorang Andrea Arnold. Anda diberikan konflik utama yang
kuat dan sangat fokus, tidak pernah diberikan konflik pendukung yang
mengganggu, terus diajak bermain dengan rasa penasaran, hingga diakhir cerita
kembali diberikan dua opsi, seperti apa yang Andrea lakukan pada Fish Tank.
Wuthering Heights adalah
film yang segmented, sangat segmented
malah. Alasan utamanya adalah ia menggunakan cara yang kurang begitu umum untuk
memaparkan cerita dan pesan yang ia punya. Dialog yang sangat minim di satu jam
pertama, hanya memanfaatkan tampilan visual indah yang mungkin akan terasa
berlebihan dan aneh, namun sangat berhasil membuat penontonnya untuk merasakan
kekuatan yang dimiliki oleh cinta, semua berkat Shannon Beer dan Solomon Glave. Anda akan
dibuat bertanya-tanya oleh Andrea Arnold, pilihan mana yang menurut
anda terbaik untuk mereka.
Mungkin ia bergerak
dengan pelan, dan akan menciptakan rasa bosan jika anda mulai kehilangan fokus.
Tapi hal itu tidak akan terjadi jika anda sejak awal sudah merasakan sesuatu
yang menjanjikan dari film ini. Ya, diawal saya merasa film ini akan berakhir
datar, namun semakin jauh ia berjalan semakin besar pula harapan pada film
ini. Dengan plot ceritanya yang tersusun rapi, cara penyampaiannya yang sedikit
abstrak, dibalut oleh cinematography
yang didominasi tampilan alam yang menenangkan, sudah cukup bagi Andrea Arnold
untuk menggambarkan pada anda semua pesan, ya, semua pesan yang ingin ia
sampaikan, karena penggambaran yang sangat mudah meskipun diberikan secara
implisit itu menjadikan cerita terasa sangat fokus.
Walaupun memiliki unsur
keluarga, ditambah kekerasan yang terwakili lewat sikap brutal yang mungkin cukup frontal (terbukti dengan penggunaan kata kasar serta kekerasan
pada beberapa hewan yang cukup berani), anda tidak akan bisa melupakan kisah
cinta antara Heathcliff dan Cathy, bahkan untuk sejenak. Kisah cinta mereka
sangat kuat, bahkan tetap terasa ketika Heathcliff
(James Howson) dan Cathy (Kaya
Scodelario) yang telah dewasa mulai mengambil alih paruh kedua. Ya ya,
meskipun akan terasa aneh karena tampilan wajah muda dan tua yang terasa kurang
pas, namun tidak memberikan dampak sedikitpun pada daya tarik cerita yang telah
dibangun.
Disamping peran Andrea,
dan beberapa pemeran lainnya, kesuksesan film ini terletak pada Solomon Glave
dan Shannon Beer. Mereka yang membawa film ini melewati masa kritis diawal
cerita, masa dimana mereka wajib menjadikan kisah cinta itu untuk setidaknya
memiliki daya tarik. Mereka pula yang menjadikan karakter Heathcliff dan Cathy
menjadi sangat mudah untuk dicintai, terasa real dengan chemistry yang kuat,
sehingga menjadikan saya ikut merasa senang dan waspada berjalan bersama mereka
dengan kisah yang secara perlahan dibangun oleh Andrea. Kaya Scodelario dan Howson memang mampu meneruskan tongkat estafet
yang diberikan pada mereka, namun semua itu berkat pondasi kokoh yang telah
diciptakan pasangan sebelumnya, Solomon dan Shannon.
Overall, Wuthering Heights adalah film yang
memuaskan. Memang tidak semegah apa yang diberikan oleh Amour, namun dengan caranya yang berani Andrea Arnold sukses mengajak saya untuk merasa sangat dekat pada
sebuah konflik yang terus dibumbui oleh sukacita dan rasa waspada secara
bergantian. Film yang segmented, memerlukan kondisi yang baik saat
menyaksikannya, hanya menuntut anda untuk sabar, dan akan berakhir menyenangkan
jika anda dapat menerima “cara” ia dalam menyampaikan cerita. Film yang indah.
Boleh minta link buat download filmnya gak?!
ReplyDelete