Lebih dari satu dan
setengah dekade yang lalu, Romeo dan Juliet hadir membawakan kisah cinta yang
terhalang oleh hubungan kurang harmonis yang dimiliki oleh kedua keluarga
mereka. Namun zaman sudah berubah ke era yang jauh lebih modern, dimana hal-hal
klasik seperti itu akan cukup sulit untuk dapat “mempermainkan” perasaan
penontonnya agar dapat terpenjara dalam kisah mereka. Terobosan baru itu
muncul, kali ini Juliet tetap sebagai seorang manusia, namun Romeo adalah
seorang zombie.
Zombie
apocalypse itu benar terjadi, dan menyebabkan sebuah area
harus dikurung secara paksa dengan dikelilingi pagar tinggi untuk memproteksi
penduduk. Tokoh utamanya adalah R
(Nicholas Hoult), yang bersama teman dekatnya M (Rob Corddry) dan zombie-zombie lainnya (yang jumlahnya tidak
terhitung) mencoba untuk bertahan hidup dengan memangsa siapa saja manusia yang
masuk ke wilayah mereka, meskipun disisi lain mereka juga terus waspada
terhadap musuh lain yang berada diwilayah itu, sekumpulan monster tengkorak
yang mereka sebut Boney.
Suatu ketika, Julie Grigio (Teresa Palmer), bersama
pacarnya Perry Kelvin (Dave Franco),
teman karibnya Nora (Analeigh Tipton)
beserta beberapa anggota lainnya membentuk sebuah tim yang ditugasi oleh Ayah
Julie, Kolonel Grigio (John Malkovich),
untuk mengemban misi yang terdengar sedikit konyol, mengambil persediaan medis
yang tersimpan disuatu tempat didalam wilayah berbahaya tersebut. Hal konyol
itu terbukti benar, dimana mereka diserang oleh R beserta kelompoknya, yang
mengakibatkan Julie terjebak diwilayah itu. Tapi, anehnya, Julie justru di
selamatkan oleh R dari ancaman teman-temannya, dengan alasan yang klasik,
cinta.
Bukan berarti kuno,
namun sukses atau tidaknya hal klasik itu memang tergantung tingkat keunikan
pada cara penyampaian yang digunakan. Jonathan
Levine, kembali melakukan apa yang pernah ia berikan kepada 50/50, premis dan sinopsis yang terasa aneh,
dibalut dengan kisah cinta yang simple, kuat, dan menyentuh, namun tidak lupa
untuk menyelipkan bumbu-bumbu keajaiban yang mampu diterima dengan mudah tanpa
menyebabkan penontonnya terlalu mempermasalahkan hal tersebut.
Ya, saya adalah salah
satu dari mereka yang sedikit underestimate
terhadap film ini. Alasan utamanya mungkin karena tema yang ia angkat, zombie,
dan semakin ditambah dengan label romance didalamnya. Apa yang terpikirkan oleh
saya? Ya, another twilight wannabe, dengan kisah cinta tak logis yang
berlebihan, tidak mampu menyentuh baik dari cerita bahkan lewat pesan yang ia
emban. Tapi, Warm Bodies ternyata
jauh dari ekspektasi saya tersebut, yang bahkan membuat saya sedikit malu telah
menganggap remeh film ini pada awalnya.
Jonathan Levine kembali
membuktikan keberanian yang ia miliki. Mengadaptasi kisah dari novel karya Isaac Marion, Warm Bodies bisa jadi
merupakan sebuah gambling yang dilakukan oleh Levine. Ya, Juliet di transfer
kedalam tubuh wanita petarung, serta Romeo pada seorang zombie. Itu aneh, namun
berani dan sangat sangat menarik. Mungkin akan lebih banyak mereka yang menilai
film ini akan berakhir menjadi rom-com lemah yang hanya mampu memberikan
penontonnya kisah yang cheesy. Jika salah satu dari mereka adalah anda,
sebaiknya segera kurangi opini tersebut, karena Warm Bodies justru tampil
mengejutkan dengan diwarnai banyak kejutan yang efektif.
Memang terkesan terlalu
ringan dan simple, tapi Levine tahu cara mengolah hal simple, ringan, aneh, dan
bla bla bla itu menjadi sebuah paket tontonan yang menarik, mudah untuk
diterima, namun selalu ingat dengan pesan yang ia ingin sampaikan. Yap, cara
penyampaian script yang digunakan oleh Levine ternyata bekerja dengan efektif,
dan paling terlihat dengan jelas pada rasa takut akan hadirnya kisah asmara
berlebihan yang justru tak diberikan kesempatan untuk hadir.
Well, saya, dan mungkin
banyak penonton di studio tadi, suka pada kisah romance yang ditawarkan film
ini, mampu mengaduk imajinasi tanpa terasa menggelikan. Kunci sukses untuk
menikmati film ini adalah jika anda sejak awal mencoba untuk tidak terlalu
pusing dengan semua keanehan yang Jonathan Levine selipkan. Jika itu berhasil,
maka anda akan menikmati film ini, terjadi juga pada saya, yang bahkan selalu
menaruh cerita sebagai fokus utama.
Warm Bodies juga punya
kekuatan pada cara ia menyelipkan clue-clue yang sangat membantu dalam proses
penceritaan, terutama semua hal yang berkaitan dengan zombie. Singkat memang,
namun hubungan sebab-akibat tersebut justru menciptakan rasa penasaran yang
semakin besar pada proses yang ia bangun. Yep, sebuah proses yang menurut saya
cukup menyenangkan (meskipun ada bagian yang terasa terlalu di push sehingga
berakhir aneh). Tempo yang dihasilkan sangat sangat baik, dengan berani
menciptakan momen berdua antara R dan Julie berbalut alunan-alunan music yang
merdu, tapi tetap mampu mengembalikan pace kembali keatas.
Sama seperti ceritanya
yang aneh, saya juga terkejut dan aneh kenapa pada akhirnya saya bisa mencintai
dua karakter utama, R dan Julie. Chemistry yang dibangun oleh Hoult dan Palmer
memang tidak megah, namun punya power untuk menjadikan mereka, baik secara
individu maupun tim, sangat loveable.
Saya tidak rela jika xxxx terjadi, saya ingin xxxx terjadi. Gila, sangat jarang
saya berhasil dijerat seperti itu.
Nicholas
Hoult adalah pilihan yang tepat sebagai R, dengan ekpresi
wajah yang memukau sebagai kekuatan utamanya. Sedangkan Teresa Palmer membuktikan bahwa ia bukan K-Stew doppelganger, karena meskipun terlalu
dini untuk menyebutkan kualitas aktingnya lebih baik, namun bagi saya Palmer
punya unsur “likeable” yang lebih besar ketimbang K-Stew, dan itu ia buktikan
lewat karakter Julie yang berhasil menarik simpati lewat permainan emosinya
yang efektif.
Overall, Warm Bodies adalah film yang memuaskan.
Hmmm, Warm Bodies jelas sebuah film yang aneh, namun akan berubah menjadi
sangat menarik jika anda sejak awal telah berhasil untuk tidak terlalu
memikirkan secara serius keanehan yang ia miliki. Kisah Romeo dan Juliet itu
kembali hidup berkat sebuah keberanian yang berlandaskan ide segar yang
memukau. Unsur romance bekerja dengan baik, horror cukup menghibur, punya
komedi yang apik dan efektif, bersatu untuk menghantarkan pesan-pesan yang menarik meskipun
klasik, salah satunya adalah love can heal anything.
nice info... blog ok sebelum nonton. tetap semangat nge-review-nya.
ReplyDelete@psikotessesuatu: Thanks. :)
ReplyDelete