Gravitasi, sebuah gaya yang menarik anda menuju inti bumi,
gaya tarik yang selayaknya patut kita syukuri karena berhasil melindungi umat
manusia dari hal-hal "aneh". Tapi, ada pula sesuatu yang kita sebut
cinta, sebuah rasa yang sering disebut sebagai anugerah terindah Tuhan kepada
ciptaannya. Cinta dilabeli sebagai power yang dapat mengalahkan semuanya,
bahkan untuk dua insan yang terpisah di dua dunia yang saling berhadapan, atas
dan bawah. Upside Down, jawaban atas
sebuah pertanyaan, what if love was
stronger than gravity?
Suatu ketika dunia mengalami kekacauan akibat fenomena
misterius yang menyebabkan timbulnya gravitasi ganda, yang akhirnya menyebabkan
lahirnya dua planet dengan gravitasi yang berbeda. Up Top, planet yang diwarnai kemewahan berbalut modernitas,
berhadapan secara langsung dengan Down
Below, planet yang tepat berada dibawahnya, planet miskin yang menjadi
pelengkap sisi hitam dan putih diantara mereka. Kedua planet terhubung oleh
sebuah bangunan besar yang disebut Transworld, jalur yang hanya digunakan untuk
melakukan transaksi jual beli.
Terdapat sebuah aturan keras yang berlaku di kedua planet,
yaitu perpindahan antar planet yang sangat dilarang. Namun, suatu ketika Eden (Kirsten Dunst), yang menetap di Up
Top, berkenalan dengan seorang pria bernama Adam
(Jim Sturgess), yang berasal dari Down Below. Mereka mengalami cinta pada
pandangan pertama, yang ternyata memiliki power sangat kuat, power yang
menjadikan Adam melakukan segala cara untuk dapat bersama Eden, bahkan dengan
melanggar hukum yang pada akhirnya memisahkan mereka. Namun, takdir berkata
lain, sepuluh tahun kemudian mereka dipertemukan kembali, dengan cara serta
kondisi yang telah berbeda.
Dua paragraf tadi bisa dikatakan terlalu panjang untuk
menyampaikan sinopsis yang film ini punya, namun anda tidak perlu takut akan
spoiler, karena penjelasan tadi menurut saya adalah sebuah upaya dari saya
untuk menjelaskan betapa menariknya premis yang ditawarkan film ini, dan tidak
akan mengurangi sisi menarik yang ia punya. Ya, meskipun anda mungkin dapat
menebak akhir dari cerita film ini, Upside Down mampu menutupi sedikit
kekurangan tersebut dengan memanfaatkan elemen lain untuk membuat penontonnya
terpukau.
Ya, semua film memiliki misi pertama yang seragam, yaitu
menarik perhatian anda dengan sebuah awalan yang impresif. Upside down berhasil
melakukan hal itu. Dan jika ada daftar film yang diawal mampu membuat
penontonnya menaikkan ekspektasi awal mereka, Upside Down juga termasuk salah
satunya. Dunia yang terbalik menghalangi kisah romansa, semakin menarik ketika
ia telah mulai berjalan. Scene ketika Adam dan Eden melakukan kencan di puncak
dua gunung tertinggi itu sangat indah. Ya, sangat indah, selaras dengan kadar
keindahan dari konsep cerita yang ditulis sendiri oleh Juan Solanas.
Cerdas, ide film ini bisa dikatakan cukup cerdas. Tujuan
utama yang ingin disampaikan oleh Solanas sebenarnya cukup dalam, yaitu ingin
menggambarkan kepada penontonnya bagaimana perbedaan antara golongan atas dan
kaum tertindas,kondisi dari si kaya dan si miskin pada dunia nyata. Dua tipe
masyarakat tersebut dengan berani justru Solanas hadirkan dalam bentuk dua buah
planet, yang meskipun memilki banyak latar belakang serta pondasi yang kurang
begitu meyakinkan, namun sukses menjadi media bagi saya untuk ikut berfantasi
bersama karakter dalam cerita, meskipun terasa kurang meyakinkan.
Keberanian Solanas kembali ia buktikan melalui cara ia
menyuntikkan cerita. Ya, terlalu berani, Solanas memutuskan untuk menyuntikkan
semua konflik utama diawal. Hal tersebut menghasilkan dampak yang signifikan,
karena setelah itu berlalu Upside Down
hanya menyisakan sebuah proses dimana anda hanya menanti. Film ini perlahan
mulai mengalami degradasi pada kadar daya tarik yang ia punya, akibat kurangnya
inovasi kejutan yang setidaknya mampu sedikit menaikkan tensi cerita yang
perlahan turun. Solanas memang menghadirkan beberapa konflik pendukung, namun
tidak mampu untuk memberikan nafas segar. Monoton, dibeberapa bagian bahkan ia
tampak seolah stuck. Konflik pendukung yang hadir memang memiliki kaitan kuat
terhadap cerita, tapi anehnya justru tidak membuat saya tertarik.
Banyak elemen dalam film yang dapat dimanfaatkan untuk
memberikan nilai positif, dan Solanas tahu cara memanfaatkannya. Disamping
cerita fiktifnya yang diawal sangat memukau, namun perlahan mulai membosankan
dan berubah layaknya dongeng, Solanas menutupi kekurangan tersebut dengan
menghadirkan tampilan visual yang sangat menyenangkan. Banyak nilai positif
yang film ini hasilkan dari tampilan visualnya yang indah itu, dapat mempesona
penontonnya dan menutupi beberapa minus kecil dari cerita yang jika diamati
lebih teliti akan menghasilkan pertanyaan yang berujung pada opini negatif pada
film ini.
Forgiveable, nilai minus yang dihasilkan berada dalam batas
yang dapat dimaafkan karena kesuksesan yang ia hasilkan pada hal teknis. Saya
terpesona pada tampilan visualnya, mampu membawa saya ikut berkhayal dan
membayangkan jika saya menjadi Adam dengan segala hambatan yang menghadang,
serta perjuangan keras yang ia harus lalui. Memang tidak berakhir dengan sebuah
klimaks yang meyakinkan, namun at least Upside Down mampu membentuk sebuah
romantisme yang klasik dan standar menjadi menarik.
Ya, mereka memang tidak begitu berhasil tampil memukau, namun
terlalu berlebihan pula jika melabeli kinerja yang diberikan oleh Sturgess dan
Dunst sebagai sebuah kegagalan. Mereka kurang berhasil membangun chemistry yang kokoh sebagai sebuah
pasangan, kadang berhasil menyentuh, kadang gagal. Namun mereka cukup sukses
jika dinilai secara individual. Sturgess
adalah yang paling berkerja keras didalam cerita, dan hasil yang ia
berikan cukup meyakinkan. Begitu pula dengan Dunst, yang kali ini punya peran
yang tidak begitu besar, namun tetap mampu memanfaatkan sex appeal miliknya untuk mampu menjadikan karakter yang ia mainkan
menarik ketika berhubungan dengan hal romance. Kelemahannya adalah Solanas yang
kurang mengekplorasi karakter yang sebenarnya punya potensi yang jauh lebih
besar dari apa yang mereka berikan, salah satunya Timothy Spall, yang berperan sebagai Bob Boruchowitz, sahabat baru Adam dari Up Top.
Overall, Upside Down
adalah film yang cukup memuaskan. Film ini punya konsep cerita yang sangat menarik,
mampu tampil impresif diawal cerita sehingga saya secara spontan menaikkan
ekspektasi awal, namun sayangnya justru gagal mempertahankan daya tariknya
akibat cerita yang mulai kehilangan fokus dan powernya. Tapi kekurangan yang Juan Solanas hasilkan mampu ia tutup
dengan tampilan visual yang indah. Meskipun kurang mumpuni dari segi
cerita, Upside Down adalah film layak tonton yang imajinatif.
0 komentar :
Post a Comment