Karya terbaru dari Paul Thomas Anderson ini sebenarnya
adalah salah satu film yang saya paling nantikan tahun lalu. Mengakhiri
istirahatnya sepanjang setengah dekade dengan mengangkat plot cerita yang cukup
provokatif, Anderson akan kembali menunjukkan kepada anda alasan kenapa
film-filmnya selalu dinantikan oleh banyak pecinta film.
Kali ini Anderson
menggunakan karakter seorang pria veteran bernama Freddie Quell (Joaquin Phoenix) yang pasca perang dunia II
mengalami trauma yang sangat dalam. Stress
disorder kelas berat, doyan mabuk, serta obsesi terhadap seks yang dapat
dengan mudah membakar pikirannya, membawa kehidupan Freddie kedalam jurang
kegelapan akibat tingkah lakunya yang dapat dengan mudah berubah sehingga
menimbulkan masalah dengan orang sekitarnya. Namun hal tersebut justru menuntun
Freddie kedalam kehidupan baru.
Dengan penuh
kepercayaan diri masuk kedalam kapal yang bahkan ia tidak tahu siapa
pemiliknya, Freddie akhirnya berlayar menyeberangi lautan Atlantik menuju New York. Lancaster Dodd (Philip Seymour Hoffman), pemilik kapal yang juga
merupakan seorang master dan pemimpin sebuah perkumpulan filsafat bernama “The Cause”, yang saat itu mencoba untuk
menyebarkan sebuah “agama baru”, anehnya justru menerima kehadiran Freddie
akibat sebuah alasan yang konyol. Bersama istrinya, Peggy Dodd (Amy Adams) dan keluarganya, Lancaster Dodd mencoba
menuntun pria gila bernama Freddie itu menuju kehidupan yang lebih baik dengan
teori yang mereka miliki, time travel
hypnosis therapy.
The Master secara mengejutkan
menampilkan 144 menit cerita yang tidak semegah ekspektasi awal saya (ya, mungkin ekspektasi saya yang sangat tinggi). Premis
sempit yang ia sajikan diawal tidak mengalami perkembangan yang sangat
signifikan. Tapi dia adalah Paul Thomas
Anderson, yang mampu mengolah premis yang sempit itu untuk menjerat anda
sejak awal. Sebuah studi karakter dalam durasi yang panjang punya potensi untuk
perlahan mulai kehilangan atensi dari penontonnya, tapi tidak untuk The Master.
The Master memang mampu
mengeksplorasi dengan cermat cerita yang ia miliki melalui cinematography yang
indah, serta score yang mampu terus membantu membangun cerita. Tapi kunci utama
kesuksesan film ini adalah screenplay yang ia miliki. Anderson akan menjadikan
anda untuk terus menanti sembari bertanya kemana cerita itu akan berjalan.
Karakteristik unik yang dimiliki oleh setiap karakter mampu menarik saya untuk
merasa nyaman berjalan bersama mereka. Ya, aneh, karena dengan konflik utama
yang provokatif, karakter utama yang dapat dikatakan “kurang normal”, film ini
justru menciptakan sebuah ruang bebas dan “terang” bagi penontonnya.
Ya, terang. Anda tidak
perlu merasa cemas yang berlebihan untuk menyaksikan film ini. The Master
bahkan sedikitpun tidak memiliki power yang cukup kuat untuk melakukan
brainwash seperti yang mungkin dicemaskan oleh beberapa orang. Konflik tersebut hanya
digunakan sebagai jalan bagi film ini, karena tujuan utama yang film ini emban
adalah untuk menunjukkan kepada anda sebuah proses dari transformasi seorang
pecandu seks yang sangat akut menjadi pribadi yang lebih baik berkat bantuan
orang disekitarnya.
Saya sangat suka pada cara
Anderson membentuk The Master menjadi
sebuah studi karakter yang sangat kuat. Anderson memberikan fokus yang sangat
besar kepada tokoh utama yang ia miliki, sehingga meskipun beberapa konflik
kecil ia selipkan akan tetapi tidak berdampak dari berkurangnya daya tarik saya
kepada karakter utamanya. Ruang cerita yang tidak begitu luas itu ternyata
mampu tampil impresif berkat bantuan dari kualitas akting yang diberikan oleh
cast utamanya. Dipenuhi dengan dialog-dialog yang cukup berat, dijalankan
dengan pelan dan penuh kesabaran, anda akan merasakan dengan jelas sebuah
proses yang dibangun oleh Anderson. Dan
itu semua terbantu berkat kinerja yang sangat apik dari Joaquin Phoenix dan
Philip Seymour Hoffman, yang tampak kompak saling mengisi, dan juga Amy Adams
yang dengan tanggung jawab kecil yang ia miliki justru tetap mampu menusuk
kedalam cerita.
Yep, ini adalah film
yang segmented, dan mungkin akan
sulit untuk meraih hati beberapa kalangan penikmat film. Hal tersebut
dikarenakan The Master tidak punya “bumbu penyedap” yang setidaknya mampu untuk
memberikan sedikit variasi warna. The Master sangat fokus pada satu cerita, dan
cenderung akan membosankan bagi beberapa orang. Selain itu ia memang sangat
menuntut anda untuk berjalan jauh lebih dalam bersamanya secara total, jika
anda ingin mendapatkan klimaks dari semua pesan yang ia bangun sejak awal.
Overall, The Master adalah film yang memuaskan.
The Master punya premis yang kontroversial namun menarik, mampu menyampaikan
premis tersebut dengan cara yang memikat, punya cast utama dengan power yang
sangat kuat, menuntut anda untuk sabar dan secara penuh berjalan bersamanya,
karena diakhir cerita ada sebuah klimaks emosional yang sangat indah jika anda
memenuhi apa yang ia minta sebelumnya. Semua proses yang dijalani dengan penuh
keyakinan dan disertai kerja keras yang total selalu akan membawa anda kepada
sebuah akhir yang menyenangkan.
0 komentar :
Post a Comment