Terlepas dari segala
kekurangan serta kelemahan yang ia miliki, pasti ada saja film yang pada
akhirnya mampu membuat anda gembira, at least ketika anda keluar dari studio. The Last Stand adalah contoh paling baru
mengapa saya selalu menempatkan tingkat kepuasan yang diberikan oleh sebuah film
sebagai salah satu faktor terpenting dari penilaian saya terhadap sebuah film. Arnold Schwarzenegger kembali
dengan sebuah paket guilty pleasure.
Cerita yang ditawarkan
film ini simple, seorang sheriff bernama Ray
Owens (Arnold Schwarzenegger) yang memiliki history mengagumkan, memutuskan
untuk sebuah kota kecil di Arizona bernama Sommerton
Junction. Ya, dia sudah bosan dengan semua kepenatan yang diberikan oleh
LAPD, dan memutuskan untuk melindungi kota kecil dan sepi itu. Tapi, class is
permanent. Suatu ketika seorang boss mafia narkoba bernama Gabriel Cortez (Eduardo Noriega) mampu lepas dari jeratan John Bannister (Forest Whitaker) dan
pasukannya FBI di Las Vegas,
memutuskan kabur ke Meksiko melalui jalur yang tidak umum, sebuah jembatan baru
di kota Sommerton, dimana Terminator telah menunggunya.
Sebuah paragraf cukup untuk menggambarkan plot dari film ini, memiliki beberapa sub-plot meskipun terasa kurang begitu menarik bagi saya. Seorang mafia lepas dari tahanan, kabur membawa sandera, dikejar FBI, dan telah ditunggu seorang sheriff yang luar biasa di pintu keluar “khusus” menuju Meksiko. Andrew Knauer tidak membawa sebuah premis yang pintar tapi meskipun awalnya tampak begitu kurang meyakinkan, baik dari sinopsis yang ia
berikan, berjalan dengan pelan
di awal, membagi film kedalam dua plot besar dengan konflik yang berbeda, Kim
Ji-woon berhasil membuat saya kagum terutama lewat cara ia menyajikan kekacauan di dalam cerita. Menghadirkan Bannister yang kalang kabut di Las Vegas, mengajak anda
untuk berpacu kencang bersama Corvette C6
ZR1, cerita cinta klasik dan sempit, kisah persahabatan yang kuat dan
efektif, hingga kehadiran karakter aneh dan gila dalam diri Lewis Dinkum (Johnny Knoxville),
semuanya sejenak mampu mencuri perhatian ketika ia hadir.
Ji-woon juga tahu apa yang
harus ia jual: Arnold Schwarzenegger. Arnie dibantu oleh Ji-woon untuk masuk
kedalam tokoh dengan karakteristik yang sesungguhnya bukan hal baru baginya.
Seorang sheriff dengan wibawa yang sangat kental, kemampuan super layaknya
seorang pahlawan tak terkalahkan, berbalut manis dengan memanfaatkan beberapa
karakter yang telah lekat dengan Arnie. Dan itu kembali efektif, karena ketika Arnie
diberikan ruang bebas maka semakin mudah film tersebut mencapai tergetnya.
Meski hanya berperan
sebagai pembantu, para pemeran pendukung juga memberikan kontribusi yang efektif
terhadap cerita. Jaimie Alexander,
Rodrigo Santoro, Peter Stormare, Eduardo Noriega, hingga Forest Whitaker punya porsi yang tidak
mampu menandingi Schwarzenegger, tapi berhasil membuka jalan mulus bagi
Schwarzenegger untuk show-off. Begitupula dengan Luis Guzmán dan Johnny
Knoxville yang mempu menyelesaikan tugas mereka sebagai bagian dari divisi
humor pada cerita. Ada alasan kenapa di bagian awal anda akan diajak oleh Kim
Ji-woon untuk sedikit lebih serius, karena ketika semua telah berada di
jalurnya anda akan diberikan banyak adegan aksi memuaskan, dark comedy yang beberapa bekerja cukup baik, dibantu bumbu lain
yang mampu menjadikan anda berpikir mereka gila, dan perlahan menjadikan anda
mulai melupakan bahwa plot dari cerita, yang sesungguhnya mulai terasa lemah.
Overall, The Last Stand adalah film yang cukup memuaskan. Sebuah guilty pleasure. Memiliki beberapa kelemahan tapi di lain sisi sangat sulit
untuk mengatakan bahwa saya tidak bertemu dengan rasa puas ketika film ini berakhir. Kim Ji-woon membuktikan
bahwa anda harus tahu persis kelemahan serta kekuatan dari paket yang akan anda
jual, karena jika diracik dengan apik tidak peduli seberapa standar mereka konsumen akan merasa puas jika tujuan yang ingin dilakukan berhasil dicapai.
0 komentar :
Post a Comment