Memperjuangkan mimpi tanpa pernah kehilangan harapan akan
menghasilkan sebuah akhir yang indah, yaitu kedamaian dipenuhi dengan rasa
cinta. Mungkin itu gambaran umum dari Fight
– Dream – Hope – Love, tagline yang diusung oleh Les Misérables, film
musical karya terbaru dari Tom Hooper, film yang telah identik dengan panggung
teatrikal. Ya, Les Misérables adalah
musical theatre, dan anda salah besar jika menganggap ini adalah film musikal
yang biasa.
Jean Valjean (Hugh Jackman), yang telah akrab dengan kehidupan penjara
selama 19 tahun, pada suatu ketika diberikan kesempatan untuk bebas oleh
seorang pimpinan polisi bernama Javert
(Russell Crowe). Sayangnya, kesempatan itu tidak dimanfaatkan dengan baik
oleh Valjean, kembali mencuri, namun bebas karena kemurahan hati uskup yang
menjadi korbannya. Momen tersebut menjadikan Valjean berjanji untuk merubah
hidupnya.
Benar memang, delapan tahun kemudian di tahun 1823 Valjean
sudah memiliki sebuah pabrik, bahkan menjadi walikota. Celakanya, ia masih
menjadi buronannya Javert. Semua bermula ketika ia menyelamatkan Fantine (Anne Hathaway), salah satu
mantan pekerjanya, terpaksa menjadi pelacur untuk memperoleh uang yang kemudian
akan dia kirimkan kepada keluarga Thénardier
(Sacha Baron Cohen dan Helena Bonham Carter), pemilik sebuah
"kedai menyenangkan”, yang merawat anak perempuannya Cosette
(Isabelle Allen). Valjean berjanji akan menemukan Cosette, dan merawat
serta membesarkannya seperti anak perempuannya sendiri.
Mari kita mulai dengan pengalaman menarik saya ketika
menyaksikan film ini, dimana ada seorang pria yang duduk disamping saya
bergumam dengan nada sedikit besar, “ini film atau konser?”. Ya, dia jelas
tidak salah berkata seperti itu, atau mungkin mengungkapkan kekesalannya,
melihat Jackman dengan jenggot tebalnya mulai berbincang bersama Crowe dengan
dialog dalam bentuk nyanyian di awal film.
Hal tersebut adalah alasan utama saya mengatakan bahwa film
yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Victor Hugo ini bukanlah film
musikal biasa. Bahkan saya sendiri yang cukup menggemari drama musical, seperti
Glee, Nashville, dan Smash di tv-series, dan mungkin Chicago, Burlesque, hingga yang terbaru Pitch Perfect, cukup merasakan sebuah
keterkejutan ketika film ini mulai bergerak masuk ke 20 menit pertama. Ya, saya
tidak menyangka bahwa porsi dari dialog biasa yang hadir sangat-sangat minim.
Keputusan Tom Hooper untuk menerapkan
sung-through secara total, dimana
karakter menyampaikan dialognya lewat nyanyian sukses mengundang rasa aneh,
namun tidak dapat dipungkiri menghadirkan sebuah pengalaman penuh sensasi yang
menyenangkan.
Les Misérables punya banyak faktor yang menjadikannya menarik
bagi banyak orang, mulai dari karya Les Misérables yang sudah terkenal itu,
jajaran cast-nya yang berisikan pemain kelas wahid, sampai hype yang tinggi
pada performa dari Anne Hathaway.
Tapi, Tom Hooper adalah alasan utama saya menyaksikan film ini. The Damned United, The King's Speech,
dan kini Les Mis, menjadi bukti bahwa pria satu ini mencintai tantangan,
memiliki ambisi yang besar dengan mencoba menghadirkan sesuatu yang baru.
Ya, Tom Hooper berhasil memberikan sebuah pengalaman menonton
yang baru bagi saya. Dengan bantuan sebuah tim yang sangat kuat dibelakangnya (William Nicholson, Alain Boublil,
Claude-Michel Schönberg, Herbert Kretzmer), serta pion-pion kelas dunia
yang dibawah kendalinya, Hooper berhasil mewujudkan keinginannya untuk
menjadikan Les Misérables sebuah drama musikal yang tidak biasa. Bukannya
menggunakan hasil rekaman studio seperti yang kerap diterapkan film genre
serupa, Hooper menuntut para pemainnya untuk “benar-benar” bernyanyi dengan iringan
musik melalui ear-piece yang mereka
gunakan. Ia juga tidak ingin menggunakan 3D, dengan alasan dapat mengganggu
penonton ketika mereka mencoba menyatu dengan cerita. Dan terbukti, hal teknis
tadi sukses mengajak saya untuk larut bersama permainan emosi yang dihadirkan
para karakter.
Namun, Les Misérables juga hadir dengan sebuah cela. Ketika
ia perlahan bertransisi pada perjuangan revolusi yang dipimpin Marius Pontmercy (Eddie Redmayne), serta
kisah cinta segitiga Marius bersama Éponine
(Samantha Barks) dan Cosette (Amanda
Seyfried), terjadi sebuah penurun daya tarik dari sisi cerita. Cerita yang
mulai mengajak anda kedalam sebuah proses, kemudian diisi dengan percakapan
dalam nyanyian yang sedikit berputar-putar, sempat memberikan kesempatan pada
rasa bosan untuk hadir kehadapan saya. Untungnya itu sedikit tertutupi setelah
dibantu sisi teknis yang apik, dari sinematografi yang cantik, hingga bagaimana
lagu-lagu itu berhasil menyatu dan membantu kinerja pemainnya.
Berisikan banyak bintang, hanya tiga dari mereka yang menurut
saya berhasil menghidupkan karakter yang ia miliki. Yang pertama, tentu saja
adalah Anne Hathaway. Ya, hype, buzz,
apapun itu sebutannya, yang diberikan kepadanya memang tidak salah. Hathaway
tampil sangat indah, terutama ketika ia menyanyikan I Dreamed a Dream, menggusur penampilannya empat tahun lalu di Rachel Getting Married, meskipun kali
ini ia punya screen time yang lebih sedikit, namun dimanfaatkan dengan baik
sehingga sangat memorable. Hugh Jackman
berhasil memanfaatkan kesempatan besar yang diberikan kepadanya sepanjang film,
tidak begitu berlebihan sesuai dengan kapasitasnya. Dan yang terakhir adalah Samantha Barks, didebut layar lebar pertamanya dengan kesempatan yang terbatas,
Barks memberikan sesuatu yang sangat luar biasa. Ketulusan yang ia berikan
sungguh emosional, ratapan tangisnya ketika menyanyikan On My Own bersama rintik hujan itu adalah adegan yang sangat
menyayat, dan ketika pengorbanannya kepada Marius mungkin satu-satunya adegan
yang hampir membuat saya menitikkan air mata. Barks memang paham betul dengan
Éponine, tidak heran Éponine seolah hidup di dalam dirinya. Pemeran lainnya
berhasil memenuhi kadar tugas yang mereka punya, kecuali Crowe yang kurang
berhasil menjadikan saya nyaman menyaksikan ia bernyanyi.
Overall, Les Misérables
adalah film yang sangat memuaskan. Tom Hooper
membuktikan bahwa ide-ide segarnya wajib anda tunggu, karena ia kembali
menghadirkan sebuah pengalaman baru yang menyenangkan. With all due respect,
anda wajib menyukai karya dan film musikal untuk dapat enjoy menyaksikan film
ini, karena yang menyukai film musikal pun pasti memerlukan waktu diawal film
untuk beradaptasi pada sebuah terobosan baru yang Hooper berikan ini. Tidak
begitu megah memang, namun dengan 157 menit yang dipenuhi permainan emosi yang
berkualitas, Les Misérables sukses menghadirkan sebuah pengalaman musikal baru
yang sangat unforgettable.
Score: 8,5/10
nice review,
ReplyDeleteane susah buat nge-rate nih film, secara full singing begitu, honestly, it's not my cup of tea :P
but Anne bener-bener luar biasa walau cuma muncul sebentar doang, ga terbendung lagi dah di Oscar
@Nugros C: Thanks. :)
ReplyDeleteAnne memang mutlak di GG, tapi untuk Oscar saya masih yakin Sally Field punya chance.
Saya tetep pegang Annie dah,
ReplyDeleteoscar ke-3 kan ga gampang, apalagi Sally uda lama bgt ga maen pilem (yg oscar-worthy)..though Academy really liked her, really2 liked her ^^
we'll see..
@Nugros C:Yep, peluang Field lebih besar dibandingkan saat di GG, tapi pole position jelas milik Anne., dan perlu “Faktor X” untuk menghentikannya. :)
ReplyDelete