Awards season telah
berlalu bagi saya, dan saatnya telah tiba untuk kembali membuka lembaran yang
baru. Tidak dapat dipungkiri mengisi waktu luang menyaksikan film-film dengan
kualitas Oscar memberikan dampak yang sangat positif. Ya, mereka ibarat sebuah wiski yang dipersiapkan untuk menghibur
acara-acara bergengsi. Namun anda tetap harus menikmati segelas teh manis untuk
tahu betapa nikmatnya wiski, dan Hansel
& Gretel: Witch Hunters mendapatkan kehormatan tersebut.
Okay, once upon a time
di dunia yang akrab dengan eksistensi dari para penyihir, hiduplah dua orang
kakak beradik, Hansel dan adiknya Gretel. Suatu ketika para penyihir jahat
menyerang, dan kedua orang tua mereka dengan anehnya justru menyelamatkan mereka
dengan cara yang tidak biasa, melepas Hansel dan Gretel di sebuah hutan belantara yang
gelap. Sejak saat itu mereka tidak mengetahui dimana keberadaan kedua orang tua
mereka, dan memutuskan untuk menjadi pemburu penyihir sebagai bentuk balas
dendam.
Setelah disajikan
sebuah pembukaan yang datar, sedikit berlebihan, dan hampir saja membuat saya
kesal, Tommy Wirkola akan langsung
mengajak anda untuk maju beberapa tahun kemudian (ya, tidak jelas berapa
tahun), menyaksikan Mina (Pihla Viitala),
wanita manis yang dituduh sebagai penyihir dan diancam hukuman mati,
diselamatkan oleh Hansel (Jeremy Renner)
dan Gretel (Gemma Arterton) yang
telah tumbuh dewasa, dan diminta oleh walikota untuk menjadi pelindung
kota Augsburg. Tugas itu langsung
datang, mencoba menggagalkan misi dari seorang penyihir jahat bernama Muriel (Famke Janssen). Dapatkah mereka
melindungi kota Augsburg?
Hmmm, sebuah pertanyaan
yang sebenarnya tidak begitu penting jika diberikan untuk sebuah film pada
kategori ini. Anda sudah tahu kemana film dengan tema “hero” seperti ini akan berakhir. Hal tersebut juga mungkin tidak
menjadi concern utama dari para pemilik film ini. Anda diberikan premis yang
menarik, dan mari bersenang-senang bersama mereka. Ya, ada film yang mampu
memuaskan dalam hal cerita dan visual, film yang memuaskan dalam salah satu
aspek tersebut, dan juga film yang tidak mampu memuaskan baik dari segi cerita
maupun tampilan visual. Dan lagi, Hansel & Gretel: Witch Hunters
mendapatkan kehormatan untuk mengisi kategori terakhir.
Saya tidak begitu
familiar dengan cerita dari Hansel & Gretel, saya juga bahkan sedikit
terkejut ketika pertama kali mendengar film ini akan hadir di Indonesia tidak
jauh dari tanggal rilisnya di US. Ya, kaget, tapi tidak heran, karena sudah
menjadi sebuah fakta umum bahwa film dengan “jenis” seperti ini akan mampu
dengan cepat menembus bioskop Indonesia, karena pasar empuk yang tersedia untuk
kategori ini cukup besar. Saya yakin banyak
reviewer juga akan dengan mudah melabeli film ini sebagai film kategori B,
begitupula dengan saya yang hanya memasukkannya kedalam daftar consideration,
bukan must watch list. Bahkan pertimbangan teh manis dan wiski tadi masih tidak
mampu menggoyahkan status film ini. Beruntungnya dia punya Gemma Arterton.
Ya ya, to be honest,
sejelek dan sekacau apapun akting dari Gemma, dia adalah aktris yang akan
selalu saya tunggu. Dari St. Trinian's yang kacau itu, hingga
yang terakhir Tamara Drewe, semua
film Gemma ada di daftar tonton saya, terlepas dari dua filmnya tahun lalu yang
belum rilis, dan juga film pendek. Menyaksikannya di layar saja sudah merupakan
sebuah kepuasan tersendiri bagi saya, meskipun apa yang filmnya hasilkan masih
berada di level yang sama dengan film-film Gemma terdahulu.
Jejaring sosial bioskop
di Indonesia secara periodik mengingatkan bahwa film ini khusus dewasa,
R-rating. Sebuah ekspektasi tinggi itu tidak berakhir dengan kepuasan bagi
saya. Memang, adegan-adegan berisikan darah itu cukup menyenangkan, namun masih terasa biasa. Ya, mungkin bagi mereka yang tidak biasa akan
merasakan sebuah kedahsyatan yang film ini berikan pada adegan-adegan tersebut,
tapi sepertinya itu akan kurang berhasil pada anda yang bukan merupakan bagian
dari mereka. Bahkan anda mungkin akan merasa R-rating itu hanya untuk satu
adegan nude saja.
Dongeng klasik dari
negeri Jerman ini gagal memanfaatkan kesempatannya untuk memukau karena Tommy
Wirkola. Ya, sorry Wirkola, anda membentuk film ini menjadi sebuah fantasy yang
justru tidak mampu menginspirasi. Semua aspek tidak dicoba untuk digali lebih
dalam oleh Wirkola, sehingga terasa seperti Transformer di negeri dongeng,
mengandalkan visual dengan cerita yang dangkal untuk menghibur anda selama 88
menit. Tidak ada dialog yang kuat, bahkan komedi-komedi yang ia coba selipkan juga
terasa gagal, dimana hanya satu yang berhasil yaitu ketika Troll mengatakan
namanya (yang telah identik dengan salah satu karakter “terkenal”). Untungnya
ia punya tampilan visual yang bisa dikatakan cukup baik.
Hansel & Gretel,
Jeremy & Gemma. Celakanya mereka tidak menjadi sebuah tim yang kokoh untuk
menerima beban film ini dipundak mereka. Tidak ada ruang bebas yang lebih luas
dari Wirkola bagi Gemma dan Jeremy untuk mengembangkan karakter mereka. Mereka
tampak seperti dipaksa untuk menjadi kakak dan adik, tanpa ikatan emosi dan chemistry yang tidak begitu kuat. Tidak
ada keberanian dari Wirkola untuk menghadirkan kejutan-kejutan dari segi cerita
yang saya yakin akan mampu disampaikan dengan baik oleh Gemma dan Jeremy.
Hansel and Gretel: Witch Hunters mungkin dapat menjadi contoh bagaimana
pentingnya pengaruh dari screenplay
pada kualitas akhir dari sebuah film.
Overall, Hansel and Gretel: Witch Hunters adalah
film yang tidak memuaskan. Ya, saya puas, bukan pada hasil akhir yang diberikan
film ini, namun puas karena tujuan utama saya terpenuhi. Sejak awal tidak ada
ekpektasi yang begitu tinggi pada film ini, hanya ingin menjadikannya sebagai
sample agar tetap dapat merasakan teh manis setelah diserbu kehadiran wiski,
dan juga menyaksikan Gemma Arterton.
Ditunda lebih dari setengah tahun, Paramount
dan MGM gagal mendapatkan sebuah
paket baru yang dapat menjadi sebuah ladang uang mereka, akibat sebuah
kesalahan dasar, screenplay yang payah.
Score: 4/10
0 komentar :
Post a Comment