I
am the captain of my soul, baris terakhir dari puisi
berjudul Invictus karya William Ernest
Henley ini sesungguhnya telah menjadi sebuah penggambaran tentang apa
tanggung jawab utama kita ketika menjalani kesempatan di dunia ini. Anda yang
mengendalikan kemana jiwa anda melangkah, bergerak positif menuju sebuah cahaya
terang, atau justru terus terperangkap di bukit gelap dengan sebuah jurang
terjal yang siap melahap anda.
Anders
(Anders Danielsen Lie), pria berusia 34 tahun, sedang
menjalani rehabilitasi akibat kecanduan yang dialaminya terhadap narkoba dan
minuman keras. Di tanggal 30 Agustus, Anders diberi kesempatan untuk keluar
selama satu hari, dan menghadiri interview
pekerjaan. Pria yang cukup impresif lewat tulisan-tulisannya ini ternyata
memiliki tekat yang kuat untuk dapat lepas dari masa lalunya, dan memutuskan
untuk berbicara jujur mengenai sejarah kelam-nya tersebut.
Joachim
Trier seolah menjadikan saya tidak ingin untuk mencoba
berpikir kemana film ini akan berjalan. Bukan berarti ia tidak sukses menjadikan
saya terperangkap melalui cerita yang ia tawarkan, tetapi karena cara
penyampaian yang ia gunakan berhasil membentuk karakter utama dengan baik
sehingga saya merasakan sebuah kenikmatan berjalan bersamanya mengitari kota Oslo.
Anders adalah karakter
yang luar biasa. Ia mencoba dengan keras untuk menutupi semua kegagalan yang ia
lakukan di masa lalu, tapi disisi lain ia terus terbelenggu rasa kecewa bahkan
putus asa. Ya, mungkin saja itu sangat sakit, ketika melihat Anders berbincang
bersama temannya Thomas (Hans Olav
Brenner), dan juga ketika ia dengan berani mengaku sebagai pecandu
narkotika kepada pewawancara yang menanyakan CV-nya, keduanya menggambarkan
dengan sempurna bagaimana berat dan sakitnya akibat dari kesalahan besar yang
pernah anda lakukan.
Anders berkeliling kota
Oslo, masuk ke klub dan menghadiri pesta, mengganggu mantan pacar melalui voice
mail, bertemu sahabat-sahabat lamanya, tidak menjadikan film ini terasa seperti
sebuah petualangan. Joachim Trier justru tampak seolah menjadikan karakter
Anders sebagai objek observasi yang empuk bagi anda, objek pembelajaran
mengenai bahaya yang mungkin akan anda dapatkan jika anda gagal dalam
mengontrol hidup anda. Anders berhasil menarik simpati saya kepadanya, yang
menjadikan saya dengan mudah mencoba memahami apa yang ia rasakan.
Oslo,
August 31st secara mengejutkan meninggalkan sebuah
rasa cemas yang dalam kepada saya. Dengan ceritanya yang simple, diwarnai
dialog-dialog santai dengan pesan yang dapat memukul anda dengan telak, film
ini berhasil mewarnai pikiran saya selama tiga hari dengan kisah yang Anders
alami, sebuah fakta yang mungkin saja juga pernah anda alami, dimana ketika
penyesalan itu datang, namun anda tidak dapat lagi memutar mundur waktu untuk
menghapusnya dari kehidupan anda, tapi disisi lain anda masih terus
terperangkap dan belum dapat bergerak maju, meskipun telah berusaha dengan
sangat sangat keras.
Mungkin bagi beberapa
orang apa yang ditawarkan film akan terasa standar, karena premis yang ia
tawarkan memang tidak dapat dipungkiri tidak begitu mampu untuk menarik minat
dari golongan umum penikmat film. Tapi, Oslo,
August 31st punya salah satu unsur favorit saya dari sebuah film, permainan
emosi apik yang mampu menjadikan karakter mengikat anda selama ia hadir
dilayar. Selama satu hari, Anders
Danielsen Lie sukses menghadirkan seorang pria yang perlahan mulai
kehilangan rasa percaya bahwa masih ada kesempatan yang ia miliki di dunia.
Harapan yang perlahan terkikis, menghadirkan sebuah rasa sedih dan bahkan cemas
dan waspada kepada saya.
Overall, Oslo, August 31st adalah film yang
memuaskan. Selama 95 menit, film ini mungkin tidak tampak megah di semua elemen
yang ia miliki, namun dampak serta efek dari pesan yang ia tinggalkan setelah
film berakhir memiliki kekuatan yang sangat besar untuk mampu mengisi kepala
anda dalam waktu 1-2 hari. Sebuah studi karakter yang sangat sangat efektif.
Score: 8/10
0 komentar :
Post a Comment