Masih sama seperti apa yang ia
lakukan empat tahun lalu pada Üç Maymun
(Three Monkeys), Nuri Bilge Ceylan
kembali membentuk Once Upon a Time in
Anatolia dalam bentuk cita rasa yang identik dengan saudara tuanya
tersebut. Terdapat tiga mobil yang berisikan polisi, dokter, jaksa, penggali
kubur, pasukan tentara, serta dua tersangka, berkeliling di gelapnya malam desa
Keskin, Anatolia, untuk mencari sebuah jasad korban pembunuhan.
Kenan (Fırat Tanış), bersama saudaranya yang sakit jiwa menjadi
objek utama kekesalan emosi dari semua anggota tim pencari. Mereka terus
dipaksa untuk menunjukkan letak jenazah yang telah mereka bunuh, sedangkan di
sisi lain mereka mengaku lupa dimana letak mereka mengubur jenazah tersebut.
Berputar-putar di gelapnya malam dengan sorotan lampu mobil sebagai penerang
utama, Kenan mampu menjadikan suasana menyenangkan yang tercipta sejak awal
perlahan mulai mengalami degradasi menuju rasa frustasi yang dalam.
Once Upon a Time in Anatolia (OUTA) bukan tipe film for everyone,
film yang mampu menembus semua kalangan penonton untuk menjadi sebuah paket
yang impresif bagi mereka ketika credit diakhir mulai bergulir. OUTA adalah sebuah puisi dalam bentuk visual
dari Nuri Bilge Ceylan, memanfaatkan
kinerja lebih dari cinematography
yang indah untuk menggambarkan sebuah pesan yang harus anda bongkar dengan
teliti dan sabar. Ya, sabar dan teliti, karena selama 150 menit OUTA mampu
terus menghadirkan misteri yang mengundang tanda tanya.
Plot yang ia miliki memang sangat
jelas, dimana sekelompok orang yang sedang dalam misi menemukan jasad jenazah.
Namun, OUTA justru tampil lebih menarik lewat konflik-konflik kecil yang
dihadirkan lewat perbincangan antar karakter. Topik mengenai keluarga, mantan
istri, kematian, hingga filsafat, berhasil menjalankan tugasnya untuk mengikat
penonton agar tetap menaruh ketertarikan kepada film ini, disamping kasus
pencarian yang mungkin akan sedikit menjemukan.
Ceylan kembali membuktikan ia
adalah seorang sutradara yang wajib anda tunggu karyanya, meskipun anda sudah
tahu cara penyajian yang akan anda dapatkan. Sesungguhnya premis yang film ini
miliki sangat jauh dari kesan impresif, bahkan mungkin dapat dikatakan cukup
dangkal dibalik kesan simple yang ia coba hadirkan. Tapi, melalui studi
karakter yang ia tampilkan, Ceylan mampu mengajak saya masuk kedalam cerita,
tertawa bersama karakter lewat humor-humor implisit, kemudian serius dengan
kasus yang mereka coba pecahkan, hingga akhirnya ikut merasakan rasa frustasi
dan kehancuran yang hadir diakhir cerita.
Overall, Once Upon a Time in Anatolia adalah film yang memuaskan. Sebuah
film yang tampak ringan, namun sesungguhnya memiliki volume yang cukup
berat. OUTA adalah sebuah tampilan
visual dalam durasi panjang yang menuntut anda untuk terus sabar sepanjang ia
bergulir, karena semakin bergerak jauh dari garis awal anda akan mendapatkan
kenikmatan yang instensitasnya perlahan semakin besar.
Score: 8,25/10
0 komentar :
Post a Comment