Seni Liberal, adalah
sebuah seni yang lebih bersifat umum dan luas. Seni liberal akan mengajak anda
memiliki pola pikir yang lebih umum, mengandalkan logika dan kemampuan intelektual
anda, dan menjadi individu bebas yang tidak suka dengan hal teknis yang rumit
dan mengikat. Liberal Arts, proyek
kedua dari Josh Radnor yang mampu
tampil bijak dan kritis, akan mengajak anda memahami bagaimana seharusnya anda
menjalani hidup.
Josh Radnor kembali
membuktikan bahwa ia memiliki bakat dalam meracik cerita yang mampu tampil lucu
dan bijak secara bersamaan. Ada seorang pria single berusia 34 tahun bernama Jesse Fisher (Josh Radnor), datang dari New York ke kampus yang telah lama ia
tinggalkan di Ohio, dalam rangka
menghadiri pesta perpisahan Peter Hoberg
(Richard Jenkins), salah satu professor favoritnya yang akan pensiun. Namun
yang menarik adalah sebuah pernyataan yang dilemparkan oleh Radnor kemudian.
Zibby
(Elizabeth Olsen), wanita berusia 19 tahun yang mengikuti
proses percepatan, menyukai musik klasik dan novel vampire, dan memiliki
ketertarikan sangat besar pada bagaimana ia melakukan improv dalam hidupnya.
Zibby menghadirkan sebuah quote yang sangat menarik, “one rule of improv that you can never say no.” Ya, itu hanya
pembuka, karena setelah itu Jesse bertemu Nat
(Zac Efron), seorang pria hippie yang kembali menghadirkan sebuah teori
yang sama, “fortune never smiles on those
who say no.”
Aha, cerdas, ini adalah
sebuah permainan dengan ide yang cerdas, dipenuhi dengan argumen-argumen yang
menyenangkan. Kenapa saya sebut permainan, karena selama 97 menit anda akan
menemukan beberapa konflik kecil menghampiri Jesse yang dibawa oleh
karakter-karakter yang berbeda. Diawal ada Professor Hoberg yang masih merasa
seperti 19 tahun diusianya yang sudah sangat tua, kemudian Prof. Judith Fairfield (Allison Janney), mantan guru dengan
sex-appeal yang masih menarik, Nat, hingga seorang mahasiswa pintar yang
depresi bernama Dean (John Magaro).
Kekuatan utama film ini
jelas terletak pada cerita yang ia punya. Film ini seperti menjadi media bagi
Radnor untuk menyampaikan pemikirannya tentang apa saja hal-hal salah yang
telah banyak orang lakukan sekarang ini. Ya, ketimbang menampilkan kisah romansa
yang mainstream dengan gairah tingkat tinggi, Radnor justru lebih memilih untuk
tampil sederhana, memanfaatkan dialog yang kuat untuk membangun daya tarik dari
konflik-konflik yang ia punya, namun tetap tidak lupa untuk memberikan unsur
komedi didalamnya.
Banyak cara yang
dipakai oleh Radnor bekerja dengan efektif bagi saya. Dari ketika Radnor
menulis di sebuah kertas tentang perbandingan umurnya dengan Zibby, saling
berkirim pesan dengan surat yang ditulis tangan, sampai pada pemahaman pada
sisi menarik dari sebuah novel vampire sampah yang sedang trend saat ini, semua
bekerja dengan baik. Film ini memang tidak megah, namun memenuhi standar saya
dari sebuah film drama komedi.
Bagi saya ini adalah
salah satu film yang tidak memiliki sasaran konsumen yang luas, dan tidak heran
akan terjadi keseimbangan pada jumlah penonton yang suka dan tidak suka.
Kuncinya adalah apakah anda suka dengan tema yang ia angkat, cara hidup liberal
yang bebas dan modern. Jika iya, maka anda akan merasakan sensasi-sensasi dari
pesan yang dibawa oleh Radnor, disampaikan secara implicit dengan menggunakan
dialog berisikan argument-argumen asyik, dengan sebuah limit yang telah
diciptakan sehingga terasa tidak berlebihan dan terkesan realistis. Sangat
sayang memang, karena saya yakin film ini masih dapat memberikan lebih dari
yang ia tampilkan. Ya, Radnor kembali bermain aman.
Selain ceritanya yang
mumpuni, Radnor juga sukses membagi peran dari setiap karakter yang ia punya.
Tidak hanya berpusat pada Zibby dan Jesse yang memiliki chemistry yang kuat
(lagi dan lagi, Elizabeth Olsen
adalah salah satu yang terbaik saat ini), film ini juga memiliki karakter
pendukung yang mampu hinggap di ingatan saya setelah film berakhir. Ya, semua
berhasil meninggalkan kesan dari kehadiran mereka didalam cerita, termasuk Ana (Elizabeth Reaser) yang bekerja di
toko buku, hingga teman sekamar Zibby yang mengundang tawa dengan perannya
sebagai objek penderita.
Overall, Liberal Arts adalah film yang memuaskan.
Saya suka konflik utama yang Radnor
ciptakan, dengan menggunakan tema yang tepat, dan berhasil mengajak saya untuk
ikut merenung sembari tertawa dengan humor-humor implisitnya yang renyah. Ya,
banyak pesan yang berhasil film ini sampaikan, dengan cara yang bijak dan
lembut, namun yang paling menarik dia tidak tampil layaknya seorang guru hebat
yang mencoba untuk menggurui anda.
Score: 8/10
0 komentar :
Post a Comment