Salah satu tema favorit
saya pada film dengan genre horror adalah rumah kosong yang menyimpan sebuah
misteri. Tidak bisa dipungkiri itu adalah salah satu jurus paling ampuh untuk
menakut-nakuti anda, yang sejak awal mungkin sudah cemas duluan dengan setting
latar yang ia miliki. House at the End of
the Street, adalah salah satu film horror yang saya nantikan ditahun ini, dengan
ekspektasi yang cukup besar untuk dapat menakut-nakuti saya.
Rumah itu menyimpan
misteri, dimana pernah ada seorang gadis kecil membunuh kedua orang tuanya.
Akibat insiden tersebut, Ryan (Max
Thieriot), satu-satunya anggota keluarga yang masih hidup, mendapatkan
perlakuan yang kurang bersahabat dari lingkungan sekitarnya. Hal tersebut
mengundang rasa penasaran Elissa, perlahan mencoba berteman dengan Ryan, jatuh
cinta, namun tidak menyadari bahwa ada sebuah bahaya yang siap menerkamnya.
House
at the End of the Street (HatES) mengusung sebuah
konsep klasik yang bagi beberapa orang akan terasa menjemukan. Masalahnya, saya
suka konsep klasik tersebut, dan saya suka dengan premis cerita yang dibuat
oleh Jonathan Mostow. Seorang ibu dan
anak perempuannya yang terjebak dalam sebuah permasalahan yang berasal dari
sebuah rumah yang misterius, standar tapi tetap mampu mengundang rasa
penasaran. Namun, itu hanya sebuah awal manis yang dimiliki film ini.
Setelah perlahan film
mulai bergerak, anda yang menaruh harapan pada film ini akan berubah seolah
ingin berteriak “what the bla bla bla!!!”. Ya, HatES perlahan mulai hancur dari
segi cerita. Ceritanya bergerak terlalu cepat, tidak memberikan waktu bagi
misteri yang ia ciptakan untuk tumbuh dan berkembang, yang pada akhirnya tidak
sedikitpun mampu membuat saya merasa ikut takut.
Tentu saja akan mudah
memaafkan sebuah film horror yang tampil dengan cara klasik, tapi mampu dibentuk menjadi unik, dan
berhasil menakut-nakuti anda. Celakanya, HatES
tidak mampu dalam hal tersebut. Misteri dari premis yang sesungguhnya cukup
menarik perlahan terasa terlupakan seiring cerita berjalan. Ya, saya sampai
tidak begitu perduli dengan kejadian aneh lampu di rumah kosong itu yang secara
tiba-tiba hidup sendiri dimalam hari.
HatES mencoba untuk
tidak terlalu berbasa-basi dari segi cerita, langsung menyampaikan point-point
dari bagian cerita yang ia miliki dengan cepat, tapi tidak berhasil
meninggalkan kesan di mayoritas bagian ceritanya. HatES mencoba untuk tampil misterius dengan seorang pria yang
tinggal di sebuah rumah kosong, tapi gagal. HatES mencoba sedikit serius dengan
konflik tentang ibu-anak serta cinta antara dua karakter utamanya, sayangnya
terasa datar. HatES berupaya untuk memberikan suasana santai dengan karakter
pendukung yang menggoda, kembali gagal. Dan bahkan saat ia mencoba tampil seksi lewat Lawrence seperti ketika membiarkan wajahnya tetap dibasahi dengan
air hujan meskipun telah berada didalam mobil, itu juga gagal, bahkan terkesan
konyol.
Terlalu kasar bagi saya
untuk menunjuk Jonathan Mostow sebagai sumber dari hancurnya film ini. Cerita
yang ia susun memang standar, namun memiliki konsep menarik yang disusun dengan
rapi oleh Mostow. Celakanya itu tidak mampu diterjemahkan dengan baik oleh David Loucka, dan semakin diperparah
oleh Mark Tonderai yang tampak tidak
ingin mengulur terlalu banyak waktu disetiap bagian cerita. Screenplay yang dimiliki
oleh film ini terasa sangat kaku, terutama pada cara ia memasukkan konflik
pendukung skala kecil kedalam cerita, dan mengakhirinya dengan sangat lemah.
Ya, mereka datang, kemudian pergi dan meninggalkan sebuah pertanyaan dalam
pikiran anda, "so what?".
Ada beberapa momen yang
mampu membuat anda untuk cemas sejenak, namun tidak mampu menutupi kekecewaan
besar yang telah tercipta. Sebuah rumah di ujung jalan, tentu saja sebuah judul
yang sangat menarik dengan sebuah misteri yang mengundang pertanyaan. Tapi
sayangnya misteri itu sudah dibuka sejak dini, dan yang tersisa hanyalah apa
yang akan terjadi pada karakter utama dari ancaman wanita muda yang gila. Ya,
misteri dari rumah itu hilang. Memang akan ada sebuah twist yang hadir di
bagian akhir cerita, tapi bagaimana film ini dibentuk sebelumnya menjadikan
kehadiran twist tersebut terasa datar, tidak ada shocking moment yang tercipta.
HatES jelas akan sangat
dapat di maafkan bagi mereka yang merupakan die-hard fan dari Lawrence, mereka
yang mengagumi Lawrence sejak ia debut. Tapi tidak bagi saya. Tanpa
memperhitungkan Silver Linings Playbook
(yang belum saya tonton), ini adalah sebuah noda bagi Lawrence di tahun 2012,
setelah ia buka dengan manis di The
Hunger Games. Ya, noda, bukan karena ia bermain buruk, namun karena film
yang tampil buruk. Dengan materi yang sangat kurang, Lawrence mampu sedikit
memberi nafas pada HatES. Tidak terbayangkan apa jadinya film ini tanpa
Lawrence.
Overall, House at the End of the Street adalah
film yang sangat tidak memuaskan. David
Loucka kembali menjadikan film bertemakan rumah yang penuh misteri menjadi
hancur berantakan. Hmmm, ini ibarat Dream
House-nya tahun 2012, konsepnya menarik, di isi bintang utama yang mampu
membuat anda semakin penasaran, namun akhirnya meninggalkan kekecewaan besar
ketika credit bergulir diakhir film. Tidak ada momen yang mampu memenuhi
standar “menakutkan” bagi saya. Tonton HatES jika anda hanya ingin menyaksikan
Jennifer Lawrence, namun jangan apabila anda mencari film horror yang mampu
menakut-nakuti anda.
Score: 3,5/10
0 komentar :
Post a Comment