Ada yang bilang bahwa
anda dapat dikatakan mati jika anda berhenti berharap dan berusaha. Itu benar,
karena harapan yang terus hidup berbanding lurus dengan semangat yang akan anda
dapatkan untuk terus berusaha mengejar impian anda. Umi Matsuzaki (Masami
Nagasawa), gadis berusia 16 tahun, memiliki rumah di sebuah bukit yang langsung
menghadap ke pelabuhan Yokohama, setiap pagi selalu mengirimkan doanya kepada
ayahnya yang telah tiada, melalui bendera signal yang ia kibarkan.
Ayah Umi yang merupakan
seorang nahkoda kapal gugur di Perang Korea, dan melalui bendera tersebut ia
mengirimkan sebuah pesan agar semua pelaut dapat berlayar dengan aman. Ya, itu
dia lakukan setiap pagi, yang pada akhirnya menarik perhatian dari Shun Kazama
(Junichi Okada), pemimpin koran sekolah, yang selalu melihat bendera tersebut
dalam perjalanannya menuju sekolah dipagi hari, dan menjadikannya sebuah puisi
dalam koran sekolah.
Umi tidak tahu bahwa
Shun dan temannya Shirō Mizunuma (Shunsuke Kazama) bekerja di Koran sekolah.
Yang Umi tahu bahwa Shun adalah seorang pria aneh yang jatuh dengan cara yang
konyol dari atap gedung sekolah hanya untuk sebuah acara adu keberanian. Namun
ketika membantu temannya Sora Matsuzaki (Haruka Shiraishi) untuk menemaninya ke
Quartier Latin, sebuah klub sekolah, dalam rangka meminta tanda tangan dari
Shun, Umi mendapati bahwa Shun bekerja disana. Umi terperangkap disana, mulai
bekerja untuk Koran sekolah, menyelamatkan serta merenovasi gedung klub yang
terancam eksistensinya, hingga menaruh ketertarikan kepada Shun. Sayangnya, ada
sebuah hambatan yang sangat besar dan kompleks yang menghalangi cinta mereka.
Apa yang anda harapkan
dari film animasi karya Studio Ghibli? Tampilan visual yang memukau dengan tone
warna yang kaya dan sangat lembut, yang pastinya dapat selalu mengingatkan anda
bagaimana film animasi itu “sebenarnya” dibalik serangan film-film dengan
teknologi dan efek kelas wahid. Ya, Studio Ghibli selalu tampil sederhana,
namun hebatnya mereka selalu berhasil menciptakan film animasi yang menarik dan
menjadikan anda menaruh ekspektasi besar sebelum menyaksikannya. Lantas apakah
Gorō Miyazaki berhasil dikesempatan keduanya kali ini?
Jika menilik dari
bagaimana ia menyatukan semua komponen yang ia miliki, Gorō Miyazaki dapat
dikategorikan berhasil. Ceritanya diangkat dari serial dengan judul yang sama
karya Tetsurō Sayama dan Chizuru Takahashi, ditulis oleh Hayao Miyazaki dan
Keiko Niwa memang sangat sederhana, dimana ada seorang gadis yang tidak pernah
berhenti berharap, merasakan cinta, namun dihadapkan pada sebuah rintangan
besar yang menghambat cinta mereka. Ya ya, karena sangat sederhana sehingga
kemana cerita ini akan berjalan dan juga berakhir sudah terasa meyakinkan sejak
awal. Tapi justru karena sangat meyakinkan tadi saya juga menjadi ikut berharap
dengan kisah cinta mereka, menginginkan mereka bersatu, dan ketika masalah itu
muncul saya merasa kesal dan seolah ingin masuk kedalam cerita untuk menolong
mereka. Hebat!
Memang saya merasa
adanya sebuah grafik menurun dari apa yang Studio Ghibli berikan setiap
tahunnya. Setelah kembali meledak dengan Ponyo (2008) setelah sempat gagal di
Tales from Earthsea, apa yang Arrietty berikan tidak mampu tampil sejajar
dengan Ponyo, dan itu kembali dialami oleh From Up on Poppy Hill, meskipun
intensitasnya sangat kecil dan terasa sama dengan Arrietty. Mereka memang
selalu mampu menciptakan karakter yang loveable, sangat loveable malah, dan
juga dibarengi dengan kemampuan dalam membentuk sebuah konflik utama yang kuat
dan sangat mengikat. Itu semua kembali saya rasakan di film ini.
Jika dibandingkan dua
pendahulunya, film ini berhasil tampil sangat natural dan realistis. Tidak ada
karakter-karakter “ajaib” yang hadir. Hal tersebut pula yang menjadikan nuansa
tahun 60-an terasa sangat kental. Namun dibalik tampilan visualnya yang berpadu
baik dengan score yang dihadirkan itu, cerita yang ditawarkan terasa sangat
standar meskipun berhasil mengikat saya. Tidak berkembang terlalu jauh, tampak
begitu sempit dan kurang berani. Yang sangat disayangkan tentu saja bagaimana
mereka menciptakan karakter-karakter pendukung yang berhasil memikat diawal,
namun setelah itu terkesan ditinggal begitu saja.
Hadir ditahun 2011, dan
sedang dalam tahap produksi ketika Jepang dilanda gempa bumi dan tsunami, jelas
memberikan efek bagi tahapan produksi yang sedang berjalan. Pemadaman bergilir
yang dilakukan kala itu menyebabkan pengerjaan yang dikebut, dan itu terasa
sekali di film ini. Ya seperti yang saya sebutkan tadi, ada beberapa bagian
yang terasa kurang, dan mulai kehilangan fokus dipertengahan film. Beruntungnya
mereka masih mampu mempertahankan kelebihan yang mereka punya, karakter yang
kuat, konflik utama yang kuat, dan tampilan visual yang manis, sehingga
kekurangan yang terjadi dapat sedikit terlupakan.
Overall, From Up on
Poppy Hill adalah film animasi yang memuaskan, Studio Ghibli masih mampu
mempertahankan ciri khas yang juga menjadi senjata utama mereka. Sayangnya beberapa
kesalahan kecil sedikit merusak potensi film ini untuk menjadi besar. Film ini
tampil lebih natural, lebih dewasa, dan juga lebih realistis dengan kadar
fantasi yang minim. Sebuah kisah emosional yang berkualitas mampu mencuri
perhatian saya, dan hadir untuk menutupi beberapa kekurangan tadi. Berhasil
menyampaikan semua pesannya yang memikat, film ini gagal untuk kembali
mengejutkan layaknya Ponyo. Ya, mari berharap agar Hayao Miyazaki kembali hadir
di bangku sutradara.
Score: 8/10
mau liat tapi di youtube ga ada. tau linkny yg sub indo?
ReplyDelete