Cinta itu buta. Anda pasti
sangat familiar dengan kalimat tadi, sebuah penggambaran dimana sebuah rasa
bernama “cinta” memiliki kekuatan yang sangat besar, yang jika tidak dapat
dikontrol dengan baik dapat menuntun anda masuk kedalam sebuah masalah besar. Yha,
suka dan duka adalah dua komponen yang tidak dapat terpisahkan dalam satu paket
bernama cinta. Hal itu yang dialami oleh Hester Collyer (Rachel Weisz), istri
dari Sir William Collyer (Simon Russell Beale), seorang hakim di London, yang
terlibat sebuah kisah terlarang dengan Freddie Page (Tom Hiddleston), pilot
RAF.
Hester merasakan kekuatan
cinta. Kehidupan yang mewah bersama William, dengan semua ciri keluarga
bangsawan Inggris tahun 1950-an, ternyata tidak mampu membuat Hester merasa
nyaman. Hester tidak merasakan gairah cinta yang sebenarnya dari William (yang
lebih tua darinya). Ini semakin diperparah dengan perlakuan dari ibu mertuanya
yang terus merendahkan dan menghina Hester. Semua terungkap ketika Hester
memutuskan untuk kembali ke kota, menelpon Freddie, berkata “Darling”, dan
tanpa ia sadari William berada dibelakangnya. Hubungan yang telah
dirahasiakannya selama 10 bulan itu terbongkar. Namun, William tidak mau
menceraikan Hester, dan Hester mencoba bunuh diri.
Setelah membaca dua paragraph
diatas mungkin akan sedikit tersirat di pikiran anda, “Ah, klasik, drama
romantis.” Saran saya adalah segera hapus penilaian anda tersebut, karena apa
yang Terence Davies hadirkan mungkin akan sangat jauh berbeda dengan penilaian
anda tadi. Ini memang adalah kisah yang klasik, dengan dibumbui perselingkuhan,
dapat anda temukan dibanyak film di genre ini. Namun, apa yang menjadikan film
ini berbeda adalah permainan emosi yang dihadirkan sejak awal.
Pertama, saya akan membahas
mengenai kunci sukses dari film ini, Terence Davies. Terence Davies menunjukkan
salah satu kemampuannya kepada anda sejak kisah dimulai, dia menangkap anda
dengan score pembuka, dan mengikat anda lewat dua kisah asmara yang sama
kuatnya, dengan Hester sebagai pusat utama. Sejak awal saya telah merasakan apa
yang karakter dalam cerita rasakan, dengan mudah, dari gairah asmara yang
sedang membara antara Hester dan Freddie, rasa depresi yang Hester alami,
hingga cinta yang sangat dalam dari William kepada Hester.
Inti dari cerita yang diangkat
dari karya Terence Rattigan ditahun 1952 ini sebenarnya simple. Dibuka dengan
Rachel Weisz yang sedang meratapi nasibnya, kemudian disusul dengan sebuah
adegan “panas”, dan sisanya hanya di isi kisah cinta segitiga dari ketiga
karakter utama. Tidak terdapat gebrakan cerita yang disertai intrik dan konflik
kelas berat. Cerita yang mengalir dengan lembut sejak menit pertama ini memang
terkesan ringan. Namun, emosi yang terasa terus hadir sepanjang film menjadikan
cerita yang ringan tadi terasa sangat berat. Film ini terasa seperti permainan
emosi bagi saya. Menyaksikan intimitas cinta, kemudian hadir sebuah konflik
kecil, disusul pertengkaran dengan nada-nada tinggi, kemudian kembali ke awal,
ah menyenangkan.
Naik dan turunnya emosi,
menjadikan perjalanan cinta yang Hester alami ini terasa tidak datar, meskipun
didominasi dialog formal khas tahun 50-an. Dibantu dengan setting dari kota
London pasca perang dunia kedua yang didominasi cahaya temaram, berhasil
membantu tiap karakter memvisualisasikan tekanan yang mereka hadapi. Hal
tersebut menuntun anda untuk ikut menimbang dan memilih mana yang selayaknya
Hester pilih. Bahkan anda akan ikut merasakan kehilangan yang mereka alami
seraya bergumam, "oh please, don't do that". Itu yang saya rasakan
dibagian akhir, dimana tempo yang lambat dengan dialog yang kuat memberikan
rasa kehilangan yang sangat besar.
Tiga pemeran utama semakin
menambah nilai positif film ini yang sudah sangat baik sejak pondasi awal.
Rachel Weisz sangat sangat memukau di film ini. Kondisi rapuh dari Hester
dimainkan dengan baik olehnya. Yang saya suka adalah Weisz juga berhasil
membangun chemistry yang baik dengan kedua karakter lainnya, menjadikan dua
konflik yang berpusat padanya tadi memiliki kekuatan yang sama, yang berdampak
pada cerita yang tidak mudah ditebak. Beale juga berhasil membentuk William
menjadi sebuah karakter yang menarik, tenang, lembut, dan dewasa dalam
menunjukkan rasa cinta. Dan, Tom Hiddleston, memberikan warna pada cerita lewat
Freddie Page yang konyol, berjiwa muda yang cenderung childish, dan selalu
emosional disertai nada tinggi dalam mencerminkan kasih sayangnya.
Overall, The Deep Blue Sea
merupakan film yang memuaskan. Anda akan mendapatkan sebuah cerita cinta
yang tidak begitu mainstream, satu kemasan yang dibungkus dengan sangat
apik, dengan berbagai elemen yang diolah dengan manis, disertai rasa cinta yang
sangat kuat sejak awal sebagai senjata utama. Yap, sangat jarang film dengan
genre romance dapat membuat saya ikut terperangkap secara penuh dalam konflik
yang karakter utama alami, ikut merasakan suka dan duka dari sebuah ciptaan
Tuhan bernama cinta, namun dengan cara yang sangat dewasa.
Score: 8,25/10
Thanks udah rekomendasikan film ini,simple namun sangat dalam.... like this... :')
ReplyDelete@Ms. Vanilla: A Royal Affair boleh dicoba mbak, setipe tapi sedikit kompleks. Thanks btw kunjungannya. :)
ReplyDelete